Paulo Freire: Humanisasi Dunia Pendidikan Melalui Pendidikan yang Membebaskan

Table of Contents

Paulo Freire
Siapa itu Paulo Freire?

Paulo Reglus Neves Freire lahir di Recife pada tahun 1921. Ia adalah seorang filsuf, tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang paling berpengaruh di abad ke-20. Ia bekerja sepenuh hati untuk membantu orang lain baik melalui filsafat maupun praktik pedagogi kritisnya.

Freire diakui sebagai intelektual yang produktif dan memiliki pandangan kritis yang mendalam terhadap pendidikan. Pemikiran dan gagasannya memiliki fondasi yang kuat karena terbangun atas kemampuannya dalam mengamati dengan cermat realitas yang ada dalam masyarakat.

Tujuan Freire adalah memberantas buta huruf di antara orang-orang dari negara dan benua yang sebelumnya dijajah. Wawasannya berakar pada realitas sosial politik anak-anak dan cucu mantan budak. Gagasan, kehidupan, dan karyanya bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan orang-orang yang tertindas.

Ide pemikirannya mengenai pendidikan yang membebaskan telah menjadi fenomena yang sangat signifikan. Freire memimpin gerakan pendidikan berbasis humanisme yang diilhami oleh ketidakseimbangan pendidikan yang melanda wilayahnya.

Baca Juga: Humanisme: Pengertian, Sejarah, Dasar, Ciri, dan Alirannya

Freire terus menerus mendorong untuk memicu kesadaran masyarakat akan akar permasalahan ketimpangan yang ada. Ide-idenya selalu menyoroti tantangan, protes, dan perlawanan terhadap segala bentuk distorsi dalam pendidikan, khususnya soal kesadaran manusia terhadap proses pendidikan.

Biografi dan Kehidupannya

Paulo Reglus Neves Freire lahir tahun 1921 dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Freire mengalami sendiri ketidakstabilan politik dan kesulitan ekonomi pada tahun 1930-an. Ayah Freire meninggal dunia selama depresi ekonomi tahun tiga puluhan, dan sebagai seorang anak kecil, Freire mengalami dampak kelaparan yang melumpuhkan dan merendahkan martabat manusia. 

Baca Juga: The Great Depression 1929: Pengertian, Penyebab, Sejarah, dan Usaha untuk Mengatasinya

Freire muda melihat dirinya dipaksa oleh keadaan untuk mencuri makanan bagi keluarganya, dan akhirnya ia putus sekolah dasar untuk bekerja dan membantu keluarganya secara finansial. Melalui kesulitan-kesulitan inilah Freire mengembangkan rasa solidaritasnya yang kuat dengan kaum miskin.

Sejak kecil, Freire membuat komitmen sadar untuk bekerja guna memperbaiki kondisi orang-orang yang terpinggirkan.

Freire berhasil menyelesaikan sekolah dasar antara Recife dan Jaboatão dan kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah menengah, Oswaldo Cruz, di Recife. Aluízio Pessoa de Araújo, kepala sekolah menengah Oswaldo Cruz, setuju untuk mengizinkan Freire belajar dengan biaya sekolah yang lebih rendah karena keluarga Freire tidak mampu membayar biaya sekolah penuh.

Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis.

Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka. Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife).

Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). 

Baca Juga: Marxisme: Pengertian dan Pemikirannya

Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuan lingkaran budaya di seluruh negeri.

Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.

Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970.

Buku itu baru diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena perseteruan politik antara serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter dengan Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi.

Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.

Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.

Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal. Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire.

Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997.

Latar Belakang Pemikiran

Sebagai seorang humanis, Freire membela tesis bahwa:
(a) merupakan panggilan ontologis setiap orang untuk menjadi lebih manusiawi;
(b) baik penindas maupun yang tertindas akan kehilangan kemanusiaannya ketika hubungan mereka dicirikan oleh dinamika yang menindas;
(c) melalui proses kesadaran, para penindas dan yang tertindas dapat memahami kekuatan mereka sendiri; dan
(d) pada akhirnya kaum tertindas akan mampu mengubah keadaan mereka secara autentik hanya jika niat dan tindakan mereka konsisten dengan tujuan mereka.

Brasil yang dijajah

Untuk lebih memahami gagasan dan karya Paulo Freire, penting untuk mempertimbangkan konteks tempat Freire mengembangkan filsafatnya. Konteks Freire adalah wilayah Timur Laut Brasil dari tahun 1930-an hingga 1960-an. Brasil merupakan koloni Portugis dari tahun 1500 hingga 1822.

Halnya koloni Amerika lainnya, sebagian besar penduduk asli Brasil tewas karena kondisi kerja paksa yang keras dan karena mereka tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit Eropa. Sebagian penduduk asli yang selamat diperbudak di engenhos (pabrik gula).

Karena sebagian besar penduduk asli meninggal, pemilik engenhos terlibat dalam praktik membeli orang Afrika sebagai budak untuk bekerja dan meningkatkan produksi gula, yang merupakan salah satu ekspor utama Brasil selama tahun-tahun Brasil menjadi koloni Portugis.

Sebagian besar penduduk Brasil selama tahun-tahun penjajahan Portugis adalah penduduk asli dan keturunan Afrika. Sangat sedikit pergerakan imigran Portugis ke Brasil. Bagi orang Portugis, Brasil terutama merupakan perusahaan komersial yang memungkinkan mereka mengeksploitasi sumber daya Brasil untuk menyaingi Inggris dan Belanda secara ekonomi.

Surat kabar tidak diterbitkan di Brasil hingga tahun 1808, dan tingkat melek huruf di antara sebagian besar orang Brasil sama sekali tidak ada.

Kehidupan dan karya Freire terus memperbaiki dampak dari 400 tahun penjajahan dan perbudakan di benua Amerika. Perbudakan secara resmi dihapuskan di Brasil pada tahun 1888 ketika Brasil mengalami periode pertumbuhan ekonomi setelah kemerdekaannya dari Portugal pada tahun 1822.

Akan tetapi, bahkan selama pertengahan abad ke-20, kondisi ekonomi bagi banyak orang Brasil sangat negatif dan kelaparan yang mereka alami sangat tak tertahankan sehingga banyak petani menjual diri mereka sendiri atau anggota keluarga mereka sebagai budak untuk menghindari kelaparan.

Pengaruh terhadap Freire

Pemikiran dan karya Paulo Freire terutama dipengaruhi oleh konteks sejarahnya, sejarah Brasil, dan pengalamannya sendiri. Beberapa pengaruh awal dan abadi pada Freire adalah orang tuanya, guru prasekolahnya, dan Aluízio Pessoa de Araújo, kepala sekolah menengah Oswaldo Cruz.

Gagasan yang berkontribusi pada pengembangan filsafat dan karya Freire adalah eksistensialisme, fenomenologi, humanisme, Marxisme, dan Kristen. Gagasan GWF Hegel, Karl Marx, Anísio Teixeira, John Dewey, Albert Memmi, Erich Fromm, Frantz Fanon, dan Antonio Gramsci merupakan pengaruh utama Freire.

Kampanye Literasi

Paulo Freire mulai bekerja dengan para petani dan pekerja yang buta huruf di wilayah timur laut Brasil pada tahun 1947, dan pada awal tahun 1960-an, ia telah mengorganisasi gerakan rakyat untuk memberantas buta huruf.

Akibat penjajahan Portugis di Brasil, serta adanya lembaga perbudakan, tingkat literasi sebagian besar orang Brasil sangat rendah. Populasi wilayah timur laut Brasil pada tahun 1962 adalah 25 juta, dan dari jumlah tersebut, sekitar 15 juta buta huruf.

Pada tahun 1947, saat Freire berusia 26 tahun dan saat masih mengajar kelas bahasa di sekolah menengah Oswaldo Cruz, ia mulai bekerja di lembaga pemerintah yang disebut Serviço Social da Indústria (SESI).

Freire ditunjuk untuk bekerja sebagai asisten di Divisi Hubungan Masyarakat, Pendidikan, dan Kebudayaan. Tujuan lembaga ini adalah untuk menyediakan layanan sosial di bidang kesehatan, perumahan, pendidikan, dan rekreasi bagi kelas pekerja Brasil.

Freire bekerja di SESI selama 10 tahun, dan selama waktu tersebut, ia mempelajari banyak aspek penting tentang kelas pekerja Brasil dan sistem sekolah Brasil yang menginformasikan bagaimana ia kemudian berkembang sebagai guru dan pemikir politik.

Freire bekerja sama erat dengan sekolah-sekolah, meneliti bagaimana kebijakan dibuat dan bagaimana kebijakan tersebut memengaruhi kualitas pendidikan bagi para siswa. Selama waktu tersebut, Freire memperhatikan bagaimana beberapa orang tua kelas pekerja Brasil membesarkan anak-anak mereka.

Meskipun Freire dibesarkan dalam lingkungan yang toleran, hal ini tidak terjadi di sebagian besar rumah tangga lainnya. Freire datang ke SESI dengan kepekaan demokratis, namun, ia bertemu dengan apa yang tampaknya merupakan jenis otoritarianisme terkondisi yang memengaruhi cara orang tua berhubungan dengan anak-anak mereka dan bagaimana guru mendekati pengajaran mereka.

Hukuman fisik terhadap anak-anak sering digunakan baik oleh orang tua maupun guru. Freire memperhatikan bahwa hukuman fisik yang keras yang dialami anak-anak tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan; sebaliknya, anak-anak terasing dari orang tua dan guru mereka, dan lingkungan otoritarianisme yang keras semakin terbentuk. Akibatnya, Freire mulai melatih guru dan orang tua untuk mempelajari cara yang lebih toleran dalam mengajar dan mendisiplinkan anak-anak mereka.

Selama 10 tahun Freire bekerja untuk SESI, ia mengumpulkan banyak pengalaman yang kemudian membantunya membentuk studi doktoral dan disertasinya di Universitas Recife. Setelah bekerja untuk SESI, Freire menerima posisi sebagai konsultan untuk Divisi Penelitian dan Perencanaan.

Selama waktu inilah Freire mulai memantapkan dirinya sebagai pendidik progresif. Ia melakukan studi dalam pendidikan orang dewasa dan populasi marjinal dan mempresentasikannya di konferensi pendidikan orang dewasa nasional. Gagasan awalnya adalah tentang pengambilan keputusan kooperatif, partisipasi sosial, dan tanggung jawab politik.

Freire tidak melihat pendidikan hanya sebagai cara untuk menguasai standar akademis atau keterampilan yang akan membantu seseorang secara profesional. Sebaliknya, ia peduli bahwa pelajar memahami masalah sosial mereka dan bahwa mereka menemukan diri mereka sebagai agen kreatif. Pada tahun 1959, Freire menyelesaikan disertasi doktoralnya yang berjudul Educacåo e Actualidade Brazileira (Pendidikan Masa Kini di Brasil).

Pada tahun 1961, wali kota Recife, Miguel Arraes, meminta Freire untuk membantu mengembangkan program literasi bagi kota tersebut. Tujuan utama dari program-program ini adalah untuk mendorong literasi di kalangan pekerja, untuk menumbuhkan iklim demokrasi, dan untuk melestarikan tradisi, kepercayaan, dan budaya Pribumi mereka. Selama masa inilah Freire mulai bekerja dengan lingkaran budayanya dan menemukan betapa merusak dan meluasnya institusi perbudakan, bahkan puluhan tahun setelah perbudakan dihapuskan.

Freire memutuskan untuk menggunakan istilah "lingkaran budaya" sebagai ganti kelas literasi. Ia memiliki beberapa alasan untuk pemilihan kata ini, dan salah satu alasannya adalah konotasi negatif dari kata "buta huruf." Meskipun sebagian besar muridnya, pada kenyataannya, buta huruf, tidak seorang pun ingin menggambarkan atau menganggap diri mereka seperti itu.

Alasan lainnya adalah bahwa proyek Freire tidak hanya berfokus pada pengajaran orang cara membaca dan menulis. Pada saat itu, literasi merupakan salah satu persyaratan untuk memberikan suara dalam pemilihan presiden, dan Freire bermaksud untuk menciptakan rasa kesadaran politik melalui metode yang ia gunakan untuk mengajar serta konten yang ia bagikan kepada murid-muridnya.

Para pengajar di lingkungan budaya sengaja tidak disebut guru, melainkan koordinator, dan para siswanya disebut partisipan. Alih-alih ceramah tradisional, dialog didorong. Freire memilih untuk tidak menggunakan buku teks bahasa tradisional karena isinya sering tidak relevan dengan konteks budaya petani dan pekerja yang diajarnya.

Sebaliknya, Freire memulai dengan kondisi eksistensial para pembelajar. Mengenai para koordinator, Freire mengharuskan mereka didorong oleh cinta, dibimbing oleh kerendahan hati, dan memiliki keyakinan besar pada potensi manusia. Freire meminta agar para koordinator mempertimbangkan pendidikan sebagai wahana pembebasan, bukan domestikasi.

Pada tahun 1961, João Goulart memangku jabatan presiden Brasil. Goulart adalah seorang pemimpin populis, jadi ketika ia terpilih, banyak kelompok mahasiswa, serikat pekerja, dan liga petani mulai bermunculan. Pada saat yang sama, kehadiran komunis terasa lebih jelas di Brasil. Sebagian karena peristiwa-peristiwa inilah Freire memindahkan lingkaran budaya dari kota Recife ke Dinas Perluasan Budaya (SEC) di Universitas Recife.

Dari bulan Juni 1963 hingga Maret 1964, Freire dan timnya melatih mahasiswa dan orang lain yang tertarik tentang cara bekerja dengan pembelajar literasi orang dewasa. Freire berencana untuk menjangkau sebanyak mungkin wilayah Brasil dengan mendirikan lebih dari 20.000 lingkaran budaya di seluruh negeri. Rencana Freire adalah untuk mengajar lima juta pembelajar dewasa dalam jangka waktu dua tahun cara membaca dan menulis.

Pada tanggal 1 April 1964, kudeta militer yang didukung oleh CIA menggulingkan pemerintahan Goulart. Wali kota Recife, Pelópidas Silveira, ditangkap, Freire diberhentikan dari jabatannya, dan semua materi pengajaran Freire disita. Freire menjadi sasaran serangkaian interogasi dan dituduh sebagai seorang komunis. Dia menghabiskan 75 hari di penjara, di mana dia mulai menulis buku pertamanya Educação como Practica da Liberdade (Pendidikan sebagai Praktik Kebebasan).

Rezim militer yang baru menganggap proyek literasi Freire sebagai subversif dan menghentikan pendanaan untuk proyek tersebut. Freire dan keluarganya diasingkan dari Brasil dari tahun 1964 hingga 1980. Mereka pertama kali tinggal di Bolivia, kemudian di Chili, di mana Freire melanjutkan proyek literasinya dengan para petani Chili.

Dalam proses bekerja dengan petani Brasil dan Chili, Freire menyadari bahwa meskipun orang-orang tidak lagi diperbudak dan telah belajar cara membaca dan menulis, dan dalam beberapa kasus menjadi pemilik tanah mereka sendiri, mereka tidak menganggap diri mereka bebas. Dengan wawasan ini, salah satu tujuan hidup Freire adalah menciptakan keadaan bagi para siswanya untuk menemukan diri mereka sebagai manusia, dengan agensi mereka sendiri sebagai subjek dan bukan objek, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pencipta budaya.

Filsafat Humanis dalam Pendidikan

Pendidikan bagi Paulo Freire merupakan proses humanisasi, yakni proses untuk memanusiakan manusia. Upaya humanisasi harus diaktualisasikan dengan tujuan melawan proses dehumanisasi.

Pendidikan yang selalu digagas oleh seorang Freire adalah pendidikan humanisme. Di mana pendidikan humanisme merupakan bagian dari filsafat humanisme. Aliran filsafat humanisme inilah yang dicita-citakan oleh Freire, di mana manusia adalah subjek atau pelaku utama dalam pendidikan.

Konsep humanisme ini selalu berfokus pada pemahaman tentang manusia dan nilai-nilainya. Prinsip kemanusiaan harus selalu dijunjung tinggi. Tidak boleh ada ketimpangan di dalamnya. Di ranah filsafat, Freire banyak menggunakan sekaligus berhutang pada pemikiran-pemikiran filosofis dari Marx, Hegel, Gramsci, dan Sartre. Terkhusus mengenai filsafat pendidikan yang dikembangkannya.

Baca Juga: Eksistensialisme: Pengertian, Sejarah, Ciri, dan Tokoh Pemikirnya

Konsep Pendidikan Freire

Konsep pendidikan dari Freire dikenal sebagai metode pendidikan hadap-masalah bertujuan utama untuk memahami realitas. Metode pendidikan ini akan membuat seseorang menjadi aktif menyadari lingkungannya dan kondisinya sebagai subjek. Dalam hal ini, seorang peserta didik diarahkan untuk selalu terlibat dengan persoalan kemasyarakatannya.

Karena Freire melihat manusia sebagai makhluk yang sempurna, menurut Freire manusia harus diposisikan sebagai subjek. Sebagai subjek artinya manusia mampu mengubah realitas dari permasalahan yang ditemukan. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek.

Metode hadap-masalah tidak dilakukan dengan dikotomi aktivitas guru-murid di mana guru memiliki kondisi tidak “memahami” dan “menceritakan”. Guru yang selalu “memahami”, adalah guru yang menyiapkan projek dengan baik dan terlibat dialog dengan murid. Guru tidak menganggap objek yang dipahami sebagai kepunyaannya sendiri melainkan sebagai objek refleksi bagi dirinya dan muridnya.

Murid pun, tidak lagi sekedar menjadi pendengar. Mereka diidealkan menjadi pencari jawaban kritis dalam dialog dengan guru. Peran pendidik yang memakai metode hadap-masalah diharapkan dapat menciptakan kebersamaan dengan murid; kondisi di mana pengetahuan pada tahap mentera (doxa) diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu (logos) (Freire, 2019: 69-70).

Metode hadap-masalah ini juga digunakan Freire untuk mengkritik konsep pendidikan yang ia sebut sebagai pendidikan bergaya bank, yakni pendidikan yang menjadikan aktivitas belajar-mengajar sebagai aktivitas menabung, di mana murid berperan sebagai tabungan dan guru bertindak layaknya penabung.

Murid hanya menerima dan menyimpan apa yang disampaikan oleh guru. Tidak ada proses dialektika antara guru dan murid. Konsep pendidikan gaya bank ini bagi Freire merupakan cikal bakal lahirnya ideologi penindasan.

Prinsip Pendidikan Paulo Freire

Freire terkenal karena karyanya Pedagogy of the Oppressed (1970), yang memperkenalkan konsep pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan orang dari penindasan.

Freire berpendapat bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses dialogis di mana siswa bukan hanya menerima pengetahuan, tetapi juga terlibat aktif dalam memahami dan mengubah dunia mereka. Filosofi ini didasarkan pada konsep “kesadaran kritis,” yaitu kemampuan untuk mengenali ketidakadilan dan menantangnya secara kritis.

Freire berperan besar dalam pengembangan pendidikan kritis di seluruh dunia, terutama di kalangan pendidik, aktivis, dan pemikir yang tertarik pada perubahan sosial. Berikut ini beberapa prinsip pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire di antaranya,
1. Kesadaran Kritis
Kesadaran kritis adalah konsep utama dalam pemikiran pendidikan Paulo Freire. Menurutnya, pendidikan harus mendorong peserta didik untuk kritis terhadap realitas mereka, memahami struktur sosial, dan menyadari bagaimana kekuasaan dan ketidakadilan beroperasi dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran kritis ini dicapai melalui proses dialogis dan refleksi, bukan sekadar penghafalan materi. Freire membedakan tiga tingkatan kesadaran:
a. Kesadaran Naif: Pada tahap ini, individu melihat masalah dalam kehidupan mereka sebagai sesuatu yang alami atau tak terhindarkan, tanpa mempertanyakan sumber atau akar masalah. Mereka cenderung menerima status quo dan tidak kritis terhadap lingkungan sosial atau politik mereka.
b. Kesadaran Magis: Di tahap ini, individu mulai menyadari adanya masalah dalam realitas mereka, tetapi menganggapnya sebagai nasib atau takdir yang tidak dapat diubah. Kesadaran ini lebih maju daripada kesadaran naif, namun masih kurang kritis untuk mendorong tindakan nyata.
c. Kesadaran Kritis: Individu menyadari bahwa ketidakadilan sosial dan struktur kekuasaan adalah konstruksi sosial yang dapat diubah. Kesadaran kritis ini mendorong tindakan nyata melalui upaya kolektif, sering kali dalam bentuk advokasi sosial atau pemberdayaan komunitas.

Dalam pandangan Freire, pendidikan tidak seharusnya menjadi proses "banking," di mana guru hanya mengisi "pengetahuan" ke dalam murid yang dianggap pasif. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi proses dialogis yang memungkinkan peserta didik untuk berpikir kritis dan mandiri, menyadari kondisi mereka, dan berani bertindak untuk mengubah keadaan yang tidak adil.

2. Pendidikan Anti-Banking
Konsep "pendidikan anti-banking" dari Freire adalah kritik terhadap metode pendidikan tradisional yang bersifat perbankan. Dalam pendekatan perbankan, siswa dianggap sebagai "tabungan kosong" yang diisi oleh guru dengan pengetahuan tanpa melibatkan mereka secara aktif. Siswa menjadi penerima pasif, sementara guru adalah satu-satunya sumber kebenaran dan pengetahuan.

Pendidikan anti-banking menekankan pentingnya dialog dua arah antara guru dan siswa. Freire percaya bahwa dialog memungkinkan siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, saling belajar sebagai subjek yang setara, bukan hanya sebagai pemberi dan penerima informasi. Melalui pendekatan ini, siswa dapat mengaitkan pengetahuan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang nyata.

Dengan pendidikan anti-banking, siswa didorong untuk mengembangkan kesadaran kritis, mempertanyakan informasi, dan menganalisis struktur sosial yang ada. Menurut Freire, pendidikan harus mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis sekaligus untuk bertindak. Tujuan akhir dari pendidikan anti-banking adalah emansipasi sosial—mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam perubahan masyarakat yang lebih adil dan bebas dari penindasan.

3. Humanisasi
Humanisasi pendidikan menurut Freire menempatkan manusia sebagai inti dan tujuan utama dari proses pendidikan. Ia menentang model pendidikan yang menindas dan tidak menghargai martabat manusia, serta memperlakukan siswa hanya sebagai objek pasif. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya pendekatan pendidikan yang memungkinkan individu untuk lebih sadar akan diri mereka dan lingkungannya, serta mampu berpartisipasi aktif dalam perubahan sosial.

Humanisasi pendidikan menghargai martabat setiap individu dan mengakui potensi mereka untuk berpikir, berkreasi, dan bertindak mandiri. Freire percaya bahwa pendidikan harus menciptakan lingkungan di mana siswa merasa dihormati sebagai manusia berpikir, yang mampu memahami dan membentuk dunia mereka.

4. Transformasi Sosial
Freire memandang transformasi sosial sebagai tujuan utama dari pendidikan pembebasan. Pendidikan, menurutnya, bukan hanya alat untuk menyampaikan pengetahuan, tetapi juga sarana untuk mengubah masyarakat agar lebih adil. Pendidikan harus mengembangkan kesadaran kritis peserta didik, agar mereka dapat memahami dan menentang struktur sosial yang tidak adil serta mendorong perubahan yang humanis.

Ia mengkritik invasi budaya, di mana sistem pendidikan atau kekuatan eksternal menanamkan nilai-nilai tertentu tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan sosial siswa. Pendidikan, menurutnya, harus menghormati identitas sosial peserta didik dan membantu mereka memahami realitas sosial mereka.

Transformasi sosial ala Freire menekankan bahwa pendidikan harus relevan dengan konteks lokal dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan perlu mencerminkan pengalaman nyata siswa, sehingga memberikan solusi bagi permasalahan sosial spesifik di setiap lingkungan. Kesadaran kritis yang tumbuh di tingkat individu harus disertai upaya kolektif, melalui pendidikan yang membangun solidaritas dan mendorong kerja sama dalam komunitas untuk menciptakan perubahan sosial yang signifikan.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://iep-utm-edu.
https://kumparan.com
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment