Mazhab Stoik (Stoikisme): Sejarah dan Ajaran tentang Kebahagiaan

Table of Contents

Mazhab Stoik atau Stoikisme
Apa itu Mazhab Stoik (Stoikisme)?

Mazhab Stoik atau Stoikisme adalah sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Stoikisme berasal dari kata Yunani stōïkos, yang berarti "dari stoa". Nama ini merujuk pada Stoa Poikile, sebuah sekolah filsafat di Athena, Yunani, tempat Zeno mengajar.

Stoikisme populer hingga kurang lebih lima abad (3 SM-3 M), selanjutnya mempengaruhi banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap hidup. Fokus filsafat stoikisme adalah dalam bidang etika. Stoa memiliki perbedaan tajam dengan gagasan intelektual tua lainnya, yaitu epikureanisme dan skeptisisme.

Baca Juga: Pengertian Skeptisisme, Skeptisisme dalam Ilmu Pengetahuan, dan Perbedaannya dengan Sikap Kritis dan Berpikir Negatif

Stoikisme merupakan aliran filsafat yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam aliran Filsafat Yunani Kuno karena relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem pemerintahan saat itu.

Asal Usul Mazhab Stoik atau Stoikisme

Stoikisme berasal dari Yunani Kuno pada abad ke-3 SM dan mendapatkan pengaruh kuat dari para filsuf seperti Zeno dari Citium, Cleanthes, dan Epictetus. Filsuf Romawi seperti Seneca, Musonius Rufus, dan Kaisar Marcus Aurelius juga dikenal sebagai penganut Stoikisme yang terkenal.

Baca Juga: Epictetus: Sosok Budak yang Menjadi Filsuf Berpengaruh

Stoikisme, stoicism, stoic, atau stoisisme, berasal dari bahasa Yunani yaitu “stoikos” yang artinya “dari stoa (serambi atau beranda). Hal tersebut mengacu pada Stoa Poikile, atau “Beranda Berlukis” yang ada di Athena. Di mana para filsuf stoik Zeno dari Citium yang memberikan pengaruh besar pada stoikisme pernah mengajar.

Pandangan Filosofis Mazhab Stoik atau Stoikisme

Ajaran filosofi stoa ini sangat beragam, tetapi bisa disimpulkan bahwa dasarnya adalah mengenai perkembangan logika yang terbagi menjadi dua, yaitu retorika dan dialektika. Selain itu, filosofi ini juga membahas mengenai perkembangan fisika dan juga etika yang memuat teologi dan politik.

Baca Juga: Pengertian Retorika, Sejarah, Tujuan, Fungsi, Jenis, dan Strategi Penyusunannya

Adapun pandangan mencolok terkait etika adalah tentang bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, yaitu hidup pasrah dan tawakal dengan menerima semua keadaan yang ada di dunia. Sikap tersebut adalah cerminan dari kemampuan nalar manusia dan juga kemampuan tertinggi dari semua aspek hidup.

Baca Juga: Dialektika: Pengertian, Sejarah, dan Pendapat Ahli

Di dalam filosofi stoikisme, semua hal yang terjadi dalam hidup manusia itu bersifat netral. Tidak ada yang berperan positif atau negatif, tidak ada hal buruk atau baik. Hal yang bisa menjadikan hal-hal tersebut menjadi positif atau negatif, baik atau buruk adalah interpretasi kita terhadap hal itu.

Para filsuf stoik menganggap kebahagiaan itu bukan untuk dikejar. Mereka lebih fokus pada cara bagaimana dapat mengurangi emosi negatif, mulai dari marah, sedih, stres, dan juga galau. Dengan memperbaiki nalar tersebut, maka kita akan lebih mampu mengendalikan perilaku kita dalam menghadapi emosi tersebut. 

Baca Juga: Pengertian Etika, Ciri, Fungsi, Manfaat, Klasifikasi, dan Jenisnya

Ketakutan kita untuk menghadapi situasi yang tidak kita diharapkan sebenarnya lebih besar dibandingkan dengan akibat yang akan muncul dari peristiwa tersebut. Menurut konsep stoikisme, jalan termudah untuk menuju kebahagiaan adalah didasarkan pada beberapa prinsip berikut:
1. Kemampuan dalam melihat diri sendiri, dunia, serta manusia lain secara objektif dan menerima sifat mereka dengan apa adanya.
2. Disiplin untuk mencegah diri sendiri dikendalikan oleh keinginan untuk bahagia atau takut terhadap rasa sakit dan juga penderitaan.
3. Membuat sebuah perbedaan antara apa yang ada di dalam kekuatan kita dan apa yang tidak ada.

Selain itu, konsep ini juga mengajarkan kepada kita bahwa apa yang ada di dalam kendali kita hanyalah pikiran, persepsi, keyakinan, dan tindakan kita sendiri.

Stoikisme mengungkapkan bahwa kebijakan atau kebijaksanaan merupakan sebuah kebahagiaan dan penilaian yang harus didasarkan pada perilaku, bukan kata-kata. Di mana kita tidak bisa mengendalikan apa pun yang terjadi jika itu berasal dari luar diri kita atau bersifat eksternal. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita dan bagaimana cara kita merespons hal-hal yang terjadi di sekitar kita.

Para Stoa mengungkapkan bahwa perasaan takut atau cemburu (entah itu nafsu seksual atau cinta yang penuh gairah terhadap apa pun) muncul dari penilaian yang tidak tepat dari orang-orang pada umumnya. Namun bagi orang-orang yang bijak yaitu seseorang yang sudah mencapai kesempurnaan dalam hal moral serta intelektual. Maka hal tersebut tidak akan mereka alami.

Stoik pada masa Seneca dan juga Epictetus menekankan pada sebuah doktrin yang sudah menjadi ajaran Stoa awal, bahwa orang yang bijak akan benar-benar kebal terhadap masalah apa pun, kemalangan ataupun derita. Itu artinya, sikap kebajikan sudah cukup untuk mencapai kebahagiaan.

Akan tetapi, hal tersebut tidak semata-mata bahwa hanya orang bijak saja yang bebas dari penderitaan sedangkan orang lain secara moral bersifat jahat. Filosofi ini tidak peduli dengan teori dunia yang rumit. Cara tersebut hanya ingin membantu kita dalam mengatasi emosi yang merusak dan bagaimana cara bertindak dengan benar.

Konsep Hidup Filosofi Stoikisme

Di dalam filosofi stoikisme kita diminta untuk bertanggung jawab atas cara pandang kita terhadap sesuatu. Konsep tersebut menganggap bahwa salah satu penyebab dari penderitaan yang kita alami adalah karena diri kita sendiri. Kitalah yang sebenarnya bisa menentukan penderitaan ataupun kebahagiaan yang ingin kita rasakan.

Selain itu, di dalam konsep stoikisme, kita juga diharuskan untuk menarik garis pembeda antara hal-hal yang bisa kita kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Banyak orang yang akhirnya tidak bahagia dan sedih karena mereka mencoba mengendalikan hal-hal yang tidak bisa mereka kendalikan. Hal tersebut tentu akan membuat mereka merasa tidak berdaya, kesal, dan merasa tidak berguna.

Jadi, filosofi stoikisme sebenarnya berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan menyadari bahwa memang ada beberapa hal yang tidak bisa kita kendalikan. Saat kita berfokus pada apa yang bisa kita kendalikan, maka kita akan merasa berguna, efektif, dan bisa memecahkan sebuah masalah dengan mudah.

Prinsip Utama Stoikisme

Stoikisme memiliki prinsip-prinsip utama yang membentuk landasan dari konsepnya tentang gaya hidup yang baik. Beberapa prinsip utama ini di antaranya,
1. Logos: Logos adalah prinsip yang mendasari alam semesta dan memberikan makna pada segala sesuatu. Stoik percaya bahwa kita harus hidup sesuai dengan alam dan mengikuti arahan Logos.
2. Virtue (Kebajikan): Kebajikan adalah tujuan tertinggi dalam hidup. Stoik percaya bahwa seseorang harus berusaha menjadi bijak, adil, berani, dan moderat.
3. Kendali Internal: Stoik mengajarkan bahwa kita hanya memiliki kendali atas tindakan dan reaksi kita terhadap peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Oleh karena itu, mereka mendorong kita untuk fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan.
4. Tidak Bergantung pada Eksternal: Stoik menekankan pentingnya tidak bergantung pada kekayaan, ketenaran, atau hal-hal material untuk kebahagiaan. Mereka percaya bahwa kebahagiaan yang sejati datang dari dalam.

Gaya Hidup Stoikisme

Stoikisme bukan sekadar filosofi intelektual, tapi juga adalah panduan untuk menjalani gaya hidup yang lebih baik. Beberapa konsep gaya hidup stoikisme yang relevan di antaranya,
1. Kendali Emosi: Stoikisme mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi negatif seperti kemarahan dan kecemasan. Ini dilakukan dengan memahami bahwa kita tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal, tetapi kita selalu dapat mengendalikan bagaimana kita meresponsnya.
2. Sederhana: Stoik menghargai sederhana dalam gaya hidup. Mereka menekankan pentingnya tidak terlalu terikat pada hal-hal material dan fokus pada kekayaan batin.
3. Hidup Menurut Kebajikan: Stoik berusaha untuk hidup sesuai dengan kebajikan. Ini mencakup berperilaku adil, bijak, berani, dan moderat dalam segala hal.
4. Penerimaan Terhadap Perubahan: Stoik mengajarkan kita untuk menerima perubahan sebagai bagian dari alam kehidupan. Ini membantu kita untuk lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan dan tantangan.
5. Latihan Kontemplatif: Stoik sering melakukan latihan kontemplatif, seperti merenungkan kematian, untuk membantu mengatasi ketakutan dan memahami pentingnya waktu yang kita miliki.
6. Sikap Tegas dan Penuh Kehendak: Stoik mendorong kita untuk memiliki sikap tegas terhadap nilai-nilai kita dan untuk menjalani hidup dengan penuh kehendak. Ini berarti tidak mengikuti arus atau menyerah pada tekanan eksternal.

Cara Membentuk Pola Pikir Stoikisme

Berikut beberapa cara agar bisa membentuk pola pikir stoikisme dan mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru yang lebih baik lagi.
1. Bedakan antara hal yang bisa diubah dan tidak
Sebuah praktik penting yang ada di dalam filosofi stoikisme adalah tentang bagaimana membedakan hal-hal apa saja yang bisa diubah dan hal apa saja yang tidak bisa kita ubah. Apa yang kita punya dan apa yang kita tidak punya. Contoh hal-hal yang kita punya adalah tinggi badan, warna kulit, bentuk tubuh, cuaca, dan tanah kelahiran.

Contoh hal yang tidak kita punya yaitu  jadwal transportasi umum yang bisa saja tiba-tiba berubah jadwalnya. Tidak peduli seberapa keras usaha kita, kita tidak akan pernah bisa memaksa orang lain untuk menyukai kita. Dibanding memikir hal-hal yang tidak dapat kita capai, lebih baik kita lebih bersyukur terhadap apa yang sudah kita punya dan kita genggam saat ini.

2. Biasakan diri menyusun jurnal
Apabila kalian ingin memulai hidup dengan menerapkan prinsip stoikisme, maka kalian perlu membiasakan diri untuk menulis sebuah jurnal harian. Dalam filosofi Yunani kuno, kebiasaan menulis jurnal adalah filosofi yang nantinya akan mempersiapkan kita untuk menghadapi hari-hari di masa depan.

Dengan berbekal jurnal harian ini, kita bisa bercermin pada kejadian yang ada di masa lampau. Jurnal tersebut dapat kita isi dengan kebijaksanaan dari guru, buku, teman, atau pengalaman pribadi. Dengan rutin menulis jurnal pribadi, bukan tidak mungkin kita akan mengenali diri kita sendiri. Sehingga di masa mendatang kita akan merasa lebih bahagia.

3. Persiapkan diri dan tetap sabar menghadapi segala masalah
Perlu diingat, bahwa sejatinya hidup bukan hanya tentang hal-hal yang indah dan menyenangkan saja. Akan ada waktunya kita terpuruk, terjatuh, dan juga terluka. Hal tersebut merupakan bagian dari hidup. Hidup dengan menerapkan ilmu stoikisme ini artinya kita harus siap dengan sebuah pandangan bahwa sejatinya hidup itu tidak selalu senang dan nyaman.

Ada kemalangan dan kesedihan yang menyertai hidup kita. Oleh karena itu, berusahalah untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi hari-hari yang kelam dan belajarlah untuk dapat berdamai dan menerima emosi-emosi negatif yang menghampiri, seperti takut ataupun cemas. Biasakan diri sendiri untuk tetap tegar dan kuat untuk menghadapi beberapa skenario terburuk.

4. Setiap hal buruk yang hadir merupakan sumber kebahagiaan baru
Hidup akan terasa lebih berat dan sulit, apabila kita hanya berfokus pada permasalahan yang ada. Daripada hanya memikirkan keburukan yang datang, cobalah untuk memberikan sebuah kebaikan dan fokus kepada hal-hal yang baik juga. Misalnya dengan membantu seseorang yang sudah membuat kita sedih atau marah, atau mungkin memberikan senyuman kepada orang-orang yang sengaja menyerobot antrean kita dan menyenggol kita dengan sengaja.

Di dalam konsep stoikisme, kebahagiaan merupakan sesuatu hal yang kita ciptakan sendiri. Jadi bukan hanya sekedar menunggu kebahagiaan datang. Jadi, daripada kalian larut dalam kesedihan, lebih baik ayo kita ciptakan kebahagiaan kita sendiri dan tersenyumlah.

5. Ingatlah, kita hanyalah butiran kecil di alam semesta
Inti dari konsep stoikisme sebenarnya sangat sederhana. Kita hanya perlu sadar, bahwa sebenarnya kita adalah makhluk yang sangat kecil di muka alam semesta. Begitu juga semua hal yang kita hadapi. Mulai dari kesedihan, rintangan, dan hal-hal negatif lainnya. Itu semua hanyalah butiran debu.

Perlu kita ingat juga bahwa semua pencapaian dalam hidup bisa saja bersifat sementara. Kalian bisa saja sekejap memilikinya dan sekejap pula kehilangan hal tersebut. Jadi, mengapa kita tidak mengganti semua hal buruk yang hadir dengan hal-hal yang baik saja?

6. Terima apa pun yang terjadi
Hal lain dari konsep stoikisme yang mengingatkan diri sendiri terkait hal yang tidak penting, yaitu menyadarkan kita bahwa dunia tidak hanya berputar di sekitar kita saja. Seperti yang dikatakan Epictetus, apabila kita mengharapkan bahwa semesta akan memberikan hal-hal yang kita inginkan, maka yang akan kita dapatkan justru kekecewaan.

Namun jika kita menerima apa pun yang diberikan oleh semesta, maka hidup kita akan jauh lebih damai dan bahagia.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.gramedia.com
https://mediaindonesia.com
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment