Peristiwa Cimareme: Sejarah Perlawanan Rakyat Garut dan Keterlibatan Sarekat Islam Afdeling B
Apa itu Peristiwa Cimareme
Peristiwa Cimareme adalah sebuah perlawanan yang dipimpin oleh KH Hasan Arif seorang Juragan tembakau atau "bako" asal daerah Kabupaten Garut tahun 1919. Cimareme adalah salah satu kampung di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.
Peristiwa Cimareme merupakan aksi perlawanan petani terhadap pemerintah kolonial yang memberlakukan pembelian padi ketika krisis pangan menerjang pada 1910-an di Hindia Belanda. Akibatnya KH Hasan Arif dan beberapa pengikutnya tewas ditangan tentara KNIL.
Peristiwa Cimareme menjadi penting, karena membawa pengaruh besar dalam permulaan abad ke-20.
Profil KH Hasan Arif
Haji Hasan merupakan tokoh utama dalam Peristiwa Cimareme tahun 1919. Dia merupakan keturunan Kesultanan Banten dari ayahnya Kiyai Tubagus Alpani. Ibunya Djamilah merupakan putri R Kartaningrat, pendiri Pondok Pesantren Cimareme.
Sejak muda, H Hasan sudah sangat disegani oleh warga sekitar. Dia mengajar ilmu agama, membekali para santrinya dengan ilmu silat, dan sangat peduli dengan olahraga. Dia mendirikan perkumpulan pencak silat dan sepak bola. Dia juga melek dengan politik dan bergabung dengan perkumpulan Goena Perlaja yang dipimpin oleh Kiayi Abdullah dari Tegalgubuk Cirebon.
Goena Perlaja adalah pusat gerakan revolusioner yang memiliki tujuan yang sama dengan Serikat Islam (SI) Afdeling B. Perkumpulan ini diperkirakan mempunyai hubungan dengan beberapa tokoh seperti Surjopranoto, Ketua Adhi Dharma (Serikat Buruh Gula), Semaun dari ISDV, Alimin dan Abdul Muis dari SI Batavia, serta Sanusi dari Bandung.
Latar Belakang Peristiwa Cimareme
Kegagalan panen dan efek Perang Dunia I membuat bahan pangan berkurang dan harga-harga bahan pokok melambung tinggi.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Sarekat Islam (SI) untuk menuntut pemerintah agar perkebunan-perkebunan tebu dikurangi dan lahannya ditanami padi. Setelah melakukan penelitian, pemerintah menolak tuntutan tersebut.
Baca Juga: Sejarah Sarekat Islam (SI): Tujuan, Tokoh Penting, dan Sejarah Perkembangannya
Dalam Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) karya Robert van Niel, diterangkan bahwa penolakan tersebut terjadi karena pemerintah menilai pemakaian tanah perkebunan tebu untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan secepat mungkin tidak praktis.
Solusi yang diambil oleh pemerintah adalah dengan memberlakukannya pembelian padi dari petani, yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama di luar Jawa. Setiap petani yang memiliki sawah seluas satu bau wajib menjual satu pikul padi.
Di daerah Garut, peraturannya agak berbeda. Setiap petani yang memiliki sawah seluas 5 bau atau lebih, wajib menjual padinya kepada pemerintah sebanyak 4 pikul dari setiap bau. Jika kurang dari 5 bau maka mengikuti peraturan secara umum. Dan jika kurang dari setengah bau, maka petani bebas dari kewajiban tersebut.
Harga padi yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 4,5 gulden/pikul. Harga ini di bawah rata-rata harga padi yang berlaku di pasar.
Haji Hasan, seorang tokoh di Cimareme, Garut, yang mempunyai 10 bau lahan sawah keberatan atas peraturan tersebut. Penolakan Haji Hasan, menurut van Niel, karena penjualan beras kepada pemerintah akan mengurangi kebutuhan pangan keluarganya.
Dasar penolakan Haji Hasan sebenarnya bukan semata-mata faktor ekonomi, tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda. Sikap bermusuhan itu sudah tertanam sejak dia masih kecil. Bapaknya selalu mengajarinya untuk menjaga jarak dengan orang Belanda dan kaki tangannya.
Bahkan pernah suatu kali, H Hasan ditawari jabatan resmi oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai tokoh agama, tetapi ditolaknya. Penolakan ini membekas dalam hati para pejabat pemerintah kolonial setempat.
Jalannya Peristiwa Cimareme
Menghadapi penolakan tersebut, pemerintah mula-mula mengutus Wedana Leles beserta Lurah Cikendal untuk membayar uang muka atas pembelian padi dari Haji Hasan sebanyak 40 pikul. Namun, Haji Hasan menolaknya. Ia hanya bersedia menjual padinya sebanyak 10 pikul.
Keberanian H Hasan menolak uang dari pejabat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dibalas dengan sikap arogan. Wedana Leles yang emosi mengancam akan mendatangkan pejabat pemerintah dan pasukan bersenjata lengkap untuk menyita sawah H Hasan.
Setelah kedua orang itu pulang, keesokan harinya H Hasan mengirimkan surat kepada Wedana Leles dan menanyakan kebijakan pemerintah membeli 40 pikul padi miliknya, dan rencana mendatangkan pejabat pemerintah dan serdadu bersenjata untuk menyita seluruh tanah miliknya. Namun surat itu tidak pernah dibalas. Bahkan setelah dia mengirim utusan ke Wedana Leles.
Klimak kedua perlawanan H Hasan adalah saat juru tulis pemerintah kolonial mengabarkan bahkan H Hasan tidak menjual padinya di tempat-tempat yang telah ditentukan, serta adanya orang-orang berpakaian putih bersenjata tajam.
Sebagai balasan atas sikap H Hasan, pada 4 Juli 1919, asisten wedana memerintahkan pejabat sekitar dengan membawa tentara Belanda bersenjata lengkap untuk menangkap H Hasan. Di waktu yang sama, H Hasan kembali mengirimkan surat dengan pertanyaan yang sama kepada asisten residen. Isi surat sama dengan yang pertama, terkait rencana penyitaan tanah miliknya.
Kabar akan ditangkapnya H Hasan membuat gempar Garut. Banyak pendukung SI Afdeling B yang merencanakan pemberontakan dan warga yang bersimpati dengan protes H Hasan, ikut datang ke rumah H Hasan. Jumlah mereka mencapai ribuan.
Banyaknya para pendukung H Hasan ini membuat penangkapan tanggal 4 Juli 1949 itu ditunda. Akhirnya, untuk pertama kalinya, H Hasan mengetahui setelah berunding dengan asisten wedana bahwa semua permintaannya dalam surat pertama dan kedua tidak dikabulkan. Dari situ, H Hasan terus menggalang dukungan di lingkungan keluarganya untuk perang sabil.
Pada hari Sabtu 6 Juli 1919, sekitar jam 12.30 WIB, sebanyak 40 orang infantri di bawah pimpinan Mayor Van Der Bie dan Letnan Hillen berangkat ke Garut. Mereka hendak melakukan penangkapan terhadap H Hasan. Pasukan bersenjata dari Tasikmalaya yang berjumlah 30 orang di bawah pimpinan Komandan Raes juga ikut diterjunkan.
Sehari kemudian, Senin 7 Juli 1919, rombongan bersenjata ini berangkat ke Cimareme. Di antara rombongan itu ikut hadir Patih Garut, Wedana Bangbulang, Wedana Tarogong, Kepala Penghulu Garut, Wakil Kepala Penghulu Garut, penasihat agama Garut, Camat Kadungkora, dan Camat Nangkaruka. Para pejabat kolonial ini membawa serta agen polisi bersenjata.
Setelah sampai di rumah H Hasan, Patih memerintahkan agar dia segera keluar. Tidak lama kemudian, H Hasan keluar dengan diikuti H Gadjali dan 13 orang pengikutnya. Jumlah mereka mencapai 40 orang, semuanya laki-laki dan berpakaian serba putih dengan senjata dipinggang, seperti kapak, keris dan kelewang.
Kemudian mereka duduk di tanah, dan Patih berbicara dengan ramah meminta agar H Hasan ikut ke Garut, agar masalahnya dapat diurus dengan baik. Akan tetapi H Hasan menolak ajakan itu dengan tenang. Dia sudah tahu akal bulus Belanda.
Kepada Patih, dia mengatakan dengan pelan, bahwa dia dan pengikutnya tidak akan tunduk pada perintah Belanda, karena Wedana Leles sebelumnya pernah mengatakan akan mengepung rumahnya dengan serdadu bersenjata lengkap dan akan menyita tanah pertanian keluarganya, kemudian menangkapnya. Keterangan H Hasan ini didengar banyak warga yang hadir saat itu.
Kerumunan warga yang berkumpul di sekitar rumah H Hasan, semakin banyak. Suasana menjadi sangat tegang. Saat negosiasi antara pejabat kolonial dengan H Hasan tidak menemukan kesepakatan, H Hasan dan pengikutnya masuk ke dalam rumah.
Namun, saat H Hasan masuk, pengikutnya yang bernama H Gadjali ditarik seorang opas. Serentak, H Hasan dan pengikutnya yang berada di dalam langsung menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Mereka kemudian menggelar zikir. Suaranya zikirnya semakin keras, bahkan saat bupati meminta H Hasan segera keluar. Setelah berkali-kali meminta tidak didengar, serdadu bergerak.
Setelah satu jam menunggu, tiba-tiba H Hasan keluar, namun bukan untuk menyerahkan diri, tetapi memaki para pejabat pemerintah kolonial, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Sekali lagi, H Gadjali diperintahkan oleh Bupati untuk masuk ke dalam rumah, namun malah tidak keluar lagi. Bahkan semua pintu dan jendela dikunci dari dalam.
Di dalam rumah mereka terus berzikir. Karena diplomasi berjalan buntu, akhirnya tentara Belanda menembakkan salvonya ke atas rumah. Tetapi suara zikir semakin kencang. Kemudian salvo diarahkan ke genting. Lalu terakhir ke pintu dan jendela.
Akhir Perlawanan
H. Hasan ditembak mati di dalam rumahnya, bersama beberapa pengikutnya dan kepalanya dipenggal oleh tentara KNIL. Setelah tembakan ketiga, orang-orang yang berada di dalam rumah berhenti berzikir. Suasana tiba-tiba menjadi hening.
Kemudian, terdengar ratap tangis wanita dan anak-anak. Pintu rumah lalu dibuka paksa, dan H Hasan ditemukan tewas bersimbah darah. Kepalanya yang diikat dengan jimat, tertembus peluru. Begitu juga dengan beberapa pengikutnya tewas.
Untuk menunjukkan kepada seluruh warga yang menyaksikan kejadian itu, maka semua korban yang tewas dipenggal kepalanya. Hal ini sebagai peringatan bagi yang melawan pemerintah kolonial.
Keterlibatan Sarekat Islam Afdeling B
Pemerintah kolonial menuduh Sarekat Islam berada di balik Peristiwa Cimareme. Kecurigaan ini dilatari oleh peristiwa sebelumnya di Toli-Toli, Sulawesi Tengah, saat seorang Kontrolir Belanda, De Kat Angelino, dibunuh saat ia mengunjungi pusat kerusuhan akibat kerja rodi.
Sebulan sebelum pembunuhan itu terjadi, Abdul Muis sebagai tokoh Sarekat Islam melakukan perjalanan keliling di Sulawesi atas nama Central Sarekat Islam yang mengundang banyak simpati rakyat.
“Sarekat Islam kembali dipersalahkan sepenuhnya atas insiden ini. Peristiwa ini diikuti dengan tuduhan terhadap Muis bahwa kunjungannya telah menghasut terjadinya pembunuhan,” tulis Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia (2010).
Maka, ketika Peristiwa Cimareme pecah, Sarekat Islam lagi-lagi menjadi tertuduh. Apalagi sebelumnya telah ada penolakan terhadap tuntutan Sarekat Islam untuk mengganti sebagian lahan tebu demi penanaman padi.
McVey menambahkan, saat dilakukan penyelidikan pemerintah kolonial menemukan bukti adanya organisasi rahasia di tubuh Sarekat Islam yang didirikan dengan tujuan menumbangkan pemerintah.
Kelompok ini dikenal sebagai Sarekat Islam kedua atau dalam bahasa Belanda disebut Afdeling B yang memulai gerakannya pada 1917 dan dipimpin oleh Haji Ismael. Ia menggalakkan perlawanan dengan cara menjual jimat yang dikatakannya menjamin pemakainya kebal terhadap segala perlakuan jahat.
Gerakan ini kemudian mendapatkan momentumnya dalam perlawanan Haji Hasan yang menentang kebijakan penjualan beras.
McVey menilai gerakan Afdeling B yang terkonsentrasi di Priangan berada di luar Central Sarekat Islam. Namun, apakah para pemimpin Central Sarekat Islam terlibat atau sebaliknya tidak diketahui secara jelas.
Keterangan serupa disampaikan Robert van Niel dalam Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) secara hati-hati.
“[…] sebab-musabab dan tujuan-tujuan yang terdapat di belakang [Peristiwa Cimareme] mendatangkan pelbagai tafsiran. Selama tiga hari sejak Haji Hasan mula-mula menolak menyerahkan beras dengan waktu insiden penembakan itu terjadi, Sarekat Islam, atau sekurang-kurangnya anggota tertentu Sarekat Islam, tampaknya terlibat dalam komplotan yang menyeleweng,” tulisnya.
Namun yang pasti, Sosrokardono, sekretaris Afdeling B, ditangkap dan disusul dengan diadilinya Tjokroaminoto. Sementara beberapa anggota organisasi sosialis Belanda, Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang menurut McVey akhirnya terseret dalam peristiwa tersebut, khususnya tokoh PKI macam Alimin dan Musso, tidak setuju dengan gerakan yang dilakukan kelompok Afdeling B.
“Untuk sementara waktu kami berharap tidak membuat penilain lebih jauh mengenai perkumpulan Haji Ismael dan melanjutkan gerakan dengan lebih percaya pada pekerjaan orang-orang seperti Semaun dan Darsono,” tulis ISDV seperti dikutip McVey.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://tirto.id
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment