Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Gerakan Darul Islamnya

Table of Contents

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Gerakan Darul Islamnya

Siapa Itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo?

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 7 Januari 1905. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang mendirikan gerakan Darul Islam dari tahun 1949 hingga tahun 1962, dengan tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah.

Negara Islam Indonesia (NII) bentukan Kartosoewirjo tersebut diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 karena kekecewaannya terhadap pemerintah pusat. NII kemudian menyempurnakan angkatan perangnya yang bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk dapat menguasai beberapa wilayah lain bergabung dengan NII.

Beberapa daerah yang menjadi bagian dari NII adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Baca Juga: Pemberontakan DI/TII: Sejarah, Latar Belakang, Kronologi, Tujuan, dan Beberapa Gerakan Pemberontakan DI/TII yang Pernah ada di Indonesia

Sekilas Biografi Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan adalah satu dari sepasang anak Kartosoewirjo, seorang mantri candu. Kartosoewirjo adalah salah satu dari 7 anak Kartodikromo, seorang lurah di Cepu. Salah satu adik Kartosoewirjo yang bernama Marco Kartodikromo adalah seorang penulis anti-Belanda berhaluan kiri.

Ayah Kartodikromo sendiri adalah lurah Merak, Panolan, Cepu yang bernama Ronodikromo, yang masih keturunan Arya Penangsang, adipati Jipang di abad ke-16.

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.

Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi.

Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam merespons ajaran-ajaran Islam.

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands-Indische Artsenschool. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Sarekat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.

Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands-Indische Artsenschool karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
 

Karier Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

Setelah berhenti dari Nederlands Indische Artsen School, ia bekerja sebagai pemimpin redaksi koran harian Fadjar Asia. Ia menulis mengenai pertentangan terhadap bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda.

Dalam artikelnya, Kartosoewirjo juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi hidup mereka. Kariernya pun kian melejit setelah ia bergabung dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), menjabat sebagai sekretaris jenderal.

Semasa perang kemerdekaan, tahun 1945-1949, Kartosoewirjo turut terlibat aktif. Akan tetapi, karena sifat kerasnya, ia kerap bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk saat menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi dipukul mundur ke Jawa Tengah.

Selain itu, Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin saat menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pada saat bangsa Indonesia harus berjuang mempertahankan kemerdekaan, di Jawa Barat muncul gerakan separatis DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosoewirjo. Gerakan ini selain disebabkan banyak pasukan SM Kartosoewirjo yang teranulir kebijakan RERA, juga kecewa terhadap pemerintah RI karena penandatangan Perjanjian Renville yang dianggap melecehkan harkat dan martabat para pejuang kemerdekaan. 

Baca Juga: Kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) di Era Kabinet Hatta

Dalam Perjanjian Renville, Indonesia dipaksa untuk menyerahkan Jawa Barat kepada pihak Belanda. Karena kekecewaannya terhadap pemerintah pusat, Kartosoewirjo membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan memproklamirkannya pada 7 Agustus 1949.

NII kemudian menyempurnakan angkatan perangnya yang bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk dapat menguasai beberapa wilayah lain bergabung dengan NII. Beberapa daerah yang menjadi bagian dari NII adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Akhir Perjuangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

Untuk mengatasi pemberontakan DI/TII yang dilakukan Kartosoewirjo, pemerintah menurunkan pasukan Kodam Siliwangi dan menerapkan taktik Pagar Betis.

Taktik Pagar Betis ini dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat dengan jumlah ratusan ribu untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII. Tujuan lain dibentuknya Pagar Betis yaitu untuk mempersempit ruang gerak DI/TII. 

Baca Juga: Operasi Pagar Betis: Sejarah, Latar Belakang, dan Pelaksanaannya

Selain Pagar Betis, operasi lain yang juga dilakukan oleh Kodam Siliwangi yaitu Operasi Brata Yudha yang bertujuan untuk menemukan tempat persembunyian Kartosoewirjo. Akhirnya, Kartosoewirjo pun berhasil ditangkap oleh Letda Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi.

Pada 16 Agustus 1962, Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) yang mengadili Kartosoewirjo mengatakan bahwa gerakannya selama 13 tahun dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah pemberontakan dan hukuman mati pun dijatuhkan kepada SMK.

Pada 4 September 1962, Kartosoewirjo meminta bertemu dengan keluarganya, dan kemudian dibawa ke regu tembak keesokan harinya. Ia dibawa dengan sebuah kapal pendarat milik Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau sekitar Teluk Jakarta.

Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan. Setelah meninggalnya SMK, juga sepeninggal pemimpin DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi, semangat sebagian pengikut NII bisa jadi patah.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompas.com
https://tirto.id
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment