Pembaruan Islam: Pengertian, Latar Belakang, Tokoh, Tahapan Perkembangan, dan Tantangannya
Pengertian Pembaruan Islam
Pembaruan Islam adalah gerakan yang bertujuan untuk menyelaraskan pemahaman Islam dengan perkembangan zaman. Gerakan ini juga dikenal dengan istilah pemurnian Islam, gerakan tajdid, modernisme, purifikasi, dan puritan.
Gerakan pembaruan Islam dipahami baik sebagai diskursus pemikiran maupun aktivisme praktis. Sebagai diskursus pemikiran, gerakan ini fokus pada pengembangan pemikiran Islam yang sejalan dengan tuntutan modernitas.
Sementara sebagai aktivisme praktis, fokus gerakan adalah melahirkan pola kehidupan dan praktik beragama berdasarkan semangat kemajuan. Semangat utamanya adalah menjadikan Islam terintegrasi ke dalam kehidupan modern, yang mengemban cita-cita kemajuan bagi pemeluknya.
Pembaruan ini bukan berarti perubahan terhadap dasar ajaran agama, melainkan usaha untuk mengadaptasi dan menginterpretasikan ajaran-ajaran Islam dalam konteks sosial, politik, dan budaya yang berkembang.
Demikian, pembaruan ini bertujuan untuk memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dan dapat memberikan solusi bagi umat Muslim di dunia modern. Gerakan ini melibatkan penafsiran ulang terhadap prinsip-prinsip dasar Islam dan memperkenalkan metodologi baru dalam studi agama.
Latar Belakang Pembaruan Islam
Latar belakang munculnya gerakan pembaruan dalam Islam dapat dilihat dari berbagai faktor yang mendorong umat Islam untuk melakukan perbaikan. Beberapa faktor utama yang mendasari pembaruan ini antara lain:
1. Pengaruh Barat dan Kolonialisme
Salah satu faktor utama yang mendorong pembaruan Islam adalah pengaruh dari penjajahan Barat. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, umat Islam di banyak bagian dunia mengalami ketertinggalan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik, maupun teknologi, dibandingkan dengan negara-negara Barat yang telah maju.
Pada saat yang sama, umat Islam terjepit oleh kolonialisme yang semakin menguasai tanah-tanah Islam, seperti yang terjadi di Mesir, India, dan negara-negara Arab. Kondisi ini memicu banyak pemikir dan intelektual Muslim untuk mencari solusi agar umat Islam dapat bangkit dan kembali maju.
Beberapa tokoh reformis, seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, menyerukan agar umat Islam melakukan pembaruan, dengan cara kembali kepada ajaran asli Islam yang dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial-politik yang ada.
2. Kemunduran Sosial dan Kesenjangan
Selama beberapa abad, banyak umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang statis terhadap ajaran agama, yang dianggap tidak dapat menjawab tantangan baru zaman modern.
Kesenjangan sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial yang meluas memperburuk situasi. Gerakan pembaruan Islam bertujuan untuk menanggapi permasalahan ini dengan menciptakan sistem sosial yang lebih adil dan berdasarkan nilai-nilai Islam.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan teknologi, terutama pada abad ke-19 dan ke-20, juga memicu pembaruan dalam Islam. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat memberikan tantangan bagi umat Islam untuk memperbarui cara berpikir mereka tentang agama.
Gerakan pembaruan Islam melihat pentingnya untuk mengadopsi teknologi dan ilmu pengetahuan modern, sambil tetap menjaga kesetiaan terhadap prinsip-prinsip dasar agama. Pembaruan dalam pendidikan dan pengajaran agama menjadi salah satu fokus utama dalam upaya ini.
4. Krisis Identitas dan Internal Islam
Seiring dengan adanya tantangan eksternal, umat Islam juga menghadapi krisis internal terkait dengan tafsir dan implementasi ajaran Islam. Banyak pihak merasa bahwa berbagai praktik keagamaan yang ada tidak lagi mencerminkan esensi ajaran Islam yang asli.
Misalnya, praktik taklid (mengikuti pendapat tanpa dasar argumen) yang dianggap menghambat kebebasan berpikir dalam konteks ijtihad (penalaran independen) menjadi salah satu fokus utama dalam pembaruan.
Baca Juga: Pengertian Taqlid dan Bahaya Taqlid Buta
Para pemikir seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rida menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama hukum, serta menjauhkan diri dari praktik yang tidak sesuai dengan syariat.
5. Perubahan Sosial dan Globalisasi
Dalam dunia yang semakin terhubung dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, tantangan global juga menjadi latar belakang penting bagi pembaruan dalam Islam.
Umat Islam tidak hanya harus merespons perubahan yang terjadi di dalam masyarakat mereka sendiri, tetapi juga perlu menyikapi perubahan yang lebih besar dalam skala global.
Pembaruan dalam Islam mendorong umat untuk menjawab tantangan global ini dengan perspektif yang inklusif dan berbasis pada prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan.
Tokoh Pembaharu Islam
Beberapa tokoh besar dalam sejarah Islam telah berperan penting dalam menggerakkan pembaruan ini, dengan mengusung ide-ide yang melibatkan reinterpretasi terhadap ajaran Islam dan penerapan prinsip-prinsip modern dalam kehidupan umat Islam.
1. Jamaluddin al-Afghani (1838–1897)
Jamaluddin al-Afghani adalah salah satu tokoh sentral dalam gerakan pembaruan Islam di abad ke-19. Lahir di Afghanistan, al-Afghani dikenal sebagai seorang pemikir yang sangat kritis terhadap kemunduran umat Islam dan pengaruh kolonialisme Barat.
Dia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam bukanlah akibat dari ajaran Islam yang usang, tetapi lebih disebabkan oleh pengabaian terhadap prinsip-prinsip dasar Islam dan ketidakmampuan umat Islam untuk beradaptasi dengan perubahan zaman.
Pemikiran al-Afghani menekankan pentingnya ijtihad (penafsiran independen) dan taqlid (ikut-ikutan tanpa pemahaman mendalam) yang sering kali menghambat pembaruan.
Al-Afghani juga menekankan bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan, dan bahwa umat Islam perlu bersatu untuk menghadapi tantangan global. Dalam hal pemerintahan, al-Afghani mengusulkan agar sistem otokrasi diganti dengan sistem yang lebih demokratis dan bersifat partisipatif.
2. Muhammad Abduh (1849–1905)
Muhammad Abduh, seorang murid dari al-Afghani, adalah tokoh pembaruan Islam yang sangat berpengaruh, terutama di Mesir.
Abduh menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Islam yang murni, namun dengan pemahaman yang rasional dan kontekstual. Salah satu kontribusi besar Abduh adalah pemikirannya tentang ijtihad dalam menafsirkan teks-teks agama.
Dia berargumen bahwa umat Islam harus mampu memahami Islam dalam konteks zaman modern dan tidak hanya terpaku pada tradisi.
Abduh juga sangat memperjuangkan kesetaraan gender, mengajukan hak-hak pendidikan bagi perempuan, dan mendukung peningkatan kualitas pendidikan di kalangan umat Islam.
Di bidang politik, Abduh percaya bahwa kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi dan bahwa hukum Islam harus beradaptasi dengan kondisi sosial yang berkembang.
3. Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935)
Muhammad Rasyid Ridha, seorang pemikir asal Lebanon yang berkarier di Mesir, adalah penerus utama dari pemikiran Muhammad Abduh. Ridha meneruskan gagasan-gagasan pembaruan Abduh, terutama terkait dengan penerapan ijtihad dan pentingnya pendidikan.
Namun, Ridha lebih menekankan pada konsep salafiyyah, yang berarti kembali pada ajaran-ajaran Islam yang murni, namun dengan pemahaman yang fleksibel terhadap perkembangan zaman. Ridha juga mengusulkan untuk mencampurkan pendidikan umum dengan pendidikan agama, sehingga umat Islam dapat berkembang dalam kedua bidang tersebut.
Dalam pandangannya, umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama hukum dan etika, dan tidak terpaku pada fikih klasik yang terkadang tidak relevan dengan keadaan modern.
4. Muhammad Iqbal (1877–1938)
Muhammad Iqbal, seorang filsuf, sastrawan, dan pemikir dari India, memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pembaruan Islam di Asia Selatan. Iqbal berpendapat bahwa umat Islam perlu memandang agama mereka sebagai sumber inspirasi untuk mencapai kemajuan intelektual dan sosial.
Salah satu gagasan terpenting Iqbal adalah pentingnya ijtihad sebagai sarana untuk menghadapi tantangan zaman modern. Iqbal juga dikenal dengan gagasannya tentang konsep dinamisme Islam, yang menekankan bahwa Islam adalah agama yang selalu berkembang dan tidak statis.
Baca Juga: Ijtihad: Pengertian, Ruang Lingkup, Fungsi, Rukun, Metode, dan Contohnya
Menurut Iqbal, umat Islam harus melepaskan diri dari belenggu tradisi yang kaku dan merangkul perubahan untuk menciptakan dunia baru yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam.
5. Sultan Mahmud II (1785–1839)
Sultan Mahmud II adalah salah satu tokoh pembaruan Islam dari Turki Utsmaniyah yang memimpin selama awal abad ke-19.
Sultan Mahmud II terkenal dengan reformasinya dalam bidang pemerintahan dan militer, yang bertujuan untuk mengatasi kemunduran yang dialami oleh Kesultanan Utsmaniyah akibat penurunan kekuasaan dan pengaruhnya di dunia Islam.
Reformasi Sultan Mahmud II termasuk pembentukan sistem administrasi yang lebih efisien dan pembaruan dalam angkatan bersenjata dengan menerapkan teknologi dan taktik militer modern.
Meski lebih fokus pada reformasi negara, Sultan Mahmud II berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai Islam dalam sistem pemerintahannya.
6. Hasan al-Banna (1906–1949)
Hasan al-Banna adalah pendiri Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam yang bertujuan untuk memperbarui masyarakat Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Al-Banna berpendapat bahwa pembaruan Islam harus dimulai dari tatanan masyarakat, dengan mendirikan organisasi yang dapat mengembalikan umat Islam kepada prinsip-prinsip dasar agama dan memperbaiki kondisi sosial-politik umat Islam.
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh al-Banna menekankan pentingnya pendidikan, solidaritas sosial, dan keterlibatan politik sebagai cara untuk mengembalikan kejayaan Islam.
Meskipun al-Banna tidak hanya berfokus pada teori, ia juga mempraktekkan ajaran-ajarannya melalui berbagai kegiatan sosial dan dakwah yang menginspirasi banyak generasi di dunia Islam.
Tahapan Perkembangan Pembaharuan Islam
Pembaruan Islam merupakan proses intelektual dan sosial yang terus berkembang sepanjang sejarah umat Islam.
Berawal dari respons terhadap permasalahan internal dan eksternal, pembaruan ini telah melibatkan berbagai tahap dan gerakan yang mencerminkan dinamika pemikiran umat Islam dalam menanggapi perubahan zaman.
1. Tahap Revivalisme Pra-Modernis (Abad ke-18 hingga Awal Abad ke-19)
Tahap pertama dari gerakan pembaruan Islam dikenal dengan istilah revivalisme pra-modernis.
Gerakan ini dimulai sebagai reaksi terhadap kemunduran moral dan sosial yang melanda masyarakat Islam pada masa itu, yang sebagian besar disebabkan oleh stagnasi pemikiran dan tradisionalisme yang mengikat umat Islam pada praktik-praktik yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, para pemikir dan ulama pada waktu itu menuntut kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup.
Pada tahap ini, tokoh-tokoh seperti Muhammad ibn Abd al-Wahhab di Hijaz dan Shah Waliullah al-Dihlawi di India memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Mereka menekankan perlunya membersihkan umat Islam dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah (inovasi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam) dan menyarankan untuk kembali pada pola kehidupan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Baca Juga: Bid'ah: Pengertian, Hukum, Dalil, Jenis, dan Contohnya
Gerakan ini juga dikenal dengan sebutan fundamentalisme Islam, yang mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai dasar Islam secara tekstual.
Pemahaman yang diajarkan oleh gerakan ini cenderung konservatif dan menekankan penerapan ajaran Islam tanpa interpretasi yang terlalu banyak, bahkan terkesan kaku dan literal. Model kehidupan Nabi dan sahabat dianggap sebagai bentuk ideal yang harus ditiru secara menyeluruh
2. Gerakan Pembaruan Islam Modern (Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20)
Seiring dengan pengaruh penjajahan Barat yang semakin mendalam di dunia Islam, muncul gelombang pembaruan yang lebih modern. Gerakan ini dipicu oleh keterbelakangan yang dialami dunia Islam dalam bidang pendidikan, sains, dan teknologi, yang semakin terasa akibat dominasi kolonialisme Eropa.
Oleh karena itu, pembaruan pada tahap ini tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga mencakup pemikiran politik, sosial, dan ekonomi.
Jamāl al-Dīn al-Afghānī dan Muhammad Abduh, dua tokoh penting dalam gerakan pembaruan Islam ini, memperkenalkan gagasan untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan modernitas.
Mereka menekankan pentingnya pendidikan dan rasionalitas dalam memahami Islam, serta perlunya umat Islam untuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama.
Al-Afghānī, misalnya, mengajukan ide tentang iḥyā’ al-‘ilm (revitalisasi ilmu), yang menghubungkan ilmu pengetahuan Barat dengan ajaran Islam, serta menekankan perlunya kemerdekaan politik dan sosial untuk umat Islam.
Pada tahap ini, muncul pula gagasan tentang nasionalisme Islam, yang mengaitkan identitas Islam dengan gerakan kebangsaan melawan dominasi kolonial. Pemikiran-pemikiran ini mendorong terciptanya kesadaran kolektif di dunia Islam tentang pentingnya meraih kemerdekaan dan membangun kembali peradaban Islam yang telah lama terpuruk.
3. Gerakan Sekularisasi dan Pembaruan Sosial (Abad ke-20 hingga Sekarang)
Pada abad ke-20, pembaruan Islam memasuki fase yang lebih kompleks, di mana konsep-konsep Barat seperti sekularisme, demokrasi, dan hak asasi manusia mulai diterima dan diadaptasi dalam konteks Islam.
Beberapa tokoh pembaharu, seperti Fazlur Rahman, menyarankan agar ajaran Islam dipahami secara kontekstual, dengan memperhatikan situasi dan kondisi zaman.
Rahman berargumen bahwa interpretasi yang terlalu literal terhadap teks-teks agama dapat menghambat kemajuan umat Islam, sehingga perlu ada pendekatan yang lebih fleksibel dalam menerapkan ajaran Islam.
Pada tahap ini, muncul pula gerakan Islam moderat yang berusaha menyeimbangkan ajaran agama dengan tuntutan modernitas. Gerakan ini mencoba untuk menyatukan nilai-nilai Islam dengan sistem pemerintahan dan pendidikan yang lebih terbuka dan progresif, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasar agama.
Oleh karena itu, ide-ide sekularisme dan demokrasi mulai digabungkan dengan ajaran Islam, meskipun tidak tanpa tantangan dan kontroversi.
4. Gerakan Pascamodernis dan Adaptasi Global (Abad ke-21)
Gerakan pembaruan Islam pada abad ke-21 berfokus pada integrasi pemikiran Islam dengan tantangan global yang semakin kompleks. Isu-isu seperti globalisasi, perubahan iklim, dan ketimpangan ekonomi menjadi fokus utama, dengan banyak intelektual Muslim yang berusaha mencari solusi yang sesuai dengan prinsip Islam.
Namun, pada tahap ini, pembaruan tidak lagi hanya berfokus pada penerimaan konsep-konsep Barat, tetapi lebih kepada bagaimana mengintegrasikan teknologi, ilmu pengetahuan, dan sistem sosial Barat dengan nilai-nilai Islam yang tetap relevan.
Di dunia digital, konsep Islamic Social Media dan Islamic Economy mulai berkembang, menciptakan ruang baru bagi umat Islam untuk menanggapi masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi dalam kerangka yang lebih terbuka dan inklusif.
Pembaruan ini tidak hanya berbicara tentang modernitas, tetapi juga tentang mencari bentuk-bentuk baru dari ijtihad (penafsiran hukum Islam) yang lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman yang terus berubah.
Upaya-Upaya Pembaharuan Islam
1. Reformasi Pendidikan
Pembaharuan pendidikan merupakan salah satu aspek utama dari upaya pembaharuan Islam. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Ali Pasya dan Jamaluddin al-Afghani menyadari pentingnya pendidikan modern sebagai sarana untuk mengimbangi kemajuan Barat.
Mereka mendorong pendirian sekolah-sekolah modern yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sebelumnya kurang diperhatikan dalam sistem pendidikan tradisional Islam. Pembaharuan ini bertujuan agar umat Islam dapat menguasai ilmu yang relevan dan tidak tertinggal dalam perkembangan zaman.
2. Reformasi Sosial dan Politik
Selain pendidikan, pembaharuan Islam juga menyentuh aspek sosial dan politik. Pembaharuan ini termasuk penghapusan sistem feodal, penguatan hak-hak perempuan, dan pengembangan sistem hukum yang lebih adil dan egaliter.
Tokoh seperti Sultan Mahmud II di Turki melaksanakan reformasi administratif dan militer untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Di Mesir, Muhammad Ali Pasya memperkenalkan reformasi ekonomi dan militer yang memodernisasi negara tersebut.
3. Tajdid dalam Pemikiran Keagamaan
Upaya pembaharuan dalam pemikiran keagamaan Islam berfokus pada penolakan terhadap taklid (ikut-ikutan tanpa pemahaman) terhadap mazhab-mazhab tradisional, serta dorongan untuk kembali pada sumber-sumber utama Islam: Al-Qur’an dan Hadis.
Baca Juga: Tajdid sebagai Gerakan Pembaharuan dalam Islam
Tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani menganggap bahwa umat Islam harus membuka ruang untuk ijtihad (penafsiran hukum) yang lebih fleksibel dan kontekstual dengan kebutuhan zaman. Mereka menentang pemikiran yang kaku dan mendorong umat Islam untuk berpikir secara rasional dan progresif.
4. Kritik terhadap Kolonialisme Barat
Banyak tokoh pembaharu Islam yang juga terlibat dalam gerakan anti-kolonial. Mereka menyadari bahwa penjajahan Barat telah menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam.
Dalam hal ini, pemikir seperti al-Afghani mendorong persatuan umat Islam untuk melawan dominasi Barat dan mengembalikan kejayaan Islam. Salah satu ide besar dalam gerakan ini adalah pan-Islamisme, yang bertujuan untuk menyatukan dunia Islam dalam menghadapi tantangan global.
Tantangan dan Kritik Terhadap Pembaruan Islam
Pembaruan Islam adalah respons terhadap tantangan modernitas, kolonialisme, dan stagnasi intelektual yang dirasakan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia.Meskipun tujuannya untuk mengembalikan kesucian ajaran Islam dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, gerakan ini tidak terlepas dari kritik dan tantangan.
Kritik-kritik tersebut sering datang baik dari kalangan tradisionalis yang mempertahankan otoritas teks klasik, maupun dari pihak yang menilai pembaruan sebagai bentuk sekularisasi atau distorsi terhadap prinsip dasar agama.
1. Tantangan Sejarah dan Sosial
Salah satu tantangan utama dalam pembaruan Islam adalah pengaruh historis dan sosial yang memengaruhi penerimaan ajaran Islam yang tidak selaras dengan konteks kekinian.
Sejak masa kejayaan Islam, umat Muslim telah mengalami kemunduran di berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi, yang semakin dipertegas dengan kolonialisasi negara-negara Barat pada abad ke-19. Penaklukan oleh kekuatan asing seperti Eropa dan Mongol telah memperburuk kemunduran intelektual dan spiritual dalam dunia Islam.
Pembaruan Islam pada masa ini, seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani, mengusung gagasan kembali kepada sumber-sumber asli Islam (Al-Qur’an dan Hadis) dan menantang dominasi tradisionalisme yang dianggap menghambat kemajuan.
Namun, kritik terhadap pembaruan ini muncul dari mereka yang melihat upaya tersebut sebagai ancaman terhadap kesucian ajaran agama. Kelompok ini, yang seringkali berpegang teguh pada mazhab-mazhab klasik, berargumen bahwa pembaruan dapat membuka pintu interpretasi yang sesat dan mencampuri ajaran yang sudah mapan.
Mereka menilai bahwa ijtihad atau penafsiran baru dalam hukum Islam berisiko menciptakan perpecahan dalam umat dan mengarah pada distorsi terhadap pesan asli Islam.
2. Konflik antara Modernitas dan Tradisionalisme
Pembaruan Islam sering kali menghadapi kritik karena dianggap sebagai upaya sekularisasi agama. Sebagian pihak merasa bahwa penerimaan ide-ide Barat, seperti rasionalisme, demokrasi, dan modernitas, dapat mengurangi otoritas agama dalam kehidupan sosial dan politik.
Sebagai contoh, gerakan pembaruan yang dipelopori oleh tokoh seperti Mustafa Kemal Atatürk di Turki, yang menghapuskan kekhalifahan dan mengadopsi sistem sekuler, mendapat kecaman dari banyak kalangan yang menganggapnya sebagai penyimpangan dari ajaran Islam yang sejati.
Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Sayyid Qutb di Mesir, meskipun mendorong modernisasi dalam konteks tertentu, tetap menekankan pentingnya menjaga keaslian prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi modernitas.
Di Indonesia, gerakan pembaruan yang dipelopori oleh organisasi seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam juga menghadapi tantangan serupa.
Meskipun gerakan ini berhasil mengintegrasikan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, beberapa pihak mengkritik bahwa penekanan pada rasionalisasi dan reformasi hukum Islam dapat menyebabkan hilangnya aspek spiritualitas dan identitas agama yang lebih dalam.
3. Pertentangan dalam Menafsirkan Ajaran Islam
Salah satu kritik terbesar terhadap pembaruan Islam adalah bagaimana ia memandang dan menafsirkan teks-teks agama.
Sebagian pihak menganggap bahwa setiap upaya untuk “memodernisasi” atau “menyesuaikan” ajaran Islam dengan nilai-nilai kontemporer dapat mengarah pada penciptaan interpretasi yang bertentangan dengan syariat asli.
Di sisi lain, pendukung pembaruan berargumen bahwa Islam memiliki fleksibilitas untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan konteks sosial dan historis yang terus berubah, asalkan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Dari berbagai sumber yang relevan
Baca Juga: Latar Belakang Pembaruan Islam di Indonesia, Tokoh, dan Pengaruhnya
Post a Comment