Kaum Mawali dan Kontribusinya terhadap Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Apa itu Kaum Mawali?
Kaum Mawali adalah sebutan untuk orang-orang non-Arab yang baru masuk Islam. Istilah ini memiliki makna ganda, yaitu sebagai budak yang telah dimerdekakan atau tuan yang telah memerdekakannya.
Kaum mawali memiliki peran penting dalam sejarah Islam, terutama pada periode klasik. Mereka menempati posisi penting di berbagai sentra keilmuan yang didirikan oleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Mereka berkontribusi pada fikih, hadis, tafsir, teologi, dan tata bahasa Arab.
Kaum mawali, terutama orang-orang Persia, berperan penting dalam berdirinya Dinasti Abbasiyah. Muslim al-Khurasani, salah satu kaum mawali, menjadi tulang punggung kekuatan gerakan revolusi Abbasiyah.
Baca Juga: Dinasti Abbasiyah: Sejarah, Kejayaan, dan Kejatuhannya
Namun, kaum mawali juga mengalami diskriminasi, seperti tidak bisa memegang jabatan tinggi, dipandang rendah secara sosial, harus membayar jizyah atau pajak walaupun sudah masuk Islam.
Sejarah Istilah
Secara kebahasaan, mawali merupakan bentuk jamak dari mawla. Akar katanya adalah w-l-y atau wala yang ditambahi dengan prefiks m. Dalam beberapa ayat Alquran, arti kata mawla diperuntukkan bagi Allah SWT. Padanannya adalah Rabb sehingga dimaknai sebagai ‘Tuhan Yang Maha Melindungi’ atau ‘Sang Pelindung'. Contoh penggunaannya antara lain pada surah al-Anfal ayat 40 dan Muhammad ayat 11.
Untuk mengartikan kata mawla, perlu diperhatikan juga apakah kalimat yang menggunakannya aktif atau pasif. Sebab, mawla bermakna timbal balik, seperti tuan atau budak, patron atau klien, lalu paman atau kemenakan.
Mawla yang berarti ‘pelindung’, bila disematkan pada masing-masing oposisi biner itu, dimaknai ‘tuan yang melindungi (budak)’, ‘budak yang mendapat perlindungan (dari tuan)’, dan seterusnya. Contohnya, Zaid bin Haritsah, mantan budak Nabi SAW, kerap dipanggil sebagai “Zaid mawla Rasulullah SAW.”
Secara istilah, kata mawla atau mawali menggambarkan konteks patron kesukuan. Seseorang yang disebut sebagai mawla suatu kaum berarti bahwa individu itu dilindungi kaum yang bersangkutan. Pada masa pra-Islam, sebutan mawali dipakai untuk merujuk pada kelompok yang mendapatkan naungan dari seorang kepala suku.
Sering kali, orang yang meminta perlindungan itu berasal dari luar Jazirah Arab. Umpamanya, pedagang atau musafir yang kehabisan bekal. Mawali pun dimaknai sebagai ‘orang asing’ atau ‘non-Arab’ yang menetap di tanah Arab. Ini tidak sama dengan, katakanlah, turis atau pelancong.
Sebab, mereka berstatus sebagai klien dari patronnya yang penduduk setempat. Posisi sosialnya tidak setara, melainkan berada di bawah orang-orang Arab umumnya.
Sesudah Islam datang, mawali dimaknai sebagai kelompok ‘non-Arab’ saja tanpa harus disinggung inferioritas status sosialnya. Sebab, agama ini dengan tegas menolak rasialisme. Tidak ada beda antara orang Arab dan non-Arab. Yang menentukan kadar kemuliaan seseorang hanyalah derajat ketakwaan.
Sejarah Kaum Mawali
Sepeninggal Nabi SAW, syiar Islam meluas hingga ke luar Jazirah Arab. Sejak abad ketujuh, para Khulafaur Rasyidin bahkan berhasil menaklukkan beberapa negeri. Dalam hal ekspansi wilayah, prestasi yang paling gemilang saat itu ialah penaklukan Imperium Persia.
Denting tamatnya riwayat Kekaisaran Persia terjadi pada Perang Nahavand. Sebenarnya, pertempuran tersebut tidak akan pernah ada kalau Raja Yazdgard III tidak terbakar dendam kesumat. Lima tahun sebelumnya, umat Islam berhasil merebut Kota Jalawla—dekat perbatasan negara Irak dan Iran kini. Bagi kaisar dari Wangsa Sasaniyah itu, kesuksesan kaum Muslimin itu sangat tidak bisa diterima.
Berbeda dengan Yazdgard yang sibuk menyusun kekuatan pasca-Perang Jalawla, Khalifah Umar bin Khattab justru ingin menahan laju pasukannya walaupun untuk sejenak. Menurut sang amirul mukminin, keberhasilan di Jalawla adalah sebuah pencapaian yang luar biasa.
Lebih dari itu, belum bisa diprediksi sehingga penting bersikap waspada. “Aku harap, ada semacam gunung api antara kita (Muslimin) dan Persia sehingga tidak ada yang bisa mengancam satu sama lain,” ucap sahabat berjulukan al-Faruq itu.
Banyak sejarawan menafsirkan, Umar mengambil sikap hati-hati karena masih terpengaruh kesan umum tentang Persia. Kekaisaran itu sering dicitrakan sebagai sebuah negara adidaya. Ada anggapan bahwa yang bisa menandinginya hanyalah rivalnya, yakni adidaya dari Barat: Imperium Romawi.
Momen yang ditunggu-tunggu Kaisar Yazdgard pun tiba. Pada 642, sebanyak 100 ribu pasukan Persia bergerak dari Kota Merv ke Lembah Nahavand. Begitu menerima kabar pergerakan mereka, Gubernur Kufah Ammar bin Yasir segera mengirimkan utusan kepada Umar. Sang khalifah tidak punya pilihan kecuali memerintahkan kaum Muslimin untuk berjihad melawan musuh hingga titik darah penghabisan.
Pada akhirnya, pasukan Muslim menang. Dan, tidak sampai 10 tahun setelah Pertempuran Nahavand, seluruh Persia jatuh ke tangan Islam. Bagi masyarakat setempat, hal itu berarti terbebasnya mereka dari belenggu penindasan Dinasti Sasaniyah. Mulai saat itu, nyaris semua orang di daerah taklukan itu memeluk agama tauhid atas pilihan sendiri.
Islamisasi Persia juga berarti meningkatnya jumlah kaum mawali di tengah bangsa Arab. Golongan mawali Persia bahkan memegang peran sangat signifikan dalam sejarah Islam, khususnya di sepanjang periode klasik—antara runtuhnya Sasaniyah hingga datangnya serangan bangsa Mongol pada 1258.
Dalam kurun enam abad lamanya, mereka menempati posisi-posisi penting di pelbagai sentra keilmuan yang didirikan baik oleh Dinasti Umayyah maupun Abbasiyah.
Baca Juga: Dinasti Umayyah: kekhalifahan Islam Pertama Pasca Khulafaur Rasyidin
Kedua wangsa tersebut memang dikenal giat membangun sejumlah pusat studi yang menjadi tempat bagi para sarjana dari pelbagai penjuru dunia untuk bertemu dan bertukar pikiran. Di sana pula, macam-macam teks dari kebudayaan lama—semisal Yunani Kuno, Persia, India, dan lain-lain—dikumpulkan, dialihbahasakan, dan lalu dibahas secara mendalam.
Kaum Mawali Persia
Dengan ditaklukkannya Dinasti Sasaniyah, banyak elite Persia yang menjadi tawanan perang. Ada pula masyarakat biasa yang sejak awal menyambut pasukan Arab sebagai pembebas mereka dari belenggu rezim tersebut.
Sesudah berislam, orang Persia dari kalangan elite maupun biasa itu disebut sebagai mawali. Yang semula berstatus tawanan kemudian merdeka. Di antaranya, tidak sedikit yang hijrah ke Hijaz, mengikuti patron pelindungnya.
Kondisi mawali Persia tentunya dipengaruhi situasi politik yang melanda umat Islam. Huru-hara pertama terjadi ketika Khalifah Umar bin Khattab dibunuh oleh seorang bekas prajurit Sasaniyah, Piruz Nahavandi alias Abu Lu’lu’ah al-Majusi. Piruz diduga membunuh sang khalifah karena memprotes kebijakan pajak yang diterapkan atas orang kafir seperti dirinya di Madinah.
Kematian sang amirul mukminin menyulut amarah dalam dada seorang putranya, Ubaidullah. Dengan gelap mata, ia menyasar orang-orang mawali Persia di Madinah. Salah seorang yang terbunuh akibat ulahnya ialah Hurmuzan, seorang Persia bekas tawanan perang yang telah memeluk Islam.
Kepemimpinan Umar diteruskan Utsman bin Affan. Meskipun awalnya lancar, pemerintahan Khalifah Utsman kemudian mulai dirongrong gejolak. Sejak terbunuhnya sosok berjulukan Dzun Nurain itu pada 656, perseteruan mengemuka antara pendukung Ali bin Abi Thalib—penerus kekhalifahan—dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sang pendiri Dinasti Umayyah.
Perang Siffin memperhadapkan kedua kubu. Konflik yang diakhiri dengan arbitrase itu justru memunculkan kelompok sempalan dari pro-Ali: golongan Khawarij. Mereka dengan keji membunuh sang sepupu Rasulullah SAW.
Lemahnya kubu pro-Ali dimanfaatkan kubu Mu’awiyah. Sepeninggalan gubernur Syam itu, putranya yang bernama Yazid tampil menggantikannya. Yazid bin Mu’awiyah menuntut Husein bin Ali untuk mengakuinya sebagai pemimpin. Tuntutan ini ditolak. Husein lalu keluar dari Madinah, menuju Irak.
Mengetahui itu, Yazid menyuruh gubernur Irak, Ubaidullah bin Ziyad, untuk mencegat mereka. Terjadilah Peristiwa Karbala pada 680. Cucu Nabi SAW itu, berserta puluhan sanak famili dan pengikutnya, dibunuh dengan kejam.
Saat itu, kaum mawali Persia merasa memiliki kedekatan dengan kubu Husein. Sebab, putra Ali bin Abi Thalib ini menikah dengan seorang elite Persia yang juga putri Kaisar Yazdgard III, Shahrbanu. Golongan mawali Persia menganggap, bangsanya berpeluang menjadi penguasa karena telah diangkat sebagai bagian dari Ahlul Bait. Anggapan inilah yang melatari kuatnya gerakan Syiah di Iran.
Kelompok Syiah dengan pengaruh politiknya menjadi ancaman bagi Dinasti Umayyah. Selama nyaris satu abad wangsa itu berkuasa, kaum mawali Persia pun kerap disudutkan dan terpinggirkan dari pemerintahan. Kebanyakan penguasa Umayyah bangga akan identitas Arab sehingga memandang rendah kaum mawali, termasuk yang dari Persia.
Baca Juga: Syi’ah: Pengertian, Doktrin, Itikad, Sekte, dan Polemiknya dengan Sunni
Birokrasi Umayyah kadang memaksa kaum mawali untuk membayar pajak yang sebenarnya hanya wajib ditunaikan golongan non-Muslim. Beberapa jabatan rendah di militer dan sipil memang terbuka untuk mereka.
Namun, gaji yang diperoleh sangat tidak sebanding dengan bayaran yang diterima para prajurit ataupun pegawai Arab. Padahal, tugas serta tanggung jawab yang dibebankan sama saja.
Situasi politik mulai menguntungkan mawali Persia pada 720 M. Saat itu, Gerakan Hasyimiyah yang dipimpin Bani Abbasiyah muncul ke permukaan. Mereka mengajak para Ahlul Bait untuk melawan rezim Umayyah. Panggilan ini turut disambut orang-orang keturunan Persia, utamanya di Khurasan.
Perang Zab pada Januari 750 menjadi momen penentu. Lantaran sudah kerepotan oleh ancaman Bizantium di barat, Khalifah Marwan II tidak memiliki persiapan matang untuk menghadapi aliansi Hasyimiyah. Pasukan Umayyah pun menelan kekalahan di lembah Sungai Zab, Irak utara.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.republika.id
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment