Mazhab Sinis: Sejarah serta Pengaruhnya

Table of Contents

Mazhab Sinis
Apa itu Mazhab Sinis?

Mazhab Sinis adalah aliran filsafat Yunani Kuno yang berakar dari ajaran Sokrates. Mazhab ini dianut oleh kaum sinis (Sinisme) yang berpandangan bahwa hidup sesuai dengan alam lebih baik daripada hidup sesuai dengan konvensi modern.

Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang. Kaum Sinis percaya bahwa tujuan hidup adalah menjalani kehidupan yang berbudi luhur sesuai dengan kodrat, tanpa terikat oleh keinginan konvensional seperti kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran.

Istilah "Sinis" berasal dari istilah Yunani Kuno untuk "seperti anjing", yang merujuk pada cara orang Yunani Kuno memandang kaum Sinis sebagai hidup seperti anjing liar. Sinisme tidak pernah menjadi mazhab filsafat formal, dan tidak pernah memiliki bangunan sekolah filsafat secara fisik. Namun, banyak dari ide-ide Sinis kemudian diserap ke dalam Stoisisme.

Kata-kata seperti sinis, sinisme, mempunyai konotasi negatif (peioratif) terhadap kemurungan, pesimisme, keraguan, peremehan; penghinaan terhadap pendapat orang lain; tidak yakin akan hal-hal ideal dan kemanusiaan. Sinisme juga dianggap sebagai suatu keyakinan bahwa manusia selalu terpusat pada diri sendiri, munafik, tidak tulus, dan hanya baik kepada diri sendiri.

Sejarah dan Tokoh Mazhab Sinisme

Aliran filsafat Sinis pertama kali didirikan oleh Antisthenes hidup pada 445-365 SM, yang merupakan salah seorang pengikut setia Sokrates. Antisthenes dalam bahasa dan logika secara empatis tidak bersifat sinis; dan asosiasi langsung antara Diogenes dan Anthistenes secara kronologis agak problematik.
 
Tokoh sinis yang juga terkenal adalah Diogenes dari Sinope, yang tinggal di dalam sebuah tong, yang menurut catatan hidup Cicero (Cic. Tusc. V.92) Diogenes diperkirakan lahir dan mati kira-kira 412/403-324-321 SM, berasal dari Laut Hitam. Ayahnya bernama Herecias, bertugas di tempat pembuatan uang; ia diasingkan; dan dia menghabiskan sisa hidupnya di Athena dan Korintus.

Baca Juga: Diogenes: Filsuf Sinisme dari Sinope
 
Hubungan antara Antithesnes dan Diogenes tidak terlalu jelas, berdasarkan rekonstruksi yang banyak diyakini sejarawan, Diogenes dan ayahnya dituduh merusak mata uang yang menyebabkan Diogenes diasingkan, dan peristiwa itu terjadi setelah kematian Antisthesnes. Pembuangan itu menjadi katalis perubahan hidupnya yang paling dramatis. Anggapan ini menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara keduanya. Sejarah yang agaknya paling layak dipercaya adalah pertemuannya dengan Alexander Agung.
 
Suatu hari ketika Diogenes sedang berjemur, Alexander Agung yang melihat filsuf besar ini, mendekati dan menanyainya apakah ada sesuatu yang dapat ia lakukan untuknya. Diogenes menjawab, "Menyingkirlah dari cahayaku!", karena Alexander menghalangi sinar matahari.

Baca Juga: Aleksander Agung Sang Penakluk yang Disebutkan dalam Alkitab dan Al-Qur’an
 
Kehidupan Diogenes memang sangat mengherankan, ia hidup dalam belanga anggur yang sering disebut bak mandi, makanan dan minumannya sangat sederhana. Ia minum dari air dingin pegunungan, tidak minum anggur, tidak makan sayur kacang-kacangan, tidak memakai sepatu, hanya memakai dua lapis baju saat musim dingin tanpa jubah.

Barang-barang miliknya ia dapatkan dari hasil mencuri, bercocok tanam, dan mengemis. Ia menunjukkan semua aktivitas di depan publik: makan, minum, kencing, berak, masturbasi, dan hubungan seksual, khususnya di Agora, tempat sakral di luar batas aktivitas keduniawian. Intinya, ia dijuluki doggish karena kelakuannya yang tidak tahu malu.
 
Diogenesis memiliki seorang penerus bernama Crates. Crates berasal dari Boeoti, dari Thebes, yang menolak kemakmurannya, dan bergabung dalam aliran Sinis. Dia tampak lebih bergembira daripada Diogenes; menurut beberapa laporan, setiap rumah di Athena terbuka untuknya, dia bahkan dijuluki pembantu rumah tuhan.

Yang mengherankan, Crates menjalani hidup dengan menikah, yaitu dengan Hipparchia, yang seolah bertentangan dengan prinsip anti-kemapanan Sinisme Diogenesis, ia bahkan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja menenun. Persamaannya dengan Diogenesis adalah bahwa keduanya juga menekankan hidup bahagia dalam kecukupan diri, dan semua itu membutuhkan praktik asketisme. 

Baca Juga: Asketisisme: Pengertian, Kategori, dan Asketisisme dalam Agama

Dia berpendapat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat berbahagia jika kebahagiaan diukur dari keseimbangan antara kesenangan dan penderitaan, jika kita memulai tahap-tahap hidup kita dari sana, kita hanya akan merasa menderita ketimbang bahagia.

Crates dari Thebes (sekitar 365 - 285 SM ), yang menyumbangkan kekayaannya yang besar agar ia dapat hidup dalam kemiskinan di Athena. Sinis Yunani terkenal lainnya termasuk Onesicritus (sekitar 360 - 290 SM), Hipparchia (sekitar 325 SM), Metrocles (sekitar 325 SM), Bion dari Borysthenes (sekitar 325 - 255 SM), Menippus (sekitar 275 SM), Cercidas (sekitar 250 SM) dan Teles (sekitar 235 SM).

Kemunduran Mazhab Sinis

Dengan bangkitnya Stoisisme pada abad ke-3 SM, Sinisme sebagai aktivitas filosofis yang serius mengalami kemunduran, dan baru pada era Romawi terjadi kebangkitan Sinisme. Sinisme menyebar dengan bangkitnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-1 M, dan kaum Sinis dapat ditemukan mengemis dan berkhotbah di seluruh kota Kekaisaran Romawi, di mana mereka diperlakukan dengan campuran cemoohan dan rasa hormat .

Sinisme tampaknya berkembang pesat hingga abad ke-4 M, tidak seperti Stoisisme  yang telah lama menurun pada saat itu. Kaum Sinis Romawi yang terkenal termasuk Demetrius (c. 10 - 80 M ), Demonax (c. 70 - 170 M), Oenomaus (c. 120 M), Peregrinus Proteus (c. 95 - 167 M) dan Sallustius (c. 430 - 500 M).

Sinisme akhirnya menghilang pada akhir abad ke-5 M, meskipun banyak ide-ide asketis dan metode retorikanya diadopsi oleh orang-orang Kristen awal.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www-philosophybasics-com.
Dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment