Orientalisme: Pengertian, Sejarah Istilah, dan Sudut Pandangnya

Table of Contents

Pengertian Orientalisme
Pengertian Orientalisme

Orientalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Orientalisme merupakan kata serapan dari bahasa Prancis, orient yang berarti timur atau bersifat timur, dan isme yang berarti paham, ajaran, sikap, atau cita-cita.

Orientalisme adalah paham atau aliran yang mempelajari berbagai aspek ketimuran, seperti bahasa, adat, budaya, dan peradaban agama, seni, sastra, dan kebudayaan. Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui tentang orientalisme di antaranya,
1. Orientalisme merupakan cara Barat memahami dunia Timur berdasarkan pengalaman mereka.
2. Orientalisme menciptakan relasi kuasa antara Timur dan Barat.
3. Orientalisme memberikan pengaruh besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.
4. Orientalisme juga merujuk pada peniruan atau penggambaran unsur-unsur budaya Timur di Barat oleh para penulis, desainer, dan seniman.
5. Lawan kata dari orientalisme adalah oksidentalisme. 
 
Baca Juga: Oksidentalisme: Pengertian dan Sejarahnya

Bagi orang-orang Amerika dan Eropa, orientalisme merujuk pada antusiasme terhadap hal-hal yang memiliki unsur Asia atau Oriental. Pada pertengahan abad ke-20, para orientalis mulai memakai istilah studi Asia untuk menggambarkan karya mereka.

Sedangkan cendekiawan Amerika-Palestina, Edward Said, orientalisme adalah konstruksi yang dilakukan oleh Barat terhadap dunia Timur dengan landasan yang bersumber pada pengalaman hidup dan budaya di Barat. Timur yang dimaksud meliputi bangsa-bangsa di Timur seperti India, Cina, Jepang, termasuk Indonesia.

Secara terminologi Orientalisme memiliki berbagai macam pemahaman dari para ahli di antaranya,
1. Hasan Hanafi: Scholarly of knowledge of eastern cultures, languages and people (Munawwar-Rachman, 2012, hal. 2256). .
2. Edward Said: Orientalism is a style of thought based upon an ontological and epistemological distinction made between “the orient” (most of the time) the occident.” (Said, 1979, hal. 2).
3. Hasan Abdul Rauf: Orientalisme secara umum diberikan kepada orang-orang non arab khususnya ilmuwan barat yang mempelajari ilmu-ilmu ketimuran baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, kebiasaan peradaban dan adat istiadatnya” (Teng, 2016, hal. 51).

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Orientalisme adalah kajian yang dilakukan oleh orang Barat terhadap Bangsa Timur yang berkaitan dengan Bahasa, Budaya, Agama, Politik dan hal-hal lainnya yang menyangkut tentang ketimuran dari segala lini dan sisinya.

Sejarah Munculnya Orientalisme

Kata Orientalisme masih simpang siur kapan awal mulanya muncul dan dipakai dalam literatur dan di dunia akademisi, beragam opini pun bermunculan di antaranya, bahwa kata Orientalis telah dikenal luas di Prancis yang merujuk kepada peristilahan Para Seniman yang menirukan ketimuran dalam artian yang luas pada awal abad ke-19 Masehi (Teng, 2016).

Namun Juan E. Campo beranggapan bahwa orang-orang Yunani Kuno telah membuat perbedaan antara mereka di Barat Occident dan orang-orang dari Timur Orient yang berarti di mana saja di Timur mereka, dari Asia Kecil ke Tanah Mediterania Timur dan seterusnya (Eduardo, 1950).

Berbeda halnya dengan Edward Said yang mengasumsikan bahwa asal kata Orientalisme yaitu kata Oriental telah digunakan sejak abad ke-14 Masehi oleh Chaucer dan pada abad ke-16 Masehi oleh William Shakespeare yang merujuk kepada Asia atau Timur secara geografis, moral dan budayanya (Said, 1979).

Relasi kuasa dalam Orientalisme

Edward Said mengartikan bahwa orientalisme merupakan gaya pikir yang menciptakan relasi kuasa antara Timur dan Barat. Sehingga kajian orientalisme ini pada akhirnya menciptakan relasi-relasi kekuasaan sebagai berikut.

Kekuasaan Politis

Dalam relasi-kuasa yang bersifat politis, wacana orientalisme berperan dalam perkembangan kolonialisme dan imperialisme. Misalnya, Snouck Hurgronje, seorang orientalis asal Belanda, melakukan berbagai studi untuk menggambarkan keadaan dunia Timur, khususnya mengenai kehidupan kaum Muslim.

Melalui disertasinya yang berjudul Het Mekkaansche Feest, Snouck Hurgronje melakukan penelitian terhadap kehidupan muslim di tanah Arab, khususnya mengenai aktivitas haji.

Pada 1884, Snouck Hurgronje diangkat menjadi konselir Belanda di Jeddah (sekarang Arab Saudi) karena kemampuannya mengenai dunia Timur. Sehingga, pemerintah Belanda bisa mendapatkan informasi penting yang bisa diolah menjadi kebijakan yang tepat sasaran.

Salah satu contoh terkenalnya adalah bagaimana Snouck Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Belada mengurangi jumlah orang yang pergi haji, karena memberikan pengaruh "buruk" kepada masyarakat Hindia-Belanda.

Buruk di sini dalam artian bahwa orang Indonesia yang pergi haji bisa berinteraksi dengan masyarakat luar dan memberikan berbagai kesadaran, termasuk aktivitas politik dan nasionalisme.

Snouck Hurgronje pun kemudian melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Pulau Jawa setelah berakhir jabatannya sebagai konselir. Ia melakukan penelitian ke wilayah Sukabumi, Bandung, Garut, Tegal, Pekalongan, Banyumas, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, dan beberapa daerah lainnya.

Pada 1890, Snouck kembali ke Batavia dan dikirim oleh Belanda dalam misi ke Aceh. Di Aceh, ia mempelajari bahasa dan berbagai budaya lokal yang digunakan pemerintah Belanda untuk meredam Perang Aceh.

Pada 1900, Snouck menerbitkan sebuah buku tentang hal ini yang berjudul Studies in the Acehnese language (Atjehsche taalstudiën). Bersama Raden Hadji Hasan Moestafa dari Garut, Snouck Hurgronje melakukan perjalanan kembali ke pesantren-pesantren di Aceh, untuk mengembangkan wawasan pendidikan agama di daerah tersebut.

Dari perjalanan tersebut, Snouck menerbitkan buku The Acehnese (De Atjehers), yang menggambarkan segala aspek kehidupan masyarakat Aceh, situasi politik, agama, bahasa, tradisi dan adat, dan lain-lain. Melalui berbagai penelitiannya inilah, pemerintah Belanda mengetahui berbagai hal terkait masyarakat lokal Aceh dan dapat menyusun strategi untuk menaklukkan Perang Aceh.
 
Baca Juga: Perang Aceh Melawan Belanda: Sejarah, Penyebab, Terjadinya Perang, dan Akhir Perang

Kekuasaan Intelektual

Dalam relasi kuasa yang bersifat intelektual, wacana orientalisme berperan dalam mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lainnya. Menurut Edward Said, Timur direkonstruksi sebagai sebuah kawasan yang terisolasi dari kemajuan-kemajuan Eropa dalam bidang sains, seni, dan perdagangan.

Tesis-tesis mengenai keterbelakangan, degenerasi, dan juga ketidaksetaraan Timur pada awal abad ke-19 sering kali muncul bersamaan dengan gagasan dasar biologis tentang ketidaksetaraan rasial. Contohnya dalam karya-karya seperti Le Regne Animal karya Cuvier, Essai sur L'inegalite des Races Humanines karya Gobineau, dan The Races of Man karya Robert Knox.

Hal ini memunculkan validasi bagi Barat untuk melakukan imperialisme kepada dunia Timur. Dalam karya John Westlake yang berjudul Chapters on the Principles of International Law misalnya, wilayah-wilayah di dunia yang "tidak beradab" harus dianeksasi oleh kekuatan yang "maju", dalam artian melakukan "edukasi" dan peningkatan peradaban.

Kekuasaan Kultural

Dalam relasi kuasa yang bersifat kultural, wacana orientalisme berperan dalam mengkanonisasi selera, teks, dan juga nilai-nilai di Timur. Adanya kanonisasi (penetapan standar) terhadap hal-hal yang bersifat artistik dan kultural bisa berdampak baik maupun buruk, menciptakan dominasi yang timpang.

Dalam berbagai lukisan yang dibuat oleh orang-orang Barat mengenai dunia Timur misalnya, orang Timur sering digambarkan secara eksotis, erotis, dan sensual. Selain itu, sering juga terjadi cross-cultural dressing dalam berbagai lukisan Barat.

Misalnya dalam lukisan berjudul Self Potrait in Oriental Costume yang dilukis oleh William Holman Hunt pada 1867. Adanya penggambaran seperti ini, menurut Christine Riding, Kepala Departemen Kuratorial di The National Gallery, London, merupakan ambisi orientalis untuk mendapatkan kekuasaan.

Dalam artian mendapatkan perhatian dari audiens Barat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Edward Said, bahwa Timur merupakan sebuah metafora yang dalam wacana Barat hanyalah berfungsi layaknya panggung dramaturgi.

Dalam panggung tersebut, Timur diperankan sebagai dramawan dan para orientalis sebagai sutradaranya. Potret Timur sebagai yang eksotis dan sensual pun banyak dilukiskan oleh orang Barat, seperti lukisan berjudul Le Bain Turc karya Jean-Auguste-Dominique Ingres pada 1862.

Ingres merupakan orang yang tidak pernah bepergian ke Afrika atau Timur Tengah untuk melihat subyek seperti itu secara langsung. Baginya, tema oriental bersifat pretext dan bisa digambarkan begitu saja sebagai perempuan telanjang dalam konteks pasif maupun seksual.

Pada akhirnya, hal-hal seperti inilah yang menciptakan inferioritas dan superioritas antara Timur dan Barat. Timur semakin memandang rendah dirinya, sedangkan Barat semakin kuat memandang hegemoni dirinya dalam aspek kebudayaan.

Kekuasaan Moral

Dalam relasi kuasa yang bersifat moral, wacana orientalisme berperan dalam menentukan apa yang baik dan tidak baik dilakukan oleh Timur. Hal ini tentunya didasari oleh cara pandang manusia Barat mengenai relasinya dengan Timur dalam hubungan superior-inferior dan beradab-tidak beradab.

Nilai-nilai moral yang harus dipegang oleh Timur distandarisasi oleh pengalaman-pengalaman hidup di Barat. Segala nilai moral yang baik adalah berasal dari Barat.

Pada intinya, orientalisme merupakan sebuah kajian yang dilakukan oleh sarjana Barat yang menitikberatkan geografis imajiner pada dunia Timur. Pengetahuan-pengetahuan mengenai dunia Timur sendiri merupakan hasrat yang ingin dipenuhi oleh sarjana-sarjana Barat dan sarat akan kepentingan kekuasaan.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompas.com
https://kumparan.com

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment