Diogenes: Filsuf Sinisme dari Sinope
Siapa itu Diogenes dari Sinope?
Diogenes dari Sinope adalah seorang filsuf Yunani kuno yang hidup pada abad ke-4 SM. Ia termasuk ke dalam Mazhab Sinis. Mazhab Sinis adalah salah satu mazhab yang berakar pada ajaran Sokrates. Karena itu, Diogenes dari Sinope berpendapat, seperti Sokrates, bahwa manusia haruslah memiliki keutamaan tentang yang baik.
Diogenes berpendapat bahwa keutamaan tentang yang baik adalah ketika manusia memiliki rasa puas diri dan mengabaikan segala kesenangan duniawi. Diogenes lebih memilih hidup sederhana dengan menolak harta benda, norma-norma sosial dan apa pun yang menghalanginya mengejar kebajikan.
Baca Juga: Asketisisme: Pengertian, Kategori, dan Asketisisme dalam Agama
Diogenes dari Sinope dikenal dengan sebutan "kunikos" yang dalam bahasa Yunani memiliki arti “si anjing”. Hal ini dikarenakan ia sangat berani dalam menyatakan pandangannya layaknya seekor anjing yang menyalak.
Karena sikapnya yang menyimpang dari gaya santun Sokrates itu, Plato memberinya julukan sebagai "Sokrates yang Pemarah".
Diogenes tidak meninggalkan satu karya pun. Sumber utama tentang dirinya adalah buku "Hidup dan Pandangan Filsuf-Filsuf Ternama" yang dikarang oleh Diogenes Laertius.
Riwayat Hidup
Diogenes lahir di Sinope, sebuah koloni Yunani di pantai Laut Hitam yang sekarang disebut Turki, pada abad ke-4 SM. Ayahnya, Hicesias, adalah seorang bankir dan keluarganya diyakini relatif kaya dalam sejarah Yunani kuno.
Menurut salah satu legenda, ayah Diogenes dituduh merendahkan nilai mata uang. Akibatnya, keluarganya terpaksa meninggalkan Sinope dan mencari perlindungan di tempat lain.
Tidak jelas ke mana Diogenes pergi setelah meninggalkan Sinope, namun ia akhirnya pergi ke Athena, yang merupakan pusat kehidupan intelektual dan filosofis Yunani pada saat itu.
Berguru kepada Antishthenes
Saat berada di Athena, Diogenes kemudian berguru kepada seorang filsuf bernama Anthishthes, yang merupakan salah satu murid dari Sokrates. Awalnya ia menolak Diogenes sebagai muridnya, namun karena melihat kesungguhannya, sang filsuf pun menerimanya.
Antishthenes (445-365 SM) dikenal sebagai filsuf yang memperkenalkan aliran Sinisme, sebuah pandangan yang menunjukkan penolakan atas kemewahan, kekayaan, dan status sosial.
Para sinis percaya bahwa tujuan hidup adalah untuk hidup dalam kebajikan, sesuai dengan alam (rasio). Ini berarti hanya memenuhi persyaratan tubuh yang paling mendasar dengan cara sesederhana mungkin. Mereka percaya jika pengendalian diri dan kebajikan adalah kunci hidup ini.
Menjalani Hidup Asketis
Diogenes dikatakan menganut filosofi Sinis dengan sepenuh hati, menolak nilai-nilai pada masanya, termasuk kekayaan, kekuasaan, dan status sosial dan menganjurkan kehidupan sederhana serta swasembada.
Ia percaya bahwa mengejar kesenangan adalah pengalihan perhatian dari mengejar kebijaksanaan, dan bahwa kebahagiaan dan kebebasan sejati hanya dapat dicapai dengan menjalani kehidupan sederhana dan berbudi luhur.
Kaum Sinis percaya pada hidup selaras dengan alam. Mereka melihat pengejaran kesenangan dan kekayaan sebagai gangguan dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu pengembangan diri dan pengembangan kebajikan.
Mereka menganjurkan kehidupan dalam kemiskinan dan asketisme, percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan tanpa adanya keinginan materi.
Kaum Sinis percaya bahwa kebajikan adalah kunci menuju kehidupan bahagia. Hal itu dapat dicapai melalui penolakan terhadap harta benda dan pencarian kebijaksanaan serta pengetahuan diri.
Mereka melihat diri mereka sebagai contoh nyata dari filosofi mereka, mendorong orang lain untuk mengikuti jejaknya dalam menjalani kehidupan.
Perilaku Aneh Diogenes
Diogenes dikenal karena perilakunya yang eksentrik dan provokatif. Baginya, hal tersebut dimaksudkan untuk menantang norma dan konvensi masyarakat serta untuk menggambarkan keyakinan filosofisnya.
Salah satu tindakannya yang paling terkenal adalah tinggal di dalam tong keramik besar di pasar Athena. Dengan tinggal di dalam tong, Diogenes menunjukkan bahwa dirinya terbebas dari jeratan kekayaan dan kemewahan yang begitu dihargai pada masanya.
Sebaliknya, ia menganut kehidupan miskin dan sederhana, percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan tanpa adanya keinginan materi.
Terlepas dari reputasinya sebagai filsuf, Diogenes dikenal suka mengemis makanan dan uang. Hal ini bukan karena keharusan, melainkan sebagai cara untuk menunjukkan kemandiriannya dari norma-norma masyarakat dan penolakannya terhadap pengejaran kekayaan juga status.
Dengan mengemis, Diogenes menunjukkan bahwa ia tidak terikat oleh hierarki sosial yang mengatur zamannya. Sebaliknya, ia menjalani kehidupan yang bebas dan mandiri, mengandalkan akal dan kecerdikannya untuk bertahan hidup.
Diogenes juga diketahui sering berjalan telanjang di depan umum, bahkan dalam cuaca dingin. Dia merasa bebas dari rasa malu terkait dengan konvensi sosial yang menentukan cara seseorang harus berpakaian dan berperilaku.
Selain itu, Diogenes juga dikenal suka makan di pasar, tempat ia sering berbagi makanan dengan anjing liar. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan keyakinannya terhadap kesetaraan semua makhluk dan penolakannya terhadap hierarki sosial yang memisahkan manusia dari hewan.
Terakhir, Diogenes diketahui sering buang air di depan umum, bahkan di depan orang lain, yang menunjukkan penolakannya terhadap tabu sosial dan pembatasan yang mengatur fungsi tubuh.
Lentera di Siang Hari
Tidak banyak karya-karya pandangan hidup Diogenes yang tertulis. Kita hanya bisa mengetahuinya dari anekdot-anekdot penuh nilai dari kisah kehidupannya yang ditulis sejarawan kuno Yunani yang bernama Diogenes Laertius (abad 3 M).
Satu yang paling terkenal adalah bagaimana kisah Diogenes yang membawa obor di siang hari yang terang ke pasar Athena dengan mengarahkan obornya kepada setiap wajah yang ia temui sambil berkata "aku sedang mencari manusia."
Hal ini merupakan satu sindiran dan sikap sinismenya kepada kehidupan masyarakat Athena kala itu yang telah rusak, di mana mereka bersikap individualis dan memiliki adat dan budaya yang tidak manusiawi serta tak selaras dengan alam.
Masih banyak lagi anekdot-anekdot sikapnya yang penuh makna, bahkan dianggap ekstrem juga. Karena gaya hidupnya itu, Plato bahkan menyebut Diogenes sebagai "Socrates Gone Mad". Di satu sisi memiliki kebijaksanaan hidup seperti Sokrates namun dengan cara yang lebih gila.
Pertemuan dengan Alexander Agung
Menurut catatan kuno, Diogenes bertemu Alexander Agung ketika raja Makedonia mengunjungi Athena pada tahun 336 SM dalam catatan sejarah Yunani kuno.
Alexander, yang telah mendengar tentang reputasi filsuf itu, pergi menemuinya di kediamannya di pasar. Ketika Alexander tiba, dia menemukan Diogenes terbaring di bawah sinar matahari. Raja menyambutnya dan bertanya apakah ada yang bisa dia lakukan untuknya.
Alexander dengan murah hati kemudian menawarkan pilihan hadiah kepadanya. Namun dengan acuh Diogenes menjawab, “Menjauhlah dari matahariku.”
Alexander mengagumi semangatnya dan berkata, "Jika saya bukan Alexander, saya ingin menjadi Diogenes" dan Diogenes menjawab, "Jika saya bukan Diogenes, saya juga ingin menjadi Diogenes."
Pertukaran ini menjadi salah satu pertemuan paling terkenal antara seorang filsuf dan penguasa dalam sejarah.
Pertemuan dengan Plato
Karena menganggap tata krama dan etiket adalah kehidupan palsu di dunia mimpi, Diogenes meyakini hal itu tidak boleh dituruti. Dampaknya, ia sering menghina para atasan sosialnya, termasuk Plato dan Alexander Agung.
Suatu waktu, Plato mendefinisikan manusia sebagai "makhluk berkaki dua tak berbulu". Karena definisinya ini, ia mendapatkan pujian dari banyak orang.
Berbeda dengan Diogenes, alih-alih memuji ia malah membawa seekor ayam botak ke Akademi Plato, dan berkata, "Lihatlah, inilah manusia Plato."
Plato kemudian menambahkan "dengan kuku yang lebar dan rata" pada definisinya. Ini bukan pertama kali Diogenes menghina Plato di depan umum, tetapi ini adalah insiden yang paling terkenal.
Warisan Filsuf
Meskipun perilakunya tidak lazim, Diogenes adalah seorang filsuf yang disegani pada masanya, dan dikenal karena kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam sejarah Yunani kuno.
Dia disebut-sebut sebagai pengaruh oleh banyak filsuf dan penulis, termasuk Friedrich Nietzsche dan Henry David Thoreau.
Saat ini, warisannya terus menginspirasi mereka yang ingin menjalani kehidupan sederhana dan mandiri. Pencariannya akan orang jujur berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya kebenaran dan kejujuran dalam hidup kita.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://nationalgeographic.grid.id
https://www.idntimes.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment