Aleksander Agung Sang Penakluk yang Disebutkan dalam Alkitab dan Al-Qur’an

Table of Contents

Aleksander Agung
Siapakah Aleksander Agung?

Aleksander III dari Makedonia lebih dikenal sebagai Aleksander Agung, adalah seorang raja dari Kerajaan Yunani kuno dari Makedonia. Pada usia 20 tahun, dia meneruskan takhta ayahnya, Filipus II dari Makedonia yang tewas dibunuh pada pernikahan Kleopatra dari Makedonia pada bulan Oktober 336 SM.

Tidak lama setelah kematian ayahnya, Aleksander menghabiskan sebagian besar waktu kekuasaannya untuk melancarkan kampanye-kampanye militer ke Asia Barat dan Mesir, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Pada usia 30 tahun, dirinya telah berhasil membentuk salah satu kekaisaran terbesar sepanjang sejarah, wilayahnya terbentang dari Balkan di barat sampai India di timur.

Dia tidak pernah terkalahkan dalam pertempuran dan terkenal luas sebagai salah satu komandan militer tersukses dalam sejarah.

Aleksander Agung dalam Alkitab dan Al-Quran

Alexander disebut, baik dalam Alkitab maupun dalam Al-Quran. Dalam Alkitab ia disebut Nabi Daniel. Ia adalah orang yang mendapat penglihatan tentang Alexander Agung. Ia hidup di masa tahun pertama dan ketiga pemerintahan Raja Belsyazar, cucu Raja Nebukhadnezar di Babilonia. Sayangnya, Alexander meninggal di usia yang sangat muda, yakni 32 tahun.

Aleksander Agung disebut juga dalam Al Quran. Alexander Agung diidentifikasikan dengan Dhu al-Qarnayn, yang secara harfiah berarti "Yang Bertanduk Dua" dalam Al-Qur'an, Surat Al-Kahfi 18:83-94. Namanya biasanya dieja sebagai 'Iskandar' dalam literatur Muslim dia sering juga disebut dengan Iskandar Dzulqarnain

Sekilas Biografi dan Perjalanan Kekuasaannya

Aleksander III dari Makedonia, atau lebih dikenal dengan sebutan Aleksander Agung (21 Juli 356 SM – 10 atau 11 Juni 323 SM), adalah anak dari Raja Philip II dari Makedonia. Aleksander naik takhta sebagai raja pasca mangkatnya sang ayah pada 336 SM.

Gelaran 'Agung' diperoleh karena pengakuan atas kejeniusan militer maupun kecakapan diplomatis Aleksander ketika berhadapan dengan bermacam ragam populasi asli dari wilayah yang ditaklukkan.

Selain itu, Aleksander juga memiliki reputasi sebagai penyebar budaya, bahasa, serta pemikiran (filosofis) Yunani di sepanjang wilayah Asia Kecil, Mesir, Mesopotomia hingga India, sekaligus sebagai penggerak awal dimulainya era yang disebut sejarah dengan “Dunia Helenis (Hellenistic World)”

Baca Juga: Helenisme: Pengertian, Asal-Usul, dan Cirinya

Masa Muda Aleksander Agung

Masa kecil Aleksander disibukkan dengan belajar cara bertempur dan berkuda serta berlatih bermacam uji ketahanan tubuh seperti baris paksa (forced marches, latihan militer dalam bentuk berjalan atau berbaris menempuh jarak panjang sambil membawa beban berat) di bawah bimbingan Leonidas dari Epirus (masih kerabat sang ibu, Olimpias).

Sang ayah, Raja Philip, sejak awal sudah mencita-citakan dan mengkader Aleksander sebagai calon raja yang halus budi, karenanya menyewa Lisimakhus dari Akarnania untuk mendidik anaknya belajar membaca, menulis dan bermain lira (alat musik tradisional Yunani berbentuk seperti harpa).

Pembelajaran inilah yang memicu dan memupuk kecintaan Aleksander pada membaca dan musik di sepanjang hayatnya. Pada usia 14 tahun, Aleksander diperkenalkan dengan filsuf Yunani, Aristoteles, yang disewa ayahnya sebagai tutor pribadi bagi sang anak.

Calon penakluk dunia ini belajar di bawah bimbingan Aristoteles selama tiga tahun dan keduanya tetap menjalin korespondensi sekalipun Aleksander disibukkan dengan kampanye militernya di kemudian hari.

Di satu sisi, kuatnya pengaruh bimbingan Aristoteles bakal tercermin dari perilaku Aleksander ketika berurusan dengan berbagai bangsa yang ditaklukkannya, yakni Pemimpin Agung ini tidak pernah, bahkan untuk sekali saja, memaksa bangsa atau budaya asli apapun yang mendiami wilayah taklukan tersebut untuk menganut atau sekedar mengadopsi budaya Yunani.

Alih-alih, Aleksander hanya memperkenalkan budayanya, sama persis dengan metode Aristoteles dalam memperkenalkan ajarannya pada semua muridnya. Pada sisi lain, pengaruh didikan militer yang keras dari Leonidas terlihat dari tingginya stamina dan daya tahan tubuh Aleksander serta kemahirannya berkuda.

Kampanye Militer Awal

Kecakapan militer Aleksander terbukti untuk pertama kali dalam Perang Chaeronea pada 338 SM. Sekalipun baru berusia 18 tahun, dia mampu membantu membalik situasi perang hingga menjamin kemenangan yang menentukan bagi pasukan Makedonia atas pasukan sekutu yang terdiri dari berbagai negara-kota (city-states) Yunani.

Ketika ayahnya, Philip II, dibunuh pada 336 SM, Aleksander segera naik takhta dan mengingat semua negara-kota Yunani saat itu telah disatukan di bawah panji kekuasaan Makedonia pasca tunduknya Chaeronae, Aleksander bergegas melanjutkan kampanye militer yang sebelumnya telah digagas ayahnya sendiri: penaklukan Kekaisaran Persia yang perkasa.

Berbekal pasukan berkekuatan 32,000 infantri dan 5,100 kavaleri, Aleksander menyeberang menuju wilayah Asia Kecil pada 334 SM dan menaklukan kota Baalbek seraya menamai kembali kota tersebut sebagai Heliopolis.

Aleksander juga berhasil membebaskan Efesus, kota Yunani yang berada di bawah cengkeraman kekuasaan Persia, dan pada kesempatan yang sama juga menawarkan jasa untuk membangun kembali Kuil Artemis, tidak lain dan tidak bukan adalah kuil yang rusak parah akibat dibakar pada malam kelahirannya sendiri, namun itikad baik ini ditolak masyarakat kota Efesus.

Pada 333 SM, pasukan Aleksander berhasil mengalahkan tentara Raja Darius III dari Persia yang berjumlah lebih besar dalam Perang Issos dan membuat Raja Darius melarikan diri dari medan pertempuran meninggalkan sanak-keluarganya.

Aleksander terus melanjutkan derap pasukannya merangsak Sidon, kota bangsa Phoenisia, sebelum berlanjut menaklukan kota Aleppo. Pada 332 SM, Aleksander berhasil menguasai Siria dan tahun berikutnya, wilayah Mesir pada 331 SM sekaligus mendirikan kota pelabuhan terkenal, Aleksandria, di semenanjung Mesir.
 
Aleksander meninggalkan Mesir untuk meneruskan kampanya militernya dan dengan mudah menaklukkan berbagai wilayah kerajaan Phoenisia terkecuali untuk satu kota-pulau (island city) Tyre, yang memaksanya melancarkan taktik pengepungan total (under siege).

Kampanye Militer Persia

Pada 331 SM, Aleksander kembali berhadapan dengan Raja Darius III di medan pertempuran wilayah Gaugamela juga dengan jumlah pasukan Persia yang jauh lebih besar. Lagi-lagi, Aleksander berhasil mengalahkan Darius dengan mutlak dan sekali lagi memaksa sang Raja melarikan diri dari medan pertempuran.

Pasca kekalahan ini Raja Darius bakal dibunuh dan menemui ajal di tangan jendral sekaligus sepupunya sendiri, Bessus. Dikabarkan bahwa tindakan pembunuhan ini justru sangat disesalkan notabene oleh Aleksander sendiri.

Jasad Raja Darius dimakamkan dengan penghormatan tertinggi serta anggota keluarganya diperlakukan penuh hormat. Aleksander lantas mentasbihkan diri sebagai Raja Asia dan melanjutkan kampanye pasukannya menuju kota akbar, Susa, yang menyerah tanpa syarat maupun perlawanan.

Dari kota Susa, Aleksander bergerak menuju kota Persepolis. Pada 329 SM, Aleksander mendirikan kota Alexandria-Eschate di sekitar wilayah Sungai Iaxartes, menghancurkan kota Cyropolis, dan mengalahkan bangsa Scithia.

Pada masa-masa ini juga, Aleksander banyak mendirikan kota baru yang mengadopsi namanya sebagai upaya penguatan pencitraan publik terhadap sosoknya sebagai dewa, sekaligus menobatkan diri sebagai ShahanShah (Raja Diraja atau King of Kings), yakni gelar kehormatan yang biasa digunakan raja-raja dari periode Kekaisaran Persia Pertama (First Persian Empire).

Demi menjaga status tertinggi tersebut, Aleksander tidak ragu menerapkan praktik proskynesis (tradisi bangsa Persia yang memaksa siapapun untuk terlebih dahulu berlutut dan mencium tangan sebelum menyapa raja), bahkan bagi anggota tentaranya sendiri.

Kampanye Militer India

Pada 327 SM, setelah mengamankan wilayah Persia di bawah kendali tangannya serta baru saja menikahi bangsawan wanita dari Baktria bernama Roxana, Aleksander mengalihkan fokus ekspansi militernya ke wilayah India.

Mendengar kabar tentang sepak terjang Jendral Agung Makedonia ini sebelumnya, Raja Omphis dari Taxila, India, memutuskan untuk menyerah dan mengakui otoritas Aleksander tanpa perlawanan, namun tidak bagi dua suku lain, Aspasioi dan Assakenoi, yang bersikukuh melawan.

Dalam peperangan di sepanjang 327 SM hingga menjelang 326 SM, Aleksander berhasil mengalahkan kedua suku ini sebelum akhirnya berhadapan dengan Raja Porus dari Paurawa dalam Perang Sungai Hidaspes pada 326 SM.

Porus menerjang pasukan Aleksander dengan bala tentara gajah dan bertempur dengan sangat gagah berani sekalipun akhirnya dipaksa mengakui keunggulan militer Aleksander. Meskipun kalah, kegagahan Porus justru memicu kekaguman Aleksander hingga melantiknya menjadi penguasa atas wilayah yang bahkan lebih besar dari kekuasaan Porus sebelum perang.

Aleksander berniat melanjutkan penaklukan militernya dengan menyebrang Sungai Gangga, namun anggota pasukannya yang kehabisan tenaga pasca pertempuran hebat melawan Raja Porus (menurut sejarawan Arrian, Aleksander kehilangan 1,000 bala tentara dalam perang tersebut), balik membangkang titah sang Jendral dan menolak bergerak maju.

Aleksander berupaya keras melakukan segala ragam bujukan namun tetap gagal memenangi hati bala tentaranya hingga terpaksa menuruti keinginan mereka dan membatalkan rencana penaklukan India. Sekalipun telah mengurungkan niat menaklukan India, Aleksander tetap mengambil jeda untuk bertempur dan menaklukan berbagai suku yang melawan di sepanjang rute menuju Susa.

Pada gilirannya, ganasnya medan gurun ditambah banyaknya pertempuran yang dihadapi balik mengharuskan Aleksander dan pasukannya membayar dengan harga amat tinggi yakni kehilangan bala tentara dalam jumlah signifikan saat mereka mencapai gerbang kota Susa pada 324 SM.
 

Kematian Hephaestion

Sekembalinya dari medan laga, Aleksander mendapati banyak satrap (pejabat wilayah setingkat gubernur) yang diamanati memegang tampuk kepemimpinan balik menyalahgunakan kekuasaan mereka. Kejahatan ini segera direspon dengan terbitnya perintah eksekusi atas semua pejabat korup, termasuk bagi mereka yang berani menjarah dan merusak makam Cirus yang Agung di bekas ibukota kekaisaran Akhemania, Pasargadae.

Aleksander juga menitahkan restorasi makam dan ibukota kuno tersebut seraya mengambil berbagai kebijakan untuk mengambil hati sekaligus mempersatukan tentaranya dengan penduduk asli guna memadukan kebudayaan Persia dan Makedonia. Salah satu kebijakan ini adalah melaksanakan perkawinan masal di kota Susa dengan menikahkan para pejabat senior Makedonia dan wanita bangsawan dari Persia.

Pada masa yang bersamaan di kitaran 324 SM, Hephaestion, sobat sepanjang hayat sekaligus pemegang komando tertinggi setelah Aleksander, wafat akibat sejenis demam meskipun ada laporan yang menyebut penyebab kematiannya akibat diracun.

Semua surai dan ekor kuda juga dipotong sebagai simbol pernyataan duka dan Aleksander menolak untuk melantik, pun sekedar mencari pengganti Hephaestion dalam posisinya sebagai komandan tertinggi unit kavaleri. Aleksander meninggalkan makan dan minum seraya menyatakan masa berkabung bagi seluruh wilayah kekaisarannya sekaligus menyelenggarakan upacara pemakaman sahabatnya melalui prosesi yang hanya pantas diberlakukan bagi para raja.

Kematian Aleksander

Pulih dari masa berkabung, Aleksander kembali mengalihkan perhatian pada rencana meluaskan wilayah kekaisarannya namun gagasan ini tidak pernah terwujud. Hanya berjarak lebih kurang setahun pasca Hephaesteon wafat, atau tepatnya pada 10 atau 11 Juni 323 SM, Aleksander meninggal dunia di Babilon pada usia 32 tahun setelah menderita demam tinggi selama sepuluh hari.

Berbagai teori muncul perihal musabab kematian Aleksander seperti diracun, terserang malaria, akibat meningitis (radang selaput otak), hingga karena infeksi setelah meminum air yang terkontaminasi bakteri (pun semua sebab ini menyatakan sebagian dari banyak teori lainnya).

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.worldhistory.org
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment