Oemar Said Tjokroaminoto: Sejarah, Biografi, dan Perjuangannya

Table of Contents

Oemar Said Tjokroaminoto
Sejarah Oemar Said Tjokroaminoto

Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Bakur Madiun Jawa Timur pada 16 Agustus 1882. Lebih dikenal di Indonesia sebagai H.O.S. Tjokroaminoto, adalah seorang nasionalis Indonesia. Ia menjadi salah satu pemimpin Sarekat Dagang Islam, yang didirikan oleh Samanhudi, yang menjadi Sarekat Islam, yang mereka dirikan bersama. 

Baca Juga: Sejarah Sarekat Islam (SI): Tujuan, Tokoh Penting, dan Sejarah Perkembangannya

Tjokroaminoto adalah figur penting pergerakan anti kolonial sampai kematiannya, dan dikenal sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso, Soekarno, dan Kartosuwiryo. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih.

Sebagai pimpinan Sarekat Islam, Tjokroaminoto dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam.

Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh Tjokroaminoto dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan, tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik.

Pada akhirnya tahun 1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam. Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.

Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.

Biografi dan Perjuangannya

Tjokroaminoto lahir di Bakur Madiun Jawa Timur pada 16 Agustus 1882,  putra bangsawan Surakarta dari Raden Mas Tjokroamiseno. Dia adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Sejak kecil ia dikenal memiliki watak sebagai pemimpinan, berani dan kuat berpendirian.

Ia menamatkan pendidikan dari sekolah pamong praja, Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Semarang tahun 1902 (Gonggong 1985: 3-6). Setelah itu dia bekerja sebagai juru tulis patih Ngawi selama tiga tahun (1902-1905).

Tjokro, begitu nama panggilnya, menikah dengan Raden Mas Ayu Suharsikin, putri wakil bupati Ponorogo, Raden Mas Magunsumo. Dengan demikian ia memiliki trah bangsawan Jawa yang amat kuat dari kedua belah keluarganya.

Tjokro menetap di kota Surabaya mulai tahun 1906. Di sana dia bekerja sebagai juru tulis pada sebuah firma Inggris, Kooy & Co. Dia belajar pada sekolah kejuruan petang atau Burgerlijk Avondschool (BAS) selama tiga tahun (1907-1910).

Pada saat itu usianya 24 tahun. Dengan kematangan usia dan pendidikan yang dimilikinya, Tjokro tampil sebagai pemimpin di lingkungan siswa BAS dan membawa mereka dalam agenda politik baru mewakili semangat kaum terpelajar muda di Surabaya (Achdian 2017: 36-37).

Pasca studi dia pindah dari firma itu dan bekerja sebagai calon masinis, kemudian pindah ke pabrik gula di luar kota Surabaya sebagai ahli kimia pada 1911-1912 (Noer 1982: 121).

Tjokro punya tiga anak, yaitu Harsono, Anwar, dan Utari. Mereka tinggal di kampung Paneleh Gang 7, suatu kawasan pemukiman padat di kota Surabaya. Rumahnya dibagi 10 kamar kecil termasuk loteng sebagai tempat kos bagi pelajar. Bagian depan untuk keluarga dan belakang bagi anak-anak kos, antara lain adalah Sukarno yang pada saat itu berusia 15 tahun.

Bergabung dengan Sarekat Islam (SI)

Tjokro mulai berkiprah dalam organisasi melalui Budi Utomo (BU). Setelah kongres di Yogyakarta pada Oktober 1908, BU membuka cabang di berbagai daerah antara lain Surabaya dengan ketua cabang Tjokroaminoto.

Puncak kiprah Tjokro dalam pergerakan nasional ketika memimpin Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Organisasi ini bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk K.H. Samanhoeddhi, M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, dan M. Hadji Abdulradjak pada tahun 1905 sebagai benteng para pedagang batik bumiputera terhadap dominasi Cina dan bangsawan lokal di Solo (Noer 1982: 115-116).

Sarekat Islam dibentuk di Solo pada 11 November 1911. Anggaran dasar pertama disusun oleh Raden Mas Tirtoadisurdjo, lulusan OSVIA dan pendiri Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor 1911. Tujuannya adalah meningkatkan persaudaraan dan tolong-menolong antara sesama kaum muslim dalam mengangkat derajat rakyat guna mencapai kemakmuran, kesejahteraan, dan kebesaran negeri (Noer, 1982: 116).

Periodisasi organisasi ini dibagi empat yaitu masa pertumbuhan (1911-1916), masa puncak (1916-1921), masa konsolidasi (1921-1927), dan masa eksistensi di forum politik Indonesia (1927-1942) (Noer 1982: 114). Tjokro bergabung dengan SI pada bulan Mei 1912 atas ajakan dari Haji Samanhoedi. Ia menyusun Anggaran Dasar baru organisasi ini bagi seluruh Indonesia.

Kongres pertama di Surabaya (Januari 1913) memutuskan untuk membagi wilayah SI menjadi tiga: Jawa Barat (termasuk Sumatra dan pulau-pulau sekitar Sumatra), Jawa Tengah (termasuk Kalimantan), dan Jawa Timur (mencakup pulau Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur). Semua cabang di bawah pengawasan pengurus pusat di Surakarta yang dipimpin Samanhoedi.

Pada 18 Februari 1914, para pemimpin SI bertemu di Yogyakarta memutuskan membentuk pengurus pusat yang terdiri atas Samanhoedi sebagai ketua kehormatan, Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Gunawan selaku wakil ketua. Kepengurusan ini diakui oleh pemerintah pada 18 Maret 1916 (Noer 1982: 118-119).

Tjokro sangat erat dengan SI. Ia tampil sebagai pembicara yang menarik dan bersemangat. Ia dapat menawan hati banyak orang dan menjadi simbol harapan bagi mereka yang merasa diri tertekan dan yang sudah merasa bebas. Para intelektual Indonesia terbaik menjadi pengurus SI dan mengitarinya.

Perpecahan Sarekat Islam (SI)

Keberhasilan tersebut disusul oleh tuntutan pemerintah kepada pimpinan SI untuk bertanggungjawab terhadap kejadian di Toli-toli Sulawesi Tengah (Juni 1919) dan Garut Jawa Barat (Juli 1919) yang dimotori SI lokal. Akibatnya Tjokro dipenjarakan tahun 1920 dan Kongres Nasional Keempat di Surabaya dipimpin oleh Agus Salim (Gonggong 1985: 46-47). 

Baca Juga: Peristiwa Cimareme: Sejarah Perlawanan Rakyat Garut dan Keterlibatan Sarekat Islam Afdeling B

Dalam kongres ini terjadi pertentangan antara Agus Salim dengan Semaun terkait disiplin partai, bahwa anggota SI tidak boleh memiliki keanggotaan ganda. Mereka harus memilih salah satunya. Pada akhirnya Semaun dan pendukungnya dari Solo, Salatiga, Sukabumi, dan Bandung ke luar dari SI.

Mereka mengorganisir diri menjadi Sarekat Rakyat. Dampaknya jumlah anggota SI lokal semakin berkurang dari 53 satuan pada kongres kelima (Yogyakarta, Mei 2021) menjadi 36 satuan pada kongres keenam (Surabaya, Oktober 1921) (Noer 1982: 145).

Kendati Tjokro telah dibebaskan pada Oktober 1921, namun kondisi partai sudah terpecah belah akibat keluarnya kubu Semaun yang berhaluan komunis. Sarekat Islam berupaya mendekatkan semua organisasi Islam.

Pada 1920-1922 diadakan kongres Al-Islam secara berturut-turut di Cirebon dan Garut yang bertujuan untuk mengurangi perbedaan di antara umat Islam dengan mengutamakan persatuan menghadapi penjajah. Pada kongres SI di Madiun 1923 diputuskan bahwa Central SI (CSI) diubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). 

Baca Juga: Sarekat Islam Afdeling B: Sejarah Perlawanan Rakyat Priangan terhadap Kolonial Belanda

Sikap terhadap Belanda berubah dari kooperasi menjadi non-kooperasi. Sikap yang terakhir itu ditegaskan lagi pada Kongres Nasional 1924, selain bergiat menentang gerakan komunis. Pada tahun 1925, Agus Salim memutuskan keluar dari Volksraad (Gonggong 1985: 51).   

Selama kurun waktu antara tahun 1914 sampai 1930, Tjokro tercatat sangat aktif dalam berbagai media massa (koran dan majalah). Dia menjadi pimpinan redaksi harian Utusan Hindia (1914-1923), majalah dua mingguan Bendera Islam (1924-1927), dan harian Fajar Asia (1927-1930).

Kemudian sebagai editor pada majalah bulanan Al-Islam (1916) dan majalah dua mingguan Bintang Islam (1923-1926) (Noer, 1982: 345-347). Ini jelas bahwa media massa merupakan sebagai salah satu sarana paling efektif menyebarkan gagasan dan pandangan Tjokro tentang agama dan nasionalisme Indonesia kepada publik.

Di antara pelajar dan pejuang yang pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto adalah Sukarno. Pada saat itu Sukarno berusia 15 tahun dan Tjokro 33 tahun. Sukarno memiliki posisi istimewa di mata Tjokro dibandingkan dengan pelajar yang lain. Selain anak kos dan murid, Sukarno adalah menantu Tjokroaminoto. Sukarno (21 tahun) menikah dengan putri Tjokro yakni Oetari (16 tahun).   

Setiap hari para pemimpin partai lain atau pemimpin cabang SI datang di rumah Tjokro. Mereka biasanya tinggal beberapa hari. Ketika anak-anak kos lain keluar rumah menyaksikan pertandingan bola, Sukarno lebih memilih duduk dan mendengarkan percakapan para tamu dengan Tjokro.

Ia mendapatkan pendidikan politik secara langsung dari Tjokro. Tokoh terakhir ini memiliki kemampuan berpidato yang luar biasa sehingga mampu menghipnotis para pendengarnya selama berjam-jam. Kemampuan seperti itu kelak dimiliki pula oleh Sukarno.   

Akhir Hidup

Pada 1934, kondisi kesehatan Tjokroaminoto mulai menurun. Ia jatuh sakit setelah mengikuti Kongres SI di Banjarmasin. Tjokroaminoto meninggal pada 17 Desember 1934. Tubuhnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta.

Tjokroaminoto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Indonesia Soekarno pada tahun 1961 berdasarkan Nomor Surat Keputusan SK/590/Tahun/1961 pada tanggal 09 November 1961.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment