Ali Syari'ati: Sosiolog di Balik Revolusi Iran

Table of Contents

Siapakah Ali Syari'ati?

Ali Syari'ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah suburban dari Sabzevar, Iran, dan meninggal pada 19 Juni 1977 di Inggris, ada yang mengatakan ia terkena sakit jantung, tetapi dugaan kuat ia dibunuh oleh polisi rahasia Shah, SAVAK, yang terkenal kejam.

Ali Syari'ati adalah salah satu intelektual muslim revolusioner dan berpengaruh yang berasal dari Iran. Beliau adalah seorang sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama.

Syariati adalah salah satu cendekiawan Iran termasyhur abad ke-20, sekaligus 'ideolog' yang menjadi salah satu tokoh kunci keberhasilan revolusi Iran. Lewat berbagai tulisan serta kuliah yang ia berikan, ia mampu mempengaruhi opini publik rakyat Iran supaya memahami Islam secara emansipatoris sekaligus revolusioner. 

Baca Juga: Revolusi Iran: Sejarah, Latar Belakang, dan Dampaknya

Sepak terjang Syariati ini berujung jatuhnya rezim diktator Shah Pahlevi yang telah lama menjadi musuh bagi kaum progresif Iran. Keberpihakan Syariati kepada wong cilik membawanya pada suatu pengembaraan intelektual yang panjang.

Biografi dan Perjalanan Intelektualnya

Syari'ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah suburban dari Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.
 
Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Syari'ati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu.

Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan dan memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern.

Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis.

Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.

Syari'ati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Syari’ati.

Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Syari'ati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan.

Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.

Syari'ati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Syari’ati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian. 

Baca Juga: Ruhollah Khomeini: Ulama dan Pemimpin Revolusi Iran 1979

Syari'ati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran pada masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam.

Pengaruh Intelektual

Ali Syariati dikenal sebagai seorang intelektual dan pemikir yang kritis terhadap rezim Syah. Sikap kritis tersebut dia bangun sejak masih muda dengan banyak membaca karya-karya di dalam perpustakaan milik ayahandanya.

Ali Syariati sangat mengagumi sosok ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati, seorang ulama besar sekaligus penggerak intelektualisme Iran yang lebih memilih hidup di tengah padang pasir Kavir dibanding bermewah-mewahan di Teheran.

Sementara jejak Intelektual Syari’ati dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Barat seperti Frantz Fanon (Intelektual revolusioner asal Prancis), George Gurvich (membelot menantang rezim Stalin dan menentang penjajahan Prancis atas Aljazair), dan Louis Massignon (pemikir katolik progresif). Kebenciannya atas kolonialisme maupun imperialisme Barat kepada dunia ketiga tidak membuatnya alergi menimba ilmu dari intelektual Eropa.

Selain dikenal sebagai akademisi, Ali Syariati juga dikenal sebagai aktivis yang kerap masuk keluar penjara dengan tuduhan subversif kepada pemerintah. Aktivisme serta keberpihakannya terhadap kaum tertindas kemudian mengantarnya menjadi Intelektual Muslim yang diperhitungkan di dunia.

Perlu digaris bawahi, Ali Syari’ati adalah penganut Islam Syi’ah, tepatnya Syi’ah Alawi (dikenal juga dengan Syiah Merah/Revolusioner), di mana terdapat perbedaan prinsip Ushuliyah maupun Furuiyyah dengan Islam Sunni yang mayoritas dianut oleh Muslim di Indonesia. Khususnya mengenai perayaan 10 Muharram sebagai peringatan tragedi Karbala.

Baca Juga: Perang Karbala sebagai Tragedi Kelam Sejarah Peradaban Islam

Oleh karenanya, Islam revolusioner yang digagas Ali Syari’ati kental dengan nilai-nilai Islam Syi’ah. Beliau sangat menjiwai perjuangan imam Husein ra dan imam-imam Syiah yang terbunuh sebagai Syuhada’. Ali Bin Abi Thalib ra. disebutnya “telah mengorbankan hidupnya untuk menegakkan suatu mazhab pemikiran, persatuan dan keadilan”, tulis Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku Ideologi Kaum Intelektual.

Tetapi sayang, beliau meninggal sebelum menyaksikan kemenangan rakyat Iran atas rezim diktator Shah Pahlevi pada 10 Muharram 1398 H/1978 M. Ada yang mengatakan ia terkena sakit jantung, tetapi dugaan kuat ia dibunuh oleh polisi rahasia Shah, SAVAK, yang terkenal kejam.

Pemikiran Ali Syari’ati

Ali Syari’ati adalah sosok intelektual yang radikal, radikal dalam pengertian berpikir secara mendalam, menyentuh akar persoalan dan menyediakan solusi terarah. Menjadi radikal dalam konteks dunia pemikiran merupakan syarat sah seseorang dapat dipredikatkan sebagai thinker atau pemikir.

Seorang radikal tidak mesti menggunakan kekerasan dalam melancarkan aksinya. Termasuk Ali Syariati berusaha mendamaikan konsep perang kelas marxisme dengan tauhid pembebasan perspektif Syi’ah. Lebih memilih propaganda lewat orasi beserta pena dibanding dengan senjata. Pun revolusi Iran 1978 penuh dengan darah.

Rausyan Fikr

Islam tidak hanya membahas dimensi spiritual semata, tetapi juga dimensi sosial-kemanusiaan. Maka Islam sebagai agama memiliki fungsi multidimensi terhadap keharmonisan hidup antara manusia dan alam.

Tidak berhenti sampai di situ, menurut Ali Syari’ati, Islam bukan sekadar agama melainkan juga ideologi. Tidak seperti Marxisme menganggap bahwa Ideologi adalah kesadaran palsu, bagi Syari’ati, ideologi adalah kesadaran khas manusia yang dapat membimbingnya menuju kemerdekaan.

Ideologi adalah pandangan atau sikap yang menghilangkan netralitas terhadap sesuatu. Karena Netralitas hanya membawa kita pada objektivitas, sedangkan objektivitas di sini telah disuapkan oleh Barat kepada kita. Objektivitas dikonstruksi oleh kelas yang berkuasa sehingga seorang pemikir tidak bisa memberikan solusi nyata bagi masyarakat karena hanya bekerja sesuai standar ilmiah semata, bukan amaliah.

Bagi Syari’ati, ideolog tidak melulu seorang akademisi yang sibuk mengkaji teori dan teori. Kesadaran Ideologis tumbuh tanpa mengenal apakah seseorang itu adalah akademisi, intelektual, ilmuwan, teoritis, atau hanya seorang penggembala kambing. Dibuktikan, seorang nabi tidaklah melulu berasal dari kelas yang berkuasa. Kebanyakan berasal dari kelas yang tertindas, Ali Syariati menyebutnya sebagai ummi. Ummi adalah karakter kelas bawah yang tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, tetapi kesadaran ideologisnya tumbuh untuk menentang kemapanan yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa.

Intelektual muslim berideologi seperti itu, kelak oleh Ali Syari’ati disebut sebagai Rausyan Fikr atau seseorang yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Bermakna pula pemikir yang sadar dengan kondisi masyarakat, turun untuk mencari solusi bersama lalu bertindak untuk mengubahnya ke keadaan yang lebih baik.

Peranan yang dimainkan oleh Rausyan Fikr berbeda dengan para filosof. Ali Syariati memberikan contoh mengenai peradaban Yunani yang penuh dengan akademisi, ilmuan, maupun filosof. Aristoteles bukanlah Rausyan Fikr, sebab ia tidak mempelopori satupun gerakan sosial. Rausyan Fikr harus berwujudkan dari intelektual, aktivisme, dan spiritualitas.

Beginilah peran Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah. Dan begitulah seharusnya intelektual muslim ideologis. Diutusnya Nabi Muhammad bukan hanya sekadar memperbaiki akhlak manusia, tetapi juga membawanya menuju pembebasan sejati dari kaum-kaum penghisap yang senantiasa berbuat kerusakan di atas bumi.

Fungsi dan Perubahan dalam Sejarah

Menurut Ali Syariati, dengan merujuk kepada Al-Qur’an berpendapat bahwa sejarah berfungsi sebagai pelajaran atau ibrah untuk masa kini dengan bercermin dari masa lalu. Oleh sebab itu maka dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa surat yang dinamai dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, di mana dalam peristiwa-peristiwa tersebut terdapat ibrah atau pelajaran.

Contohnya ialah: surat Luqman, berisi mengenai kisah Luqman yang memberikan nasihat-nasihat berharga kepada anaknya; surat Yusuf, berisi mengenai kisah Nabi Yusuf dan kiprahnya menjadi nabi dan raja; surat Ar-Rum, berisikan mengenai kisah masyarakat Romawi; surat Ibrahim, menceritakan mengenai perjuangan Nabi Ibrahim di dalam menegakkan tauhid dan perjuangannya dalam melawan pemimpin otoriter; dan lain-lain.

Sudah sepatutnya segala peristiwa yang terjadi di masa lalu dapat menjadi acuan kita di dalam mengambil keputusan dan tindakan agar tidak menemukan kesalahan dan sebaliknya dengan mempelajari peristiwa-peristiwa di masa lalu kita dapat melakukan yang lebih baik lagi.

Menurut Syariati, sejarah adalah peristiwa yang dialami oleh manusia dalam ruang dan waktu yang dalam aktivitasnya berisi mengenai perubahan-perubahan. Perubahan ini menurutnya terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, adalah dialetika dua kutub. Dua kutub ini merupakan sebuah symbol yang saling berlawanan dan berhadapan. Dalam konsep sosial historis Al-Qur’an, dua kutub ini disebut sebagai mustadhafin dan mustakbirin.

Mustadhafin diwakili oleh para nabi dan orang-orang lemah yang kemudian menentang atau melawan ketidakadilan dan kezaliman dari para mustakbirin yaitu para raja, penguasa, dan orang-orang kafir. Dalam prosesnya, kedua kutub ini akan menghasilkan kemenangan di salah satu pihak, terutama kemenangan dari mustadhafin.

Pada masa kini dialektika dua kutub masih terjadi bahkan hingga menimbulkan korban jiwa dan peperangan yang hebat. Di satu pihak terdapat kelompok yang ingin menguasai sebuah wilayah dan di satu pihak ada kelompok yang ingin mempertahankan wilayahnya dan bahkan ditindas oleh kelompok yang ingin menguasai wilayahnya.

Namun demikian akhir dari konflik tersebut akan menghasilkan kemenangan di pihak kelompok yang mempertahankan wilayahnya (mustadhafin), contoh tersebut dapat kita lihat dari Perang Dunia Pertama dan Kedua, Perang Dingin, bahkan Perang-perang kontemporer yang terjadi baru-baru ini.

Pada dasarnya dialektika dua kutub yang dikembangkan oleh Ali Syariati, memiliki kesamaan dengan dialektika yang dicetuskan oleh Karl Marx mengenai pertentangan antara kaum pemilik modal (borjuis) dengan kaum pekerja (proletar), kaum pemilik modal senantiasa melecehkan dan memperbudak kaum pekerja demi memenuhi target produksi. Di lain pihak kaum pekerja tertindas dan tidak memiliki akses terhadap kebutuhan dasar.

Namun, demikian menurut Marx, hasil akhir dari pertentangan konflik ini di masa depan ialah kemenangan pihak kaum pekerja. Kaum pekerja inilah yang nantinya dapat menciptakan sebuah tatanan dunia tanpa kelas sosial yang berhierarkis.

Kedua, adalah migrasi atau hijrah. Proses ini diawali dengan kemauan serta kehendak manusia yang ingin berubah kehidupannya melalui perpindahan atau migrasi dan hijrah dalam arti yang luas. Contohnya, ialah perpindahan dari kebodohan menuju kepintaran, kemunduran menuju kemajuan, kelesuan menuju kekuatan, dan lain-lain.

Dalam konteks ini hijrah bukan hanya dimaknai sebagai perpindahan dari sebuah tempat sebagaimana Nabi Muhammad Saw, dari Makkah menuju Madinah, ataupun masyarakat Barat (Inggris) menuju wilayah Benua Australia, namun lebih daripada itu hijrah merupakan perubahan sikap, prinsip, perbuatan, serta pemikiran menuju ke arah yang progresif.

Sehingga mustahil seseorang dapat berhasil manakala dirinya tidak bergerak atau berpindah dari satu sifat yang buruk atau kurang bagus menuju sifat yang mulia. Sejarah akan bernilai manakala dihiasi oleh orang atau individu yang memiliki kearifan, kecerdasan, dan rasa saling hormat yang tinggi, karena gerak sebuah sejarah akan ditentukan oleh individu tersebut.

Seorang individu di dalam kehidupannya dalam ruang dan waktu memiliki kehendak dan kebebasan yang dapat dikehendaki oleh dirinya sendiri. Hal tersebut ada di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah apa yang ada pada diri mereka." (QS: Ar-Ra'd ayat 11).

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://ibtimes.id
https://kumparan.com

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment