Romusha: Pengertian, Latar Belakang, Tujuan, Sejarah, dan Dampaknya
Table of Contents
Pengertian Romusha
Romusa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang-orang yang dipaksa bekerja berat pada zaman pendudukan Jepang; pekerja paksa. Romusha merupakan kata dalam bahasa Jepang yang berarti "buruh" atau "serdadu pekerja". Dalam bahasa Inggris, kata ini biasanya merujuk pada orang non-Jepang yang dipaksa bekerja untuk militer Jepang selama Perang Dunia II. Perpustakaan Kongres Amerika Serikat memperkirakan bahwa di Jawa, antara 4 hingga 10 juta romusha dipaksa bekerja oleh militer Jepang selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada masa Perang Dunia II, dan banyak di antara mereka yang mengalami kondisi yang buruk dan meninggal atau terdampar jauh dari rumah.
Baca Juga: Pendudukan Jepang di Indonesia: Sejarah, Perlawanan, dan Dampaknya
Romusha dipekerjakan dalam proyek konstruksi seperti membangun jalan, pelabuhan, dan landasan pacu. Mereka dianggap sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan tanpa biaya tambahan, sehingga mayoritas romusha tidak menerima gaji. Pengerahan romusha merupakan catatan kelam dalam sejarah Indonesia karena menimbulkan banyak korban tewas, hilang, dan cacat.
Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang romusha di antaranya,
1. Pada awalnya, romusha adalah tenaga sukarela yang diikuti oleh para pengangguran yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan upah.
2. Jepang melakukan kampanye propaganda untuk memperlancar usaha pengerahan romusha. Dalam kampanye tersebut, romusha dijuluki “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”.
3. Perkiraan jumlah total romusha di Jawa adalah antara 4 hingga 10 juta orang
Latar Belakang Romusha
Kemunculan romusha berawal dari adanya kebutuhan pemerintah militer Jepang akan tenaga kerja dalam jumlah besar yang dapat dimobilisasi untuk melancarkan berbagai kegiatan produksi dan membangun berbagai sarana dan prasarana pendukung perang.
Jepang secara resmi terlibat Perang Dunia II setelah mengobarkan Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik dengan menyerang pangkalan militer AS di Pearl Harbor, Hawaii, pada Desember 1941. Setelah itu, hanya dalam beberapa bulan, Jepang menguasai beberapa wilayah di Asia Tenggara, termasuk merebut Indonesia dari Belanda pada awal Maret 1942.
Romusha dipekerjakan dalam proyek konstruksi seperti membangun jalan, pelabuhan, dan landasan pacu. Mereka dianggap sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan tanpa biaya tambahan, sehingga mayoritas romusha tidak menerima gaji. Pengerahan romusha merupakan catatan kelam dalam sejarah Indonesia karena menimbulkan banyak korban tewas, hilang, dan cacat.
Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang romusha di antaranya,
1. Pada awalnya, romusha adalah tenaga sukarela yang diikuti oleh para pengangguran yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan upah.
2. Jepang melakukan kampanye propaganda untuk memperlancar usaha pengerahan romusha. Dalam kampanye tersebut, romusha dijuluki “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”.
3. Perkiraan jumlah total romusha di Jawa adalah antara 4 hingga 10 juta orang
Latar Belakang Romusha
Kemunculan romusha berawal dari adanya kebutuhan pemerintah militer Jepang akan tenaga kerja dalam jumlah besar yang dapat dimobilisasi untuk melancarkan berbagai kegiatan produksi dan membangun berbagai sarana dan prasarana pendukung perang. Jepang secara resmi terlibat Perang Dunia II setelah mengobarkan Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik dengan menyerang pangkalan militer AS di Pearl Harbor, Hawaii, pada Desember 1941. Setelah itu, hanya dalam beberapa bulan, Jepang menguasai beberapa wilayah di Asia Tenggara, termasuk merebut Indonesia dari Belanda pada awal Maret 1942.
Baca Juga: Pengeboman Pearl Harbor: Sejarah, Latar Belakang, Tujuan, dan Dampaknya
Namun, pada Juni 1942, Jepang secara bertahap mulai kehilangan kendali atas Pasifik. Daftarnya Para pemimpin perang Jepang melihat bahwa situasi militer di teater Asia-Pasifik tidak lagi berpihak pada mereka. Selain itu, persediaan makanan Jepang dan wilayah jajahannya semakin menipis akibat terisolasi dari perdagangan internasional. Untuk dapat terus mengobarkan perang dan mengamankan logistik, Jepang melakukan pengerahan romusha.
Tujuan Romusha
Mengutip buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tujuan romusha adalah untuk membuat tempat-tempat pertahanan dan meningkatkan hasil produksi pertanian.
Adapun pekerjaan berat yang dilakukan oleh romusha adalah membangun kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah dan daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer di garis depan. Perlakuan penjajah Jepang kepada para romusha untuk memenuhi tujuannya bahkan lebih keji daripada apa yang terjadi pada para pekerja rodi.
Para romusha bekerja tidak mengenal waktu, karenanya begitu banyak di antara mereka yang tumbang karena kelaparan dan beberapa lainnya tewas karena dibunuh.
Kerja Paksa Romusha
Romusha oleh pemerintah militer Jepang dipusatkan di Jawa, karena kepadatan penduduknya dipandang menyediakan sumber daya yang terpenting. Keikutsertaan sebagai romusha pada awalnya bersifat sukarela. Mereka kebanyakan adalah para pengangguran yang mencari kerja.
Gelombang pertama rombongan romusha dilepas dengan upacara kebesaran, tetapi tidak dengan rombongan berikutnya. Situasi perang yang semakin berkobar menyebabkan kebutuhan akan tenaga romusha semakin meningkat.
Jepang tidak lagi mengandalkan tenaga sukarelawan, tetapi memerintahkan para kepada desa untuk menyediakan warganya guna menjalankan tugas itu. Setiap keluarga kemudian diwajibkan menyerahkan satu anggota keluarganya untuk menjadi romusha.
Bahkan pasukan Jepang melakukan razia dan mengambil siapa pun yang tertangkap di jalan untuk memperkuat barisan romusha. Romusha yang berhasil dimobilisasi kemudian dipekerjakan di berbagai proyek pemerintah militer Jepang. Mereka dikirim ke berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
Pekerjaan yang dilakukan antara lain berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai, lubang perlindungan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi, yang semuanya merupakan pekerjaan kasar dan berat.
Mereka juga dipekerjakan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan dan gudang senjata, serta di pabrik-pabrik seperti pabrik garam dan pabrik kayu dan pekerjaan lainnya.
Para romusha tidak hanya dipekerjakan di daerah-daerah di Jawa, tetapi juga di luar Jawa dan luar Indonesia, seperti Sumatera, Sulawesi, Borneo, Papua Nugini, Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaya (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 65).
Para romusha juga dikirim ke Siam, Filipina, dan Kepulauan Solomon. Diperkirakan sekitar 160.000 hingga 200.000 orang romusha Indonesia dikirim ke luar negeri selama masa perang (Oktorino 2016: 245).
Selama berada di tempat kerja, romusha diperlakukan secara buruk. Banyak di antara mereka yang tidak diberi upah, tetapi tidak dapat menuntut karena tidak ada perjanjian tertulis.
Kondisi tempat tinggal yang tidak layak, kesehatan yang tidak dijamin, porsi makan yang diberikan tidak sebanding dengan pekerjaan berat yang dilakukan, sehingga menyebabkan banyak romusha menderita sakit dan meninggal dalam jumlah besar di tempat kerjanya.
Perlakuan buruk terhadap romusha menjadi rahasia umum di masyarakat dan menimbulkan ketakutan. Sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye propaganda untuk memperlancar usaha pengerahan romusha.
Di dalam kampanye itu mereka mendapat julukan “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja” yang digambarkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas suci untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Akan tetapi, kenyataan adalah sebaliknya. Di antara 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke luar Jawa, diperkirakan 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 65).
Tidak dapat diketahui secara pasti berapa banyak total jumlah romusha Indonesa yang dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa selama masa pendudukan Jepang. Menurut Miyoshi Sunhichiro dalam artikel “Jawa Senryo Gunsei Kaikoroku”, jumlahnya mencapai 5 sampai 8 juta orang.
Sementara pada saat membicarakan pampasan perang dengan Jepang, pemerintah Indonesia menyebut jumlah romusha sekitar 4.1 juta orang (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 66).
Dampak Romusha Bagi Rakyat Indonesia
Rakyat Indonesia pada saat itu telah mengetahui bahwa romusha selalu diperlakukan dengan buruk dan tidak manusiawi. Akan tetapi mereka terlalu takut untuk menolak perintah Jepang dan dengan berat hati anggota keluarga mereka diambil secara paksa, sebagaimana tertulis dalam buku Seri IPS Sejarah 3 SMP Kelas IX karya oleh Drs. Prawoto.
Tindakan Jepang dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tentunya memberikan dampak bagi negara Indonesia. Beberapa dampak dari kerja paksa romusha di antaranya,
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh penyerahan wajib padi kepada pemerintah
2. Kelangkaan bahan pangan
3. Tingkat kesehatan menurut
4. Angka kematian meningkat
Dari dampak-dampak di atas maka dapat diketahui bahwa betapa buruknya kehidupan sosial rakyat Indonesia saat dikuasai oleh Jepang. Eksploitasi yang dilakukan secara besar-besaran melalui sistem kerja paksa romusha menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi rakyat Indonesia.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id/
https://www.detik.com
https://www.kompas.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Namun, pada Juni 1942, Jepang secara bertahap mulai kehilangan kendali atas Pasifik. Daftarnya Para pemimpin perang Jepang melihat bahwa situasi militer di teater Asia-Pasifik tidak lagi berpihak pada mereka. Selain itu, persediaan makanan Jepang dan wilayah jajahannya semakin menipis akibat terisolasi dari perdagangan internasional. Untuk dapat terus mengobarkan perang dan mengamankan logistik, Jepang melakukan pengerahan romusha.
Tujuan Romusha
Mengutip buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tujuan romusha adalah untuk membuat tempat-tempat pertahanan dan meningkatkan hasil produksi pertanian.Adapun pekerjaan berat yang dilakukan oleh romusha adalah membangun kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah dan daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer di garis depan. Perlakuan penjajah Jepang kepada para romusha untuk memenuhi tujuannya bahkan lebih keji daripada apa yang terjadi pada para pekerja rodi.
Para romusha bekerja tidak mengenal waktu, karenanya begitu banyak di antara mereka yang tumbang karena kelaparan dan beberapa lainnya tewas karena dibunuh.
Kerja Paksa Romusha
Romusha oleh pemerintah militer Jepang dipusatkan di Jawa, karena kepadatan penduduknya dipandang menyediakan sumber daya yang terpenting. Keikutsertaan sebagai romusha pada awalnya bersifat sukarela. Mereka kebanyakan adalah para pengangguran yang mencari kerja. Gelombang pertama rombongan romusha dilepas dengan upacara kebesaran, tetapi tidak dengan rombongan berikutnya. Situasi perang yang semakin berkobar menyebabkan kebutuhan akan tenaga romusha semakin meningkat.
Jepang tidak lagi mengandalkan tenaga sukarelawan, tetapi memerintahkan para kepada desa untuk menyediakan warganya guna menjalankan tugas itu. Setiap keluarga kemudian diwajibkan menyerahkan satu anggota keluarganya untuk menjadi romusha.
Bahkan pasukan Jepang melakukan razia dan mengambil siapa pun yang tertangkap di jalan untuk memperkuat barisan romusha. Romusha yang berhasil dimobilisasi kemudian dipekerjakan di berbagai proyek pemerintah militer Jepang. Mereka dikirim ke berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
Pekerjaan yang dilakukan antara lain berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai, lubang perlindungan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi, yang semuanya merupakan pekerjaan kasar dan berat.
Mereka juga dipekerjakan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan dan gudang senjata, serta di pabrik-pabrik seperti pabrik garam dan pabrik kayu dan pekerjaan lainnya.
Para romusha tidak hanya dipekerjakan di daerah-daerah di Jawa, tetapi juga di luar Jawa dan luar Indonesia, seperti Sumatera, Sulawesi, Borneo, Papua Nugini, Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaya (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 65).
Para romusha juga dikirim ke Siam, Filipina, dan Kepulauan Solomon. Diperkirakan sekitar 160.000 hingga 200.000 orang romusha Indonesia dikirim ke luar negeri selama masa perang (Oktorino 2016: 245).
Selama berada di tempat kerja, romusha diperlakukan secara buruk. Banyak di antara mereka yang tidak diberi upah, tetapi tidak dapat menuntut karena tidak ada perjanjian tertulis.
Kondisi tempat tinggal yang tidak layak, kesehatan yang tidak dijamin, porsi makan yang diberikan tidak sebanding dengan pekerjaan berat yang dilakukan, sehingga menyebabkan banyak romusha menderita sakit dan meninggal dalam jumlah besar di tempat kerjanya.
Perlakuan buruk terhadap romusha menjadi rahasia umum di masyarakat dan menimbulkan ketakutan. Sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye propaganda untuk memperlancar usaha pengerahan romusha.
Di dalam kampanye itu mereka mendapat julukan “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja” yang digambarkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas suci untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Akan tetapi, kenyataan adalah sebaliknya. Di antara 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke luar Jawa, diperkirakan 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 65).
Tidak dapat diketahui secara pasti berapa banyak total jumlah romusha Indonesa yang dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa selama masa pendudukan Jepang. Menurut Miyoshi Sunhichiro dalam artikel “Jawa Senryo Gunsei Kaikoroku”, jumlahnya mencapai 5 sampai 8 juta orang.
Sementara pada saat membicarakan pampasan perang dengan Jepang, pemerintah Indonesia menyebut jumlah romusha sekitar 4.1 juta orang (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 66).
Dampak Romusha Bagi Rakyat Indonesia
Rakyat Indonesia pada saat itu telah mengetahui bahwa romusha selalu diperlakukan dengan buruk dan tidak manusiawi. Akan tetapi mereka terlalu takut untuk menolak perintah Jepang dan dengan berat hati anggota keluarga mereka diambil secara paksa, sebagaimana tertulis dalam buku Seri IPS Sejarah 3 SMP Kelas IX karya oleh Drs. Prawoto.Tindakan Jepang dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tentunya memberikan dampak bagi negara Indonesia. Beberapa dampak dari kerja paksa romusha di antaranya,
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh penyerahan wajib padi kepada pemerintah
2. Kelangkaan bahan pangan
3. Tingkat kesehatan menurut
4. Angka kematian meningkat
Dari dampak-dampak di atas maka dapat diketahui bahwa betapa buruknya kehidupan sosial rakyat Indonesia saat dikuasai oleh Jepang. Eksploitasi yang dilakukan secara besar-besaran melalui sistem kerja paksa romusha menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi rakyat Indonesia.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id/
https://www.detik.com
https://www.kompas.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Baca Juga:
Post a Comment