Ahmad Dahlan Sosok Pembaharu yang Membidani Berdirinya Muhammadiyah

Table of Contents

Ahmad Dahlan
Siapa itu Ahmad Dahlan?

Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Ahmad Dahlan memiliki nama kecil Muhammad Darwis adalah seorang Ulama Besar bergelar Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Muhammadiyah didirkan pertama kali di sebuah kampung bernama Kauman yang berada di Yogyakarta pada 18 November 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330 H.

Baca Juga: Sejarah Muhammadiyah dan Perannya dalam Pembangunan

Muhammadiyah merupakan salah satu dari organisasi Islam terbesar yang ada di Indonesia. Sejak Muhammadiyah berdiri, hingga sekarang organisasi ini telah memiliki anggota hingga jutaan orang. Pengikutnya juga tidak hanya terkumpul dalam satu wilayah saja, akan tetapi tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Biografi dan Perjalanan Hidup

Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 sebagai putra keempat dari KH. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiai Ilyas, Kiai Murtadla, K.H. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Noer, 1978: 48).

Pendidikan dasar Dahlan kecil didapat langsung dari orang tuanya (Mu’thi dkk., 2015: 182). Pengetahuan dasar tentang agama Islam dan Qur’an menjadi materi pelajaran yang pertama kali dipelajarinya. Ayahnya sendiri yang langsung menguji pemahaman materi keagamaan yang diberikannya kepada Dahlan kecil.

Setelah dinilai menguasai pengetahuan agama yang cukup, Abu Bakar memerintahkan Muhammad Darwis pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan agama. Berkat bantuan biaya dari kakak iparnya yang bernama K.H. Soleh, Muhammad Darwis berangkat ke Mekkah di umur 15 tahun pada 1883 (Mu’thi dkk., 2015: 22).

Ia pergi berhaji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis muda mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia mendapat nama baru, yakni Ahmad Dahlan (Kutojo dan Safwan, 1973).

Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang ke kampung halamannya. Tidak lama sesampainya di rumah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah kemudian kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah (Kutojo dan Safwan, 1973).

Beberapa tahun setelahnya, ia berangkat kembali ke Makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu keagamaan. Untuk ini, dia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asyari (Mu’thi dkk., 2015: 22). 

Baca Juga: Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Organisasi Islam Terbesar di Dunia

Ia juga makin intensif membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam. Pada gilirannya, pemikiran mereka yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia.

Mendirikan Muhammadiyah

Ahmad Dahlan sadar bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam, tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah sekembalinya dari Makkah.

Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, sekedar mendirikan lembaga pendidikan rupanya memiliki banyak keterbatasan. Sehingga, beberapa sahabat Ahmad Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi (Mu’thi dkk., 2015: 23). Akhirnya ia mendirikan organisasi Muhammadiyah.

Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.

Kedekatan dengan Sarekat Islam

Ahmad Dahlan juga dekat dengan kelompok pergerakan, umumnya mereka yang berasal dari Sarekat Islam. Beberapa kali Dahlan mengisi kajian di Keprabon, Surakarta bersama dengan tokoh Muhammadiyah lain, seperti Haji Fachroedin. Peserta pengajian di Keprabon ini adalah tokoh-tokoh Islam penting di Surakarta di antaranya adalah Haji Misbach, Harsoloemakso, Moecthar Bukhori dan Sontohartono. 

Baca Juga: Sejarah Sarekat Islam (SI): Tujuan, Tokoh Penting, dan Sejarah Perkembangannya

K.H. Ahmad Dahlan juga mendukung terbitnya sebuah surat kabar Islam modern yang bernama Medan Moeslimin (Medan Moeslimin, 1915: 17), sebuah koran yang dibentuk M. Sastrositojo dan Haji Misbach (Hartanto, 2007: 117–19). Bahkan beberapa anggota Muhammadiyah di Yogyakarta perlahan-lahan menjadi redaktur surat kabar tersebut di antaranya seperti Haji Fachroedin, M.A. Hamid, Haji Sudja’. Ahmad Dahlan sendiri pernah menjadi penasehat surat kabar Medan Moeslimin tahun 1920 (Medan Moeslimin, 1920: 74–76).

Muhammadiyah sendiri juga memiliki terbitan bernama Soeara Moehammadijah. Surat kabar tersebut awalnya terbit dalam versi bahasa Jawa yang berisikan tentang akhlak Islam, dakwah Islam dan ajaran serta Syariat agama Islam (Islam Bergerak, 1922). Dalam sebuah terbitan (Medan Moeslimin, 1915: 23), dikatakan bahwa Soeara Moehammadijah menjadi inspirasi bagi terbitnya surat kabar Tjermin Islam di Batavia.

Ikatan Dahlan dengan Sarekat Islam juga terlihat ketika dirinya terlibat sebagai salah satu pendiri SI cabang Yogyakarta. Ia bersama Raden Dwijosoewodjo membangun SI sebagai perhimpunan Islam yang saat itu banyak diminati oleh seluruh kaum Muslimin di Hindia Belanda.

Tahun 1914 ketika SI menyelenggarakan kongres keduanya di rumah Raden Mas Gondoatmodjo di Pakualaman Yogyakarta, Ahmad Dahlan terpilih sebagai penasehat Central Sarekat Islam (CSI). Ahmad Dahlan dipilih H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ulamanya SI dan beberapa kali aktif menemani Tjokroaminoto dalam beberapa vergadering (Sinar Djawa, 1914).

Pada Januari 1914 ketika Tjokroaminoto mengadakan vergadering SI di Semarang, Ahmad Dahlan hadir dan memberi pidato tentang persatuan umat Islam. Dalam vergadering itulah mulai muncul perkumpulan-perkumpulan Islam yang bersifat lokal yang pada saat itu belum banyak didengar seperti Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1973: 33).

Kontribusi

Sepanjang perjalanan hidupnya, ada beberapa pemikiran dan tindakan penting Ahmad Dahlan yang berkontribusi dalam mewarnai sejarah Indonesia. Di bidang pendidikan, Dahlan menjadi inisiator yang mengkombinasikan sisi baik model pendidikan pesantren dengan model pendidikan Barat untuk diterapkan bagi pelajar-pelajar di Indonesia.

Kegiatan belajar-mengajar pun dilakukan di ruang kelas dengan menggunakan meja dan kursi, tidak hanya sorogan seperti yang umumnya dilakukan di pesantren tradisional saat itu. Dahlan juga mendorong agar lembaga pendidikan Islam mengajarkan ilmu-ilmu umum kepada siswa atau santri.

Di bidang sosial, Dahlan sangat peduli dengan penderitaan masyarakat. Lewat Muhammadiyah, berbagai amal usaha dilakukan guna membiayai aktivitas-aktivitas kedermawanan untuk membantu masyarakat yang kesusahan. Ini juga merupakan turunan dari mempraktikkan Qur’an Surat Al-Ma’un. Muhammadiyah misalnya mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan melahirkan banyak rumah sakit dan rumah yatim.

Dalam Catatan Muhammad Soedja’ murid Ahmad Dahlan, bahwa Dahlan adalah seorang pemimpi yang selalu memikirkan banyak orang. Pengkhidmatannya atas Al-Ma’un melebihi siapapun pada masanya. Berikut kesaksian Syudja’ (Syoedja’, 1993: 2):
Entah apa yang muncul di angannya. Mungkin surat al-Maun yang diajarkan oleh gurunya. Atau, oleh jumlah anaknya yang banyak diminta kembali oleh Allah setelah sebentar dipinjamkan kepadanya. Dari istrinya yang pertama, tersisa satu anak lelaki dari empat anak. Dari istrinya ketiga tersisa tiga anak lelaki dari duabelas anak. Dari istri kedua dan keempat tak ada lahir anaknya.

Tetapi, pada tahun 1923 muncul ucapannya akan membuat hospital, rumah miskin dan darul aytam. Tetapi kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh santri yang pengimpi ini. Bahkan dia juga tidak tahu bahwa angannya akan terlaksana.

Lima belas tahun kemudian, 1938, telah berdiri RS PKO Muhammadiyah di Jalan Ngabean; Panti Asuhan Putra di Lowanu dan Panti Asuhan Putri di Jalan Ngabean serta Rumah Miskin di Serangan.

Walau demikian, waktu beliau sakit terakhir kalinya dirawat di rumah sakit Katolik, untung saat meninggal dunia ada di rumahnya. Dan masih satu kata yang diangankan, “Apakah kita orang Islam tidak dapat membuat rumah sakit sebesar ini?” itu katanya sebelum beberapa hari wafat.

Di bidang keagamaan, Ahmad Dahlan dikaruniai akal yang cerdas, sehingga diberi kemudahan dalam mempelajari dan memahami pengetahuan. Penguasaannya terhadap beragam ilmu pengetahuan menjadikannya mampu bersikap inklusif dalam menjalani kehidupan, sehingga kehadirannya selalu memberi pengaruh baik dalam lingkungan.

Dahlan berusaha keras untuk menghilangkan stigma kaum penjajah bahwa agama Islam itu kolot dan bodoh, karena itu umat Islam perlu diberikan pencerahan ilmu dan iman. Spirit keagamaan Dahlan tercermin dari nama perkumpulan yang didirikan dan lambangnya. Nama perkumpulan Muhammadiyah diambil dari nama nabi Muhammad yang ditambah dengan imbuhan yak nisbat yang bermakna pengikut, jadi Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad.

Lambang Muhammadiyah berbentuk matahari yang memancarkan dua belas sinar berwarna putih. Pada bagian tengah tertulis kata Muhammadiyah yang dihiasi dengan tulisan melingkar dua syahadat. Lambang tersebut bermakna manusia yang memiliki watak Muhammad adalah manusia yang jiwanya hanya menuhankan Allah dan mengakui Muhammad sebagai rasul.

Dalam pidato kongres pada 1922, Kiai Ahmad Dahlan beberapa kali menyebut nilai sebuah bangsa yang hanya mungkin terbentuk jika didasari kesatuan hati (Mulkhan, 2007). Basis epistemologi kesatuan kolektif dan aksi sosial kemanusiaan itu ialah apa yang dikenal sebagai kesadaran ketuhanan, yang lebih kita kenal sebagai iman dalam praktik agama.

Karena itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa Muhammadiyah lebih dulu tampil sebagai gerakan sosial dan kebudayaan, baru kemudian memperkokoh diri dengan basis ketuhanan (Dzuhayatin, Suka Press, dan Pustaka Pelajar (Firm), 2015). Selain itu, sosok Ahmad Dahlan sendiri tidak hanya fokus di bidang dakwah, melainkan dirinya juga menjalani profesi sebagai pedagang batik (Salam, 1968).

Akhir Kehidupan

K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Jasanya yang besar di berbagai bidang, diakui oleh Pemerintah dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961 tanggal 27 Desember, dan Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment