Sejarah Konflik Etnis Rohingya di Myanmar
Apa itu Etnis Rohingya?
Rohingya adalah penduduk minoritas beragama Islam yang bertempat tinggal di daerah Myanmar, tepatnya Provinsi Arakan di sisi sebelah barat laut Myanmar. Daerah ini berbatasan dengan Bangladesh, dan sekarang dikenal dengan provinsi Rakhine atau Rakhaing.
Mayoritas kelompok ini telah tinggal di sana selama berabad-abad. Namun, pemerintah Myanmar enggan mengakui kewarganegaraan Rohingya bahkan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2024. Mereka menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Pada tahun 2017, tercatat masyarakat Rohingya di Myanmar berjumlah sekitar satu juta jiwa. Mereka dikenal memiliki budaya dan bahasa sendiri. Mereka mengaku sebagai keturunan pedagang Arab dan kelompok lain yang telah berada di wilayah Myanmar selama beberapa generasi.
Sejak tahun 1970-an, etnis Rohingya telah bermigrasi ke seluruh wilayah dalam jumlah yang signifikan karena mendapat tindakan diskriminasi. Mereka pun mengalami tantangan seperti kekurangan makanan, air bersih, hingga akses layanan kesehatan sehingga ribuan warga Rohingya melakukan perjalanan berbahaya untuk keluar Myanmar.
Baca Juga: Pengertian Kelompok Etnis atau Suku Bangsa, Identitas, Perubahan, Contoh dan Jenisnya
Sejarah Konflik Etnis Rohingya
Rohingya merupakan keturunan campuran (Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul dan Pathan), Bengali lokal dan Rakhine. Setelah kemerdekaan Myanmar, yaitu pada masa kepemimpinan Jenderal Aung San, etnis Rohingnya menjadi salah satu etnis yang memiliki peranan dalam pemerintahan Myanmar. Bahkan ada warga Rohingnya yang menjadi menteri di pemerintahan Myanmar pada tahun 1940-1950.
Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga pada akhirnya menjadi Presiden di Myanmar, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter. Konflik yang kerap muncul di Myanmar yang melibatkan antar etnis terjadi dalam kurun 1991 sampai sekarang.
Baca Juga: Konflik Etnis: Pengertian, Faktor Pemicu, Contoh, dan Konflik Etnis di Indonesia
Latar Belakang
Masyarakat muslim telah lama tinggal di wilayah Arakan (Rakhine). Pada tahun 1785, Arakan dikuasai oleh Bamar yaitu kelompok etnis dominan di Burma (Myanmar). Dikutip dari laman Rohingya Culture Center, pendudukan Burma di Arakan kerap menindas sehingga ribuan warga Rakhine dieksekusi dan banyak yang dideportasi ke Burma tengah.
Akibatnya, pada tahun 1799, sebanyak 35.000 orang melarikan diri ke Benggala Britania untuk menghindari penganiayaan kelompok Bamar. Oleh karena itu, istilah "Rohingya" tercatat lebih awal muncul dalam literatur Inggris.
Francis Buchanan-Hamilton, seorang dokter dan ahli geografi Inggris, dalam artikel yang terbit pada tahun 1799 menyatakan, "Orang Mohammedan yang telah lama menetap di Arakan, menyebut diri mereka Roohinga."
Penyebutan ini tidak hanya membuktikan bahwa ada minoritas Muslim asli di Arakan yang bernama Rohingya, namun juga membedakan mereka dari mayoritas penduduk Rakhine yang beragama Buddha.
Sejak tahun 1823, ketika Burma berada di bawah kekuasaan Inggris mayoritas penganut Buddha merasa tidak didukung dan terancam. Sentimen anti-kolonial Buddha membuat Inggris lebih memilih Muslim untuk posisi administratif.
Identitas awal orang Burma sebagai penganut Buddha, dan menganggap Burma sebagai rumah mereka menjadi bahan bakar nasionalisme yang mendorong gerakan Kemerdekaan Burma di kemudian hari.
Ketika terjadi Perang Dunia II, Jepang menginvasi Burma berhasil memukul mundur Inggris ke India. Kaum nasionalis Burma pun menyambut kedatangan Jepang. Sementara etnis Rohingya pro-Inggris mengingat dukungan Inggris yang mereka terima selama masa kolonial.
Akibatnya, terjadi kekerasan antara warga Rakhine yang beragama Budha dan warga Muslim Rohingya. Lebih jauh lagi, Jepang menindas etnis Rohingya karena sikap mereka yang pro kepada Inggris. Lebih buruk lagi, Inggris juga mempersenjatai Muslim Rohingya untuk menciptakan penyangga terhadap Jepang, yang berkontribusi terhadap kekerasan tersebut.
Setelah mendapatkan kemerdekaan di tahun 1948, pemerintah Burma menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara yang sah. Akibatnya, muncul gerakan dari Muslim Rohingya untuk bergabung dengan negara Pakistan yang baru terbentuk.
Pemerintah Burma yang pada saat itu ada di bawah kendali Jenderal Ne Win, melakukan beberapa operasi militer terhadap Rohingya dan menyebabkan migrasi besar-besaran Rohingya ke berbagai negara.
Pencabutan Kewarganegaraan
Pada tahun 1982, pemerintah Burma memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan yang hanya mengidentifikasi 135 kelompok etnis. Mereka menetapkan etnis-etnis tersebut berdasarkan penduduk yang telah tinggal di Burma sebelum tahun 1823. Oleh karena itu, Rohingya tidak menjadi bagian dari mereka.
Hal ini karena tahun 1823 merupakan tahun pecahnya perang Inggris-Burma untuk pertama kalinya. Setelah itu, Inggris mendorong banyak migrasi ke Burma sehingga penduduk yang berada di bawah kependudukan Inggris bukanlah penduduk asli Burma.
Dengan adanya Undang-Undang Kewarganegaraan, pemerintah Burma menetapkan kewajiban untuk memiliki kartu registrasi nasional yang bisa didapatkan melalui proses naturalisasi. Namun, diperlukan bukti bahwa keluarga orang tersebut harus tinggal di Myanmar sebelum tahun 1948 dan fasih menggunakan salah satu bahasa nasional.
Akibat undang-undang tersebut, hak warga Rohingya untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, menjalankan agama, bahkan mengakses layanan kesehatan terus dibatasi. Terlebih, pada tahun 2015 partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dengan mayoritas pendukung dari kelompok Buddha nasionalis memenangkan pemilu Myanmar.
Akibatnya, krisis kemanusiaan terjadi pada tahun 2017 dan menjadi sorotan internasional karena militer Myanmar menyerang warga sipil Rohingya.
Faktor Penyebab Konflik Etnis Rohingya
Demikian, dapat disimpulkan beberapa faktor penyebab konflik etnis Rohingya di Myanmar di antaranya,
1. Status yang Berbeda
Perlakuan diskriminatif terhadap Etnis Rohingnya, antara lain disebabkan oleh status mereka yang berbeda. Salah satu akar konflik tersebut adalah status etnis Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar.
Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui serta tidak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat karena tidak memiliki kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.
Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948.
Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein pada tahun 2012, di mana Myanmar tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh.
Sejak UU Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnis namun warga Rohingya etnis Bengali tidak termasuk di dalamnya.
Bukan hanya dilatarbelakangi heterogenitas etnis saja yang menyebabkan konflik antar etnis melainkan juga disebabkan oleh adanya ketimpangan ekonomi, agama, superioritas etnis, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terutama kebijakan yang mengandung unsur-unsur etnisitas (memberikan hak privilege pada etnis tertentu).
2. Kecemburuan Etnis Rakhine Terhadap Etnis Rohingya
Penyebab konflik etnis di Myanmar selanjutnya adalah adanya kecemburuan dari etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut dikarenakan populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa tahun terus meningkat. Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya dianggap sebagai sesuatu yang terus mengganggu.
Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim Rohingya.
Keberadaan etnis Rohingya di Provinsi Rakhine semakin terancam oleh tindakan yang sewenang-wenang seperti penjarahan, pemusnahan tempat tinggal, pembakaran masjid, dan pemerkosaan.
Etnis Rohingya yang banyak menjadi korban perampasan tanah melampiaskan kekecewaannya pada etnis Rakhine yang jauh lebih dilindungi oleh pemerintah.
Sejak saat itu, tingkat kebencian warga Muslim Rohingya semakin besar dengan etnis Rakhine dan konflik antar keduanya sering menimbulkan kerusakan dan pertikaian yang berlarut-larut di Provinsi Rakhine.
3. Burmanisasi
Pada masa Rezim Militer, mulai dari era Ne Win hingga tahun 2000, etnis Rohingnya menghadapi situasi yang berat. Situasi ini dikarenakan adanya diskriminasi dalam skala besar yang dilakukan oleh pemerintah Junta Militer Myanmar. Salah satunya adalah semakin gencarnya kebijakan Burmanisasi yang dilakukan dengan menerapkan program model village.
Model village yaitu suatu perumahan yang dibangun khusus untuk orang-orang beragama Buddha seperti Buddha Rakhine dan orang Buddha lainnya yang sebagian besar berasal dari etnis Burma. Mereka didatangkan secara massal dan kemudian dibekali kebutuhan hidup berupa pasokan bahan pangan dan diberikan rumah yang layak huni oleh pemerintah Myanmar.
Pemerintah Myanmar bahkan menyita tanah warga Rohingya secara paksa untuk membangun model village ini, mereka kemudian menempatkan etnis Rakhine dan orang-orang Buddha di daerah-daerah mayoritas Muslim Rohingya.
Pemerintah Myanmar juga menggantikan tempat-tempat suci Rohingya dengan monumen bersejarah dan peninggalan Buddha berupa biara, pagoda Buddha dan asrama untuk biksubiksu Rakhine.
Etnis Rakhine direlokasi ke daerah-daerah model village yang merupakan daerah hasil rampasan tanah milik etnis Rohingya. Sebanyak 50 desa dengan 200 keluarga Rakhine tinggal di desa tersebut. Sementara itu, Muslim Rohingya yang kehilangan tanah mereka menjadi tunawisma tanpa mata pencaharian.
4. Diskriminasi Rohingya Diberitakan Media Internasional
Konflik yang terjadi antara etnis Rohingya dan Rakhine yang pada awalnya belum banyak diketahui oleh dunia luar kemudian mencuat pada bulan Juni-Agustus tahun 2012, di mana pemberitaan media internasional mulai memberitakan fakta-fakta tentang adanya konflik Rohingnya.
Hal tersebut memancing kemarahan dari etnis Rakhine yang kemudian berakhir pada konflik yang tidak terhenti.
Konflik ini memuncak pada Juli 2012. Puncak dari konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingnya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis. Bahkan tentara dan polisi Myanmar diduga ikut memprovokasi kedua etnis dan turut menyerang perkampungan Rohingnya.
Banyak pihak yang mengecam konflik tersebut, hal ini dikarenakan Myanmar pada saat itu sedang mengalami proses demokrasi. Salah satu pihak yang mengecam konflik tersebut adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa, namun tidak menyalahkan pemerintahan Myanmar sebagai penyebab dari konflik tersebut.
Lembaga lain seperti Amnesty Internasional dan Organisasi HAM (Hak Asasi Manusia) dunia menilai bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Rohingnya yang telah menyebabkan penderitaan etnis Rohingnya yang tak kunjung usai.
Sumber:
https://www.cnnindonesia.com
https://www.liputan6.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment