Rawi: Pengertian, Tingkatan, Syarat, dan Contohnya

Table of Contents

Pengertian Rawi
Pengertian Rawi

Rawi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad SAW. Merawikan artinya perbuatan meriwayatkan (hadis). Perawi artinya orang yang meriwayatkan hadis.

Secara bahasa kata الراوي berarti الناقل ‘orang yang memindahkan atau meriwayatkan.’ Sementara dari segi istilah, rawi adalah  هو الشخص الذى ينقل الحديث أو الأثر بسنده منتهاه
”Orang yang memindahkan hadits atau atsar dengan sanadnya hingga penghujungnya.”

Baca Juga: Sanad sebagai Kajian Ilmiah dalam Islam

Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits yang didengar atau diterima dari seseorang atau gurunya. Rawi juga mencatatkan hadits dalam kumpulan hadits dan menyebutkan sanadnya. Sanad berarti sandaran, yang dapat diperpegangi, dan dipercayai

Rawi merupakan unsur ketiga dalam periwayatan sebuah hadis. Rawi merupakan nama-nama orang yang menyampaikan hadis, baik secara lisan maupun tertulis dari Rasulullah SAW maupun gurunya. Hal yang perlu digaris bawahi adalah rawi biasanya ditempati oleh orang terakhir yang meriwayatkan hadis tersebut.

Sehingga nama rawi biasanya tidak tercantum di dalam hadis, melainkan di luar hadis dan diberi tanda kurung. Berikut contoh rawi yang ditandai dengan cetak tebal:
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’I al-Qaisi, katanya telah menceritakan kepadaku Abu Hisyama al-Mahzumi dari Abu al-Wahid yaitu Ibnu Ziyad, katanya telah menceritakan kepadaku ‘Utsman bin Hakim, katanya telah menceritakan kepadaku Muhammad al-Munqadir, dari ‘Arman, dari ‘Utsman bin Affan R.A. berkata, dari Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berwudlu dengan sempurna (sebaik-baiknya wudlu) keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya.” (HR. Muslim)

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa rawinya adalah Imam Muslim, lantaran ia menjadi orang yang terakhir meriwayatkan hadis tersebut.

Tingkatan Rawi

Selain imam besar, ada beberapa tingkatan rawi lainnya mulai dari sahabat, tabi’in (orang Islam yang hidup di masa setelah sahabat nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad SAW), dan mudawwin (ahli hadis), yaitu:
1. Rawi dari tingkatan sahabat Nabi Muhammad SAW: Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib
2. Rawi dari tingkatan tabi’in: Abu Hanifah, Sulaiman bin Yasar, Umar bin Abdul Aziz, dan Ibnu Katsir al-Makki
3. Rawi dari tingkatan mudawwin: Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad

Syarat Rawi yang Adil

Rawi yang diterima riwayatnya ada syarat-syaratnya. Syarat-syarat rawi yang diterima riwayatnya (maqbul) tersebut ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan oleh para ahli hadits. Syarat-syarat rawi maqbul yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Islam
Dalil pensyaratan ini adalah Allah mewajibkan untuk memastikan terlebih dahulu kabar dari orang fasik dan terlebih lagi orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ – ٦
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. [Al-Hujurat: 6]

Orang kafir juga dicurigai bisa menimbulkan madharat terhadap agama dan kedustaan terhadap agama ini, maka perkataannya tidak diterima dalam masalah agama. Ini syarat yang disepakati.

Namun maksud dari syarat ini adalah pada saat pelaksanaan (penyampaian hadits) bukan pada saat penerimaan hadits. Artinya, bila ada orang yang mendengar hadits dari Nabi ﷺ  saat masih kafir kemudian dia meriwayatkannya setelah dia masuk Islam, maka riwayatnya diterima.

2. Baligh
Dalil syarat ini adalah seorang anak kecil itu tidak dikenai beban taklif syariat. Dia aman dari sanksi terhadap kedustaan sehingga sangat mungkin dia bisa berdusta atas nama Rasulullah ﷺ .

3. Sifat adil (العدالة / al-‘adalah)
Yaitu sifat yang kokoh dalam jiwa yang mendorong orang yang memiliki sifat tersebut untuk berpegang dengan takwa dan meninggalkan dosa-dosa besar serta apa saja yang bisa merusak muruah (martabat), seperti dosa-dosa kecil.

Termasuk perkara yang juga bisa merusak muruah adalah perbuatan-perbuatan hina yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang mulia, misalnya tipu menipu dalam perkara sepele.

Dalil dari sifat ‘adalah adalah firman Allah Ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ – ٦
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. [Al-Hujurat: 6]

Allah mewajibkan untuk melakukan upaya memastikan kebenaran kabar dari orang fasik. Dilarang untuk meyakini kebenarannya sampai ada riwayat dari jalur lain yang para perawinya orang-orang adil. Hal ini karena orang fasik itu tertuduh dengan kedustaan maka perkataannya tidak diterima.

4. Adh-Dhabth ( الضبط )
Yaitu hafal apa yang dia dengar atau dia lihat dan sedikit kesalahan dalam hafalan tersebut. Dalil pensyaratan sifat Adh-Dhabth ini adalah bahwa siapa saja yang banyak kesalahannya dalam penukilannya dan periwayatannya maka lemah dugaan untuk diyakini kebenarannya.

Dan siapa saja yang lemah dugaan untuk diyakini kebenarannya maka khabar atau berita yang dia bawa dalam urusan agama tidak diterima.

Contoh Rawi Hadits

Contoh rawi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah tentang manisnya iman.
يروي الإمامُ محمَّدُ بنُ إسماعيلَ البخاريُّ في الصّحيحِ :حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Ash-Shahih,” Muhammad bin Al Mutsanna telah bercerita kepada kami, (ia berkata),’ Abdul Wahhab Ats Tsaqafi telah bercerita kepada kami, (ia berkata),’ Ayyub telah bercerita kepada kami dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia telah mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya. Jika Ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.” [Hadits riwayat Al-Bukhari no. 16]

Pada hadits ini terlihat adanya rangkaian para perawi yang membawa kita sampai kepada matan hadits yaitu: Al-Bukhari, Muhammad bin Al-Mutsanna, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, Ayyub, Abu Qilabah dan Anas radhiyallahu ‘anhu.

Rangkaian nama-nama perawi itulah yang disebut dengan sanad dari hadits tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk sampai ke matan hadits dari sumbernya yang pertama.

Masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut, secara sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).

Dalam hadits tersebut para perawinya secara urut adalah sebagai berikut:
1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagai rawi pertama.
2. Abu Qilabah sebagai rawi kedua.
3. Ayyub sebagai rawi ketiga.
4. Abdul Wahhab ats-Tsaqafi sebagai rawi keempat.
5. Muhammad bin Al-Mutsanna rawi sebagai kelima.
6. Al-Bukhari sebagai rawi terakhir.

Imam Al-Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut sebagai mukharrij, yaitu orang yang telah menukil atau mencatat suatu hadits pada kitabnya dan dari segi ini Al-Bukhari adalah orang yang men-takhrij hadits tersebut.

Baca Juga: Matan: Pengertian, Kaidah Kesahihan, dan Contohnya

Sumber:
https://pabrikjammasjid.com
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment