PUTERA: Sejarah, Latar Belakang, dan Pembubarannya

Table of Contents

Sejarah PUTERA
Sejarah PUTERA

PUTERA adalah singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat, sebuah organisasi yang didirikan oleh Jepang pada tahun 1943. PUTERA dibentuk sebagai pengganti Gerakan Tiga A yang dianggap tidak efektif. PUTERA menyatukan semua organisasi nasional, baik organisasi politik maupun non-politik untuk bekerja sama membentuk pemerintahan sendiri. 

Baca Juga: Pendudukan Jepang di Indonesia: Sejarah, Perlawanan, dan Dampaknya

PUTERA tidak mewakili kelompok tertentu dan hanya terdiri dari individu-individu. Selain itu, PUTERA bukanlah gerakan massa, tetapi hanya sekelompok komite yang berada di pusat kota. Hal ini berada di bawah pengawasan ketat dari Jepang tetapi menunjuk empat tokoh besar Indonesia sebagai pemimpin, yaitu Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansoer.

Keempat tokoh ini dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. PUTERA juga memiliki beberapa penasihat dari pihak Jepang. Mereka adalah S Miyoshi, G Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama. Gerakan ini tidak didanai oleh pemerintah Jepang. Namun, para pemimpin bangsa ini diizinkan untuk menggunakan fasilitas Jepang seperti koran dan radio.

Baca Juga: Empat Serangkai dan Perannya Bagi Kemerdekaan Indonesia

Pendirian PUTERA bertujuan untuk menarik simpati rakyat Indonesia untuk membantu Jepang memenangkan perang melawan Sekutu. Mereka mendesak rakyat Indonesia untuk mendukung pendudukan Jepang karena telah membantu membebaskan Indonesia dari penjajahan yang berkepanjangan.

Namun organisasi ini juga hanya mendapat sedikit dukungan, seperti halnya Gerakan 3A, sebagian karena Jepang tidak mendukung gerakan pemuda. Selain itu, Jepang menyadari bahwa PUTERA lebih menguntungkan bagi pergerakan nasional Indonesia daripada kepentingan Jepang. Pada tahun 1944, Jepang membubarkan PUTERA. 

Baca Juga: Gerakan Tiga A: Pengertian, Sejarah, dan Pembubarannya

Latar Belakang Pendirian

PUTERA atau Pusat Tenaga Rakyat merupakan organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 16 April 1943. Organisasi ini dipimpin oleh para tokoh yang dikenal sebagai “Empat Serangkai” yakni Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan Kiai Hadji Mas Mansoer.

Latarbelakang pendirian PUTERA adalah terdesaknya posisi pertahanan pasukan Jepang oleh Sekutu terutama sejak awal tahun 1943, yang menyebabkan pemerintah pendudukan Jepang memberi kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menjadi bagian dalam angkatan perang Jepang.  

Upaya tersebut dilakukan Jepang untuk menggalang dukungan dari rakyat Indonesia melalui propaganda yang bertujuan menarik simpatik rakyat terhadap Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. 

Baca Juga: Perang Pasifik: Sejarah, Latar Belakang, dan Dampaknya

Pemerintah Jepang merangkul  kaum nasionalis dan kaum intelektual Indonesia dalam pembentukan PUTERA agar mereka mau mengabdikan pikiran dan tenaganya untuk kepentingan melawan sekutu. Keberadaan tokoh-tokoh nasional dalam PUTERA akan merebut hati rakyat sehingga dapat mendukung kegiatan-kegiatannya.

Selain aktivitas di bidang militer, PUTERA juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi. PUTERA  berkembang dengan pesat hingga ke daerah-daerah dengan keanggotaan dari berbagai profesi.

Berbagai organisasi kemudian bergabung dengan PUTERA, yaitu  Persatuan Guru Indonesia, Perkumpulan Pegawai Pos, Radio, Telegraf, Perkumpulan Istri Indonesia, Barisan Banteng, Badan Perantara Pelajar Indonesia, Ikatan Sport Indonesia, dan unsur-unsur masyarakat lainnya.

Bersikap Kooperatif

Empat Serangkai bersikap kooperatif terhadap pemerintah Jepang dengan perhitungan dan pertimbangan politik; dengan bekerjasama mereka akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya untuk mempercepat proses mencapai Indonesia merdeka.

Mereka mempergunakan setiap kesempatan untuk memacu semangat nasionalisme dan menggelorakan cita-cita kemerdekaan, serta mempersiapkan rakyat Indonesia baik fisik maupun mental untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (Yasmis 2007: 28; Utomo 1995: 202).

Pemimpin nasionalis yang aktif dalam PUTERA menggunakan organisasi tersebut sebagai ujung tombak untuk mengerahkan seluruh potensi rakyat Indonesia. Mereka menghimpun kekuatan massa melalui rapat-rapat raksasa dan kampanye keliling (Suhartono 1994: 128).  

Para pemimpin PUTERA dari tokoh-tokoh bangsa dapat berkomunikasi dengan leluasa kepada rakyat, sehingga  berhasil membentuk mental masyarakat untuk menyambut kemerdekaan dua tahun kemudian.

Pembentukan Badan Tambahan

Pada bulan September 1943, badan tambahan untuk PUTERA dibentuk, yakni Badan Pertimbangan Pusat yang bekerja dan mengambil langkah-langkah menuju pemerintahan mandiri. Signifikansi PUTERA adalah didedikasikan untuk membantu tujuan-tujuan perang Jepang, tetapi sebaliknya ada capaian-capaian dalam mencapai tujuan-tujuan nasionalis jangka panjang.

PUTERA tidak hanya membuka jalan, tetapi juga merangsang terjalinnya hubungan antara para pemimpin nasionalis dan rakyat banyak. Suatu hal yang sangat dibatasi oleh pemerintah Kolonial Belanda (Kahin 2013: 152-153).

Pembubaran PUTERA

Namun organisasi ini juga hanya mendapat sedikit dukungan, seperti halnya Gerakan 3A, sebagian karena Jepang tidak mendukung gerakan pemuda. PUTERA tidak diizinkan bekerja di kota-kota kecil atau pedesaan.

Sementara itu, situasi di pedesaan semakin memburuk, sebagian karena agen-agen tentara Jepang yang bekerja melalui pegawai negeri Indonesia untuk meminta beras dari para petani untuk mengendalikan harga yang rendah, dan yang lebih buruk lagi adalah untuk merekrut apa yang disebut sebagai rōmusha (secara harfiah berarti “pekerja paksa”). 

Baca Juga: Romusha: Pengertian, Latar Belakang, Tujuan, Sejarah, dan Dampaknya

Ribuan pekerja paksa ini dikirim dari Jawa ke daerah-daerah terpencil di wilayah pendudukan Jepang, dan banyak yang tewas dalam perang. Ekspor bahan makanan dari satu karesidenan ke karesidenan lain juga dilarang. Jepang menyadari bahwa PUTERA lebih menguntungkan bagi pergerakan nasional Indonesia daripada kepentingan Jepang. Pada tahun 1944, Jepang membubarkan PUTERA.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment