Bangsa Semit: Pengertian dan Asal-Usul serta Polemiknya

Table of Contents

Bangsa Semit
Pengertian Bangsa Semit

Semit adalah suatu istilah yang semula digunakan dalam linguistik dan etnologi untuk merujuk kepada rumpun bahasa asal Timur Tengah yang disebut "Rumpun bahasa Semit". Mengingat studi bahasa terjalin dengan studi budaya, istilah ini juga dipakai untuk memerikan budaya dan suku-suku bangsa, serta sejarah berbagai komunitas beragam yang terkait dekat dalam hal distribusi geografi dan linguistik.

Kata "Semit" adalah sebuah kata sifat yang berasal dari nama Sem (Shem), salah satu dari tiga putra Nuh dalam Alkitab (Kejadian 5:32; 6:10; 10:21), atau lebih tepatnya dari turunan alihaksara Yunani, yaitu Σημ (Sem). Dalam bentuk kata benda mengacu pada seorang yang termasuk keturunan rumpun bangsa Semit.

Rumpun bahasa semit meliputi bentuk bahasa-bahasa kuno dan modern di antaranya yaitu Ahlamu, Akkadia (Assyria-Babilonia), Amharik, Amori, Arab, Aram/Suryani/Suriah, Kanaan/Fenisia/Kartago, Kasdim, Ebla, Edom, Ge'ez, Ibrani, Malta, Mandaik, Moab, Sutean, Tigre dan Tigrinya, serta Ugarit, dan sebagainya. 

Baca Juga: Antisemitisme: Pengertian, Penyebab, dan Peristiwa Holocaust

Asal-Usul dan Polemiknya

Istilah ini pertama kalinya diusulkan oleh Ludwig Schlözer untuk merujuk bahasa-bahasa yang terkait kepada bahasa Ibrani, dalam buku suntingan Johann Gottfried Eichhorn, "Repertorium", vol. VIII (Leipzig, 1781), halaman 161. Melalui buku Eichhorn ini nama tersebut digunakan secara umum. Dalam bukunya "Geschichte der neuen Sprachenkunde", pt. (Göttingen, 1807) nama itu sudah menjadi istilah teknis yang permanen.

Teori ilmiah semu yang dipopularkan Marr memiliki kekeliruan tentang "semit" sebagai bangsa. Istilah bangsa Semit jauh sudah ada sebelum antisemtisme populer, dalam catatan sejarah dunia untuk merujuk bangsa yang terpisah dari Kaukasia.

Baca Juga: Pengertian Ras Kaukasoid, Sejarah, Persebaran, dan Cirinya

"Semit" sebagai istilah yang merujuk identitas digagas oleh August Ludwig, anggota Göttingen School of History pada 1781. Penggunaan "Semit" dipilih untuk merujuk salah satu dari tiga putra Nabi Nuh yang berada dalam Kitab Kejadian Alkitab.

Lebih jelasnya, Semit adalah kelompok bangsa yang menuturkan bahasa serumpun di Timur Tengah hingga Afrika Utara. Bahasa Semit kuno sudah dituturkan sekitar 6.000 tahun silam di Mesopotamia, walau asal-usulnya masih diperdebatkan.
 
David Testen, penulis buku Parallels in Semitic Linguistics: The Development of Arabic la- and Related Semitic Particles dan pernah menjadi peneliti bahasa di Stanford University mengutarakan, rumpun bahasa Semit umum dituturkan di Timur Tengah. Bahasa dan kebudayaan ini bertahan di Timur Tengah selama 4.000 tahun lamanya, terang Testen di Britannica.

Bahasa Semit memiliki banyak turunan, seperti bahasa Amhara di Etiopia, bahkan bahasa Arab dan Ibrani yang dituturkan oleh orang Arab dan Yahudi. Kelompok bahasa Semit merupakan bagian dari kelompok besar bahasa Afro-Asiatik yang dituturkan sampai ke pedalaman Afrika utara.

Sejarah dunia terkait bahasa dan kebudayaan Semit membaginya dalam beberapa kelompok utama. Ahli linguistik mengelompokkannya karena masing-masing bahasa memiliki kemiripan fonetik, morfoloogi kata, dan akar makna dalam kebudayaan.

Contoh: kalb, ibnu (bisa menjadi bin ketika disisipkan dalam nama dari putra seseorang), dan salaam dalam bahasa Arab, memiliki kemiripan dalam bahasa Ibrani caleb, ben, dan syalom. Masing-masing kata jika diterjemahkan menjadi anjing, anak, dan damai.

Namun, hari ini pengetahuan tentang identitas Semit hari ini menjadi perdebatan, terutama pengaruh paham antisemitisme oleh Marr. Paham ini lebih mengerucut pada sikap anti-Yahudi, tanpa memasukkan istilah yang sama dalam rasialisme untuk penutur bahasa Semit lainnya di negara-negara Barat.

Baca Juga: Peristiwa Holocaust: Pengertian, Latar Belakang, Sejarah, dan Dampaknya

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://nationalgeographic.grid.id
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment