Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Organisasi Islam Terbesar di Dunia
Nahdlatul Ulama (NU) Didirikan Para Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan Islam asal Indonesia yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya oleh KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. NU merupakan organisasi ulama Muslim Asy'ari ortodoks yang memiliki tujuan untuk mengembangkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Organisasi ini memiliki anggota berkisar dari 40 juta (2013) hingga lebih dari 95 juta pada (2021) yang menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia. NU juga merupakan badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit serta mengorganisir masyarakat untuk membantu peningkatan kualitas hidup umat Islam.
NU didirikan oleh ulama dan para pedagang untuk membela praktik Islam tradisionalis (sesuai dengan akidah Asy'ariyah dan fikih Mazhab Syafi'i) dan kepentingan ekonomi anggotanya. Pandangan keagamaan NU dianggap "tradisionalis" karena menoleransi budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Hal ini membedakannya dengan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, yang dianggap "reformis" karena membutuhkan interpretasi yang lebih literal terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Beberapa tokohnya adalah pendukung konsep Islam nusantara, sebuah ciri khas Islam yang telah mengalami interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sesuai dengan kondisi sosial budaya di Indonesia.
Baca Juga: Sejarah Muhammadiyah dan Perannya dalam Pembangunan
Substansi dan Ideologi Nahdlatul Ulama (NU)
1. Dalam bidang syariat Islam, sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafiy, Hanbali), dan sebenarnya Kyai NU sangat taat kepada Syafi’i.
3. Dasar-dasar Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf Proses mengintegrasikan ide-ide Sunni berkembang. Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik: memilih pendapat yang benar.
Hasan al-Bashri seorang tokoh Sunni terkemuka dalam masalah Qodariyah dan Jabariyah mengenai personel, memilih pandangan Qadariyah. Pendapat bahwa pelaku adalah kufur dan hanya keyakinannya yang masih tersisa (fasiq). Apa ide yang dikembangkan oleh Hasan al-basri belakangan justru direduksi menjadi gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Menurut Muhammad Abu Zahrah Islam memiliki dua bentuk utama, yakni praktis dan teoritis. Perbedaan tersebut justru terlihat pada kelompok-kelompok seperti Ali bin Abi Thalib, Khawarij, dan Muawiyah. Bentuk keberatan kedua dalam Islam bersifat teoritis ilmiah, seperti dalam kasus “Aqidah dan Penuh” (Fikhu).
Baca Juga: Aliran Ilmu Kalam. Ahli Sunnah
Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai salah satu aliran batin Islam tentunya memiliki nuansa politik dan sangat kental pada saat kelahirannya. Namun dalam perkembangan wacananya juga merambah bidang-bidang seperti Aqidah, hukum Islam, tasawuf, dan politik.
Untuk ideologi ahlussunnah wal jamaah lahir karena alasan yang sangat mendasar. Kekuatan penguasa kolonial Belanda untuk menghancurkan potensi Islam telah menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan ulama untuk menjaga kemurnian dan keutuhan ajaran Islam.
Selain itu ada pula rasa tanggung jawab ulama sebagai pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan dan dibebaskan dari belenggu penjajahan. Ulama juga memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga kedamaian bangsa Indonesia.
Tujuan Berdirinya Ideologi Nahdlatul Ulama (NU)
Pengaruh Nahdlatul Ulama sangat besar di kalangan Kyai dan Ulama di Jawa bagian timur dan tengah, serta masyarakat umum. Seperti statuta Nahdlatul Ulama. Perumusan Pada tahun 1927, organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari empat Madzhab dan untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi para anggotanya sesuai dengan ajaran Islam.
Kegiatan utama organisasi NU adalah sebagai berikut.
1. Memperkuat persatuan di antara sesama ulama yang masih setia pada ajaran mazhab
2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis buku yang diajarkan oleh lembaga pendidikan Islam
3. Penyebarluasan ajaran Islam atas permintaan empat Madzhab
4. Meningkatkan jumlah Madrasah dan Organisasi
5. Mendukung pembangunan Masjid, Langgar dan Pesantren
6. Membantu anak yatim dan fakir miskin.
Sejarah dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (NU)
Sesuai namanya, berdirinya NU memang menandai kebangkitan para ulama dengan menguatnya jaringan tradisional pimpinan pesantren, termasuk di dalamnya jaringan guru-murid. Meski demikian, proses tersebut berlangsung di tengah menguatnya persaingan dengan kelompok reformis, khususnya Muhammadiyah (berdiri pada 1912), yang berakar pada perubahan politik-keagamaan di tanah suci menyusul berkuasanya rezim Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi.
Demikian, selain mengkritik dominasi reformis pada Komite Khilafat, para ulama pesantren menyerukan pesan kepada Ibnu Sa’ud agar praktik keagamaan tradisional dipertahankan (Noer, 1973: 233). Hal ini disebabkan karena salah satu kebijakan yang diambil dinasti Sa’udi adalah melarang berbagai tradisi keagamaan, seperti tasawuf, tarekat, dan ziarah kubur, yang ketika itu berkembang di Mekah, termasuk menghancurkan Maulidah Sayyidah Fatimah dan menutup Dar Khaizuran (Haidar 1998:82).
Perubahan politik di Hijaz berpengaruh kuat dalam meningkatkan rivalitas antara kelompok reformis dan tradisionalis di Indonesia. Konflik semakin mengemuka ketika pemerintah Saudi mengundang perwakilan umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Khilafah, namun tidak ada perwakilan dari kelompok tradisionalis dalam delegasi Indonesia. Karena kekecewaan itu, KH Wahab Hasbullah, dengan restu dari KH Hasyim Asy’ari, mendirikan Komite Hijaz di Surabaya pada pertengahan Januari 1926. Komite inilah yang menjadi cikal bakal NU (Yatim 1999: 156; Burhanudin 2012:337).
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat a dan b (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaja), NU bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wa al-Jama’ah. Dalam teks asli tertulis ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.” (Syakur 2013).
Teks tersebut menegaskan bahwa dalam pandangan keagamaan, NU mengikuti paham ahlus sunnah wal jamaah yang dalam lingkungan Nahdliyyin sering disingkat menjadi Aswaja, dengan beberapa karakter, yaitu: al-tawassut (moderat), al-i’tidal (adil), dan al-tawazun (keseimbangan). Pilihan untuk mengambil paham ini menjadi pembeda Nu dengan organisasi Islam lainnya (Soon 2008:91).
Dengan didirikannya NU, kaum tradisionalis mempunyai organisasi sendiri yang dikelola secara modern, mempersatukan para ulama di sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Melalui NU, berbagai aspirasi dan kepentingan para ulama dibahas dengan cara yang terkoordinasi. Dalam upaya memperluas jaringan, NU membuka diri kepada masyarakat muslim di luar pulau Jawa.
Tahun 1930, sebuah cabang NU didirikan di Kalimantan, membawa lembaga ulama setempat, Hidajatul Islamiyah, bergabung dengan NU pada tahun 1936. Dalam kongres Malang tahun 1937, NU telah memiliki 71 cabang, yang kemudian berkembang hingga 120 di tahun 1942 (Noer 1973: 231-2; Anam 1985: 93; Burhanudin, 2012:338).
Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pembangunan
Sejak berdiri, NU melancarkan berbagai program kegiatan yang menyasar di berbagai bidang kehidupan, mencakup ekonomi kerakyatan, keilmuan, sosial, budaya, dan kebangsaan. Bersama berbagai ormas Islam di Indonesia, pada tahun 1937 NU bergabung dalam MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia) yang kemudian, setelah Jepang datang di Indonesia, organisasi ini diubah menjadi Masjumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia).
NU terus terlibat dalam Masjumi setelah kemerdekaan ketika lembaga ini berubah menjadi partai politik. Namun berbagai konflik yang terjadi antara pimpinan NU dan pimpinan Masjumi membuat NU memutuskan untuk memisahkan diri dari Masjumi dan membentuk partai sendiri pada tahun 1952.
Pada Pemilu 1955, Partai NU menjadi salah satu dari empat partai yang memenangkan pemilu pertama yang diadakan di Indonesia, dengan 45 kursi di MPR. Tiga pilar penting keberhasilan Partai NU saat itu adalah ulama, pesantren, dan politisi (Irsyam 1984: 83-131; Burhani 2015: 230; Bush 2009; Fealy 2003:208-209).
Kiprah NU dalam politik praktis cukup diperhitungkan, khususnya setelah menjadi elemen penting Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun dengan berbagai pertimbangan, pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926 dengan mengembalikan peran utama NU sebagai organisasi sosial keagamaan (Haidar 1998:195-226). Dengan posisi ini, NU bergerak dalam berbagai aktivitas sosial-keagamaan.
Dalam kaitannya dengan persoalan hukum/fiqh, NU memiliki lembaga yang disebut dengan Lajnah Bahtsul Masail. Lembaga ini turut mengambil keputusan dalam pengkajian hukum Islam mencakup persoalan fiqih, tauhid, dan tasawuf yang disesuaikan dengan perkembangan zaman (Zahro 2004).
NU juga menaruh perhatian pada pengembangan pendidikan Islam yang dipandang sebagai pilar utama perwujudan masyarakat mandiri. Melalui Lembaga Pendidikan Ma’arif NU yang berdiri pada tahun 1929, NU mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren, majelis taklim, diniyyah, madrasah/sekolah dan perguruan tinggi. Di tahun yang sama, NU juga membentuk Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diarahkan sebagai lokomotif pembaharuan pendidikan Islam.
Sebagai sebuah organisasi, NU berkontribusi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa. Selain memperkuat intelegensia muslim, NU juga turut memperkuat demokratisasi, sistem birokrasi dan pemerintahan, serta kesejahteraan sosial-ekonomi umat.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id
https://www.gramedia.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment