Istihsan: Pengertian, Fungsi, Macam, dan Contohnya
Pengertian Istihsan
Istihsan adalah metode penetapan hukum syariah yang dilakukan tanpa berlandaskan pada Al-Qur'an, Al-Sunnah, atsar, ijma' atau qiyas. Dalam istihsan, para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan) oleh mereka.
Baca Juga: Ijma: Pengertian, Dalil, Unsur, Syarat, Rukun, Macam, Contoh, dan Perbedaannya dengan Qiyas
Istihsan juga dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas (Alquran, sunnah, ijmak, dan qiyas) ke hukum yang samar-samar (qiyas khafi, dll) karena kondisi atau keadaan darurat atau adat istiadat.
Selain dua hal di atas, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama ushul fiqih di antaranya,
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Istihsan Menurut Para Ulama
Para ulama dari mazhab Hanafi, Imam Bazdawi dalam kitab Kasyf al-Asror fi Ushul al-Bazdawi oleh Abdul Aziz al-Bukhari menjelaskan pengertian istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas (sumber hukum yang disepakati) kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
Sementara para ulama dari mazhab Maliki dalam kitab al-Muwafaqot fi ushul asy-Syari’ah oleh Abu Ishaq asy-Syatibi menjelaskan pengertian istihsan adalah mengambil (mengamalkan) kemaslahatan juz’iyyah (khusus) ketika bertentangan dengan dalil yang kulli (umum).
Para ulama dari mazhab Hanabilah dalam kitab Raudah an-Nazhir wa Jannat al-Munazhir oleh Ibnu Qudamah menjelaskan pengertian istihsan adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari Kitab maupun dari Sunah.
Dijelaskan dari kesepakatan di atas, pengertian istihsan adalah upaya memalingkan suatu dalil dari dalil yang lemah untuk diganti ke dalil yang lebih kuat, tujuan kegiatan istihsan tak lain untuk kemaslahatan umat manusia.
Baca Juga: 4 Mazhab dalam Islam dan Pentingnya Bermazhab
Penolakan Istihsan
Khusus para ulama dari mazhab Syafi’iyyah, Imam al-Gazali dijelaskan dalam kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Sultan Kasim Riau, tegas menolak istilah istihsan tetapi secara konsep tetap menerima istihsan.
Dalam jurnal berjudul Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam oleh H. Kadenun dijelaskan alasan para ulama itu menolak istihsan untuk menyimpulkan adanya hukum pada suatu perkara di antaranya,
1. Syari’at itu berupa Nash atau mengembalikan kepada Nash dengan Qiyas, maka di manakah letaknya Istihsan dan dalam hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang terdapat di dalam Al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab)?”
2. Istihsan tidak ada dlabit-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu kasus, maka dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.
3. Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan dengan Nash atau tidak dikembalikan kepada Nash, maka Istihsan boleh dilakukan oleh siapa saja meskipun tidak mengetahui Al-Qur’an.
Atas dasar alasan-alasan ini, maka Imam asy-Syafi’I berkesimpulan “Man Istahsana Faqad Syara’a” yang artinya: “Barang siapa yang menetapkan hukum dengan Istihsan berarti dia telah membuat syari’at sendiri.”
Fungsi Istihsan dalam Hukum Islam
Fungsi utama istihsan adalah mencari keadilan dalam kasus-kasus saat hukum yang ada mungkin tak mencapai tingkat keadilan yang diinginkan.
Ini memungkinkan penyesuaian hukum Islam dengan perkembangan zaman dan konteks sosial yang berubah. Istihsan juga membantu menjaga fleksibilitas dalam hukum Islam sehingga hukum dapat diterapkan dengan lebih bijaksana dan adil sesuai situasi yang berbeda.
Istihsan memiliki beberapa fungsi penting dalam hukum Islam, berikut beberapa di antaranya:
1. Mencapai Keadilan
Fungsi utama istihsan adalah untuk mencapai keadilan dalam hukum Islam. Ketika ada situasi saat penerapan hukum syariah secara harfiah tak akan mencapai keadilan, istihsan digunakan untuk menyesuaikan hukum tersebut agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam.
2. Menjaga Fleksibilitas
Istihsan membantu menjaga fleksibilitas dalam hukum Islam. Dengan mengizinkan para mujtahid (ahli hukum) untuk menggunakan pertimbangan mereka, istihsan memungkinkan hukum Islam untuk mengatasi masalah-masalah baru yang tak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Baca Juga: Ijtihad: Pengertian, Ruang Lingkup, Fungsi, Rukun, Metode, dan Contohnya
3. Relevansi dalam Konteks Modern
Hukum Islam harus tetap relevan dalam berbagai konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang berubah seiring waktu. Istihsan memungkinkan hukum Islam untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman modern tanpa mengorbankan prinsip-prinsip inti agama.
Macam Istihsan
Ulama Hanafiyah membagi istihsan menjadi tiga macam. Dalam jurnal berjudul Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam oleh H. Kadenun dijelaskan tentang macam-macam istihsan tersebut:
1. Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.
Contoh:
Berdasarkan Qiyas Zhahir yaitu hak pengairan tanah pertanian dan hak lalu lintas di dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk harta wakaf apabila tidak disebut dengan tegas pada waktu mewakafkannya.
Sebab wakaf di-qiyas-kan kepada hal jual beli yaitu sama-sama berakibat hilangnya (mengeluarkan) hak milik dari seorang pemiliknya. Dalam hak jual beli, hak pengairan dan hak lalu lintas tidak termasuk, maka yang demikian ini terjadi pula pada wakaf.
Akan tetapi menurut Istihsan (Qiyas Khafi), wakaf tersebut dipersamakan dengan Ijarah (sewa menyewa) sebab tujuannya sama yaitu mengambil manfaat barang yang bukan miliknya sendiri.
Di dalam kegiatan sewa-menyewa, hak tanah pengairan dan lalu lintas termasuk yang disewa meskipun tidak disebut dengan tegas. Adapun dasar peninggalannya (sanadnya) yaitu pengambilan manfaat dari barang yang diwakafkan (maslahah).
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada yang khusus.
Contoh:
Kasus pencurian pada musim/masa kelaparan, berdasarkan Nash yang umum telah tersebutkan dalam surat al-Maidah ayar 38 yang artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangannya.”
Melihat ayat tersebut di atas bahwa setiap pencuri, baik laki-laki maupun perempuan harus dipotong tangannya, akan tetapi Umar Bin Khathab tidak melakukan hal tersebut yaitu memotong tangan terhadap pencuri pada masa kelaparan.
Demikian halnya di dalam pembagian zakat bagi seorang mu’alaf dan binatang unta yang kabur/lepas harus ditangkap padahal pada zaman Nabi SAW tidak harus ditangkap, tetapi dibiarkan lepas begitu saja.
3. Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan kekecualian.
Contoh:
Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab atas barang yang dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan meninggal dunia, maka orang yang dititipi barang tersebut harus mengganti barang tadi jika melalaikan dalam pemeliharaannya.
Dalam kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak diwajibkan menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk mengongkosi hidupnya.
Beberapa contoh konkret lain penerapan istihsan dalam hukum Islam dapat ditemukan dalam berbagai masalah hukum. Salah satu contoh yang relevan adalah masalah perbankan dan keuangan.
Dalam Al-Qur'an, riba (bunga) dinyatakan sebagai haram (dilarang). Namun, ketika muncul sistem perbankan modern yang melibatkan bunga, para ulama menggunakan istihsan untuk menilai apakah praktik tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam.
Contohnya, menggunakan istihsan untuk mengizinkan praktik perbankan dengan bunga asalkan tak bersifat eksploitatif dan tak merugikan pihak yang bertransaksi. Pendekatan ini mencari keseimbangan antara mematuhi larangan riba dan memungkinkan kemajuan ekonomi dalam masyarakat.
Contoh lain, nabi melarang menjual sesuatu yang belum ada, dalam hal ini termasuk ljarah, Musaqah, Muzara'ah, dan lain-lain. Tetapi karena masyarakat membutuhkannya maka dimungkinkan. Sehingga pada kasus ini terjadi istihsan ijma'.
Ada pula kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
Kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka.
Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadist Nabi SAW yang mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya.” (HR. Tirmidzi).
Dokter pria diperbolehkan melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum, seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang datang berobat kepadanya.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.liputan6.com
https://kumparan.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment