Ijma: Pengertian, Dalil, Unsur, Syarat, Rukun, Macam, Contoh, dan Perbedaannya dengan Qiyas
Pengertian Ijma
Ijmak atau Ijma' adalah kesepakatan para mujtahid muslim untuk menetapkan hukum syariah pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ijma merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur'an dan hadits.
Mengutip Jurnal Darusalam 2011, Ijma muncul ketika terjadi suatu peristiwa yang memerlukan pemecahah hukum setelah Rasulullah wafat. Pemecahan masalah ini tidak ditemukan secara jelas dan tegas di dalam Al Qur'an dan sunah.
Para mujtahid kemudian berusaha mencari pemecahan hukum baik dengan cara bermusyawarah maupun sendiri-sendiri. Jika hasil pemecahan tersebut disepakati bersama, maka peristiwa ini disebut dengan Ijma.
Ijma menjadi alat penafsiran hukum sesuai syariat Islam. Pengertian Ijma adalah wujud toleransi terhadap tradisi yang berbeda dalam Islam. Permasalahan dalam Ijma biasanya berkisar pada masalah teknis muamalah, tidak dalam masalah materi ibadah.
Ijma dari Berbagai Referensi
Secara Etimologis atau Bahasa
Secara etimologi ijma’ mengandung dua arti, yang pertama memiliki arti kesepakatan atau consensus. Seperti perkataan seseorang: yang berarti kaum itu telah sepakat tentang yang demikian itu. Arti kedua dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.
Kata ijma secara bahasa berarti” kebetulan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”.
Ijma dari Para Ulama
- Imam Al-Ghazali: Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
- Imam al-Amidi: Ijma adalah kesepakatan sejumlah ahlul hall wa al ‘aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
- Abd al Wahhab Khallaf: Ijma adalah konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara‘ mengenai suatu kasus.
Menurut istilah ushul fiqih seperti yang di kemukakan oleh abdul karim zaidan kesepakatan para mujtahid dari kelapangan umat Islam tentang hukum syara pada suatu masa setelah rasullah wafat.
Menurut Muhammad Abu Zahra, para ulama sepakat bahwa ijma sah untuk di jadikan sebagai dalil hukum. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma yang mengikat umat Islam.
Menurut madzhab maliki, kesepakatan sudah di anggap ijma meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan ijma ahl al madinah. Menurut kalangan syiah, ijma adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka.
Baca Juga: 4 Mazhab dalam Islam dan Pentingnya Bermazhab
Adapun jumhur ulama, menurut Muhammad Abu Zahra, Ijma di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma baru di anggap sah terjadi ketika itu seluruh ulama mujtahid sepakat akan ijma tersebut.
Dalil tentang Dasar Ijma
QS. An-Nisa' Ayat 59
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
QS. An-Nisa' Ayat 83
"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)."
QS. An-Nisa' Ayat 115
"Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali."
Hadis riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud
"Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Hadis riwayat Ahmad
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Muslmi, maka di sisi Allah pun ia dipandang baik pula". (H.R. Ahmad).
Unsur Ijma
- Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama).
- Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
- Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
- Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
- Yang disepakati itu adalah hukum syara' mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu.
Syarat Ijma
Ijma sangat diperlukan jika persoalan-persoalan umat yang tidak ada dalam dalam Al-Quran dan hadist. Dalam perkembangan ulama ushul fiqih memberikan penjelasan pada ijma ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga sebuah ijtihad bisa dikatakan sebuah ijma yaitu:
- Timbulnya kesepakatan, artinya kesepakatan yang dilahirkan atas dasar kesamaan baik keyakinan, perbuatan, dan perkataan.
- Para mujtahid, mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam mengambil beberapa hukum.
Dari kedua syarat ini, ijma terbagi menjadi dua yaitu ijma sharih yaitu setiap mujtahid wajib menerima kesepakatan atas hujjah atau dalil hukum, dan ijma sukuti yaitu pendapatan suatu kejadian yang terjadi dalam sistem fatwa yang tidak memberikan komentar terhadap pendapat.
Rukun Ijma
Jumhur ulama Ushul Fiqih merumuskan lima rukun yang harus dipenuhi untuk terjadinya ijma, antara lain:
- Produk hukum yang dihasilkan melalui ijma tersebut harus diperoleh kesepakatan seluruh mujtahid. Karenanya, apabila di antara para mujtahid yang berada pandangan atas produk hukum yang dibuat, maka hukum tersebut tidak dinamakan ijma.
- Mujtahid yang terlibat dalam mencurahkan segenap tenaga untuk mengistinbatkan hukum tersebut adalah seluruh mujtahid yang pada masa itu datang dari penjuru dunia Islam.
- Kesepakatan pendapat/produk hukum itu muncul dari masing-masing mujtahid setelah mengungkapkan arah pikirannya.
- Kesepakatan itu terlihat jelas dikemukakan para mujtahid dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
- Kesepakatan itu dihasilkan dalam satu perhimpunan para mujtahid.
Macam Ijma
Dari bentuk kesepakatannya, Ijma terbagi menjadi dua macam, Ijma Sharih dan Ijma Sukuti.
Ijma Sharih
Pengertian Ijma Sharih adalah kesepakatan mujtahid, baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap suatu masalah hukum yang dikemukakan dalam sidang Ijma setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya terhadap masalah yang dibahas.
Ijma Sharih adalah kesepakatan mujtahid atas suatu peristiwa pada suatu masa di mana para mujtahid dengan jelas menyatakan pendapatnya baik dengan memfatwakan atau mempraktikkan yang mencerminkan pendapatnya.
Ijma Sukuti
Ijma Sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya diam saja setelah meneliti pendapat.
Ijma Sukuti adalah kesepakatan di mana ada sebagian mujtahid yang menyatakan pendapatnya dan dengan memfatwakan atau mempraktikkannya. Namun, ada juga mujtahid yang tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum tersebut dan tidak pula menentangnya.
Contoh Ijma
Mengutip dari Al-Ijma', Al-Hafizh, Al-'Allamah Al-Faqih Ibnul Mundzir An-Naisaburi (2012), berikut adalah contoh-contoh ijma:
1. Thaharah (Bersuci) dan Air
a. Para ulama bersepakat bahwa tidak sah salat seseorang kecuali dalam keadaan suci, apabila seseorang mendapatkan air untuk bersuci.
b. Para ulama bersepakat tidak sah wudu seseorang yang menggunakan air embun di bunga mawar, air pepohonan, air pohon "Ushfur". Maka tidak boleh bersuci kecuali yang disebut air mutlak.
c. Para ulama bersepakat bahwa tidak perlu mengulang wudunya bagi seseorang yang memulai wudunya dari sebelah kiri sebelum kanannya.
d. Para ulama bersepakat bahwa orang yang bersuci dengan air menjadi imam bagi yang bersuci dengan tayamum.
2. Ijma dalam Transaksi Jual Beli Syariah
a. Para ulama telah berijma bahwa jual beli manusia (Al-Hurr) adalah batil haram.
b. Para ulama telah berijma bahwa jual beli khamar tidak diperbolehkan.
c. Para ulama telah berijma bahwa praktek talaqqi rukban adalah tidak diperbolehkan.
d. Para ulama telah berijma bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan.
e. Para ulama telah berijma jual beli hewan secara tunai adalah boleh.
f. Para ulama telah berijma bahwa 6 benda ribawi apabila dipertukarkan tidak sama dan tidak secara tunai adalah tidak diperbolehkan.
g. Para ulama telah berijma bahwa modal akad mudharabah boleh menggunakan dinar atau dirham.
h. Para ulama telah berijma bahwa amil (mudarib) boleh mensyaratkan kepada pemilik modal bahwa keuntungan sebesar sepertiga, seperdua atau sesuai dengan kesepakatan setelah diketahui oleh keduanya porsinya masing-masing.
i. Para ulama telah berijma bahwa hukumnya batal (tidak sah) apabila adanya persyaratan hanya untuk dirinya sendiri keuntungan dalam mudharabah.
Perbedaan Ijma dengan Qiyas
Selain ijma, qiyas juga merupakan salah satu sumber hukum Islam. Dalam bahasa Arab, qiyas berarti mengukur, membandingkan, menganalogikan, menyamakan. Sedangkan secara terminilogi, qiyas dapat diartikan mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu.
Menurut ulama Ushul Fiqih, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang belum ada nash hukumnya dengan cara membandingkan dengan kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan "illat antar kedua kejadian".
Menurut Imam Syafi'i, qiyas lebih lemah daripada Ijma, sehingga posisinya berada paling terakhir dalam hierarki sumber hukum islam. Penerapannya pun harus dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada kesamaan asas atau kemaslahatan yang jelas.
Demikian pengertian ijma, contoh, dan perbedaannya dengan qiyas. Ijma dan qiyas merupakan sumber hukum dalam beribadah maupun bermuamalah. Jumhur ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa ijma telah menjadi prinsip bagi landasan usaha mujtahid dalam merumuskan permasalahan.
Ijma juga berfungsi meningkatkan hukum yang bersifat lemah atau dhony menuju kuat atau qoth'i. Proposisi hukum membutuhkan instrumen qiyas untuk memperluas hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah.
Baca Juga:
Qiyas: Pengertian, Dasar Keabsahan, Rukun, Jenis, dan Contohnya
Ijtihad: Pengertian, Ruang Lingkup, Fungsi, Rukun, Metode, dan Contohnya
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://kumparan.com
https://www.liputan6.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment