Manifesto Kebudayaan: Pengertian, Tokoh, Ciri, Latar Belakang, dan Sejarahnya

Table of Contents

Manifesto Kebudayaan
Pengertian Manifesto Kebudayaan

Manifesto Kebudayaan adalah deklarasi yang dibuat oleh sekelompok seniman dan intelektual Indonesia pada akhir tahun 1960-an. Kelompok ini tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun dan sering dianggap netral.

Kelompok Manifes Kebudayaan ini berkembang sekitar tahun 1960an. Pada 8 Mei 1964 Soekarno sebenarnya melarang adanya manifes kebudayaan dengan  tidak ada manisfesto lain selain manifesto politik (Susanto, 2018:84).

Manifesto kebudayaan merupakan konsep kebudayaan yang mengusung humanisme universal yang diformulasikan pada masa Demokrasi Terpimpin yang merupakan bentuk respons dari teror-teror dalam ranah kebudayaan yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). 

Baca Juga: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra): Pengertian, Latar Belakang, Sejarah, dan Pembubarannya

Sementara Lekra mengusung nilai realisme-sosialis. Manifesto Kebudayaan sering disingkat menjadi Manikebu, yang dalam bahasa Inggris berarti "sperma kerbau". Julukan ini diberikan oleh anggota Lekra yang menganggap manifesto tersebut sebagai sesuatu yang tidak baik.

Tokoh Manifesto Kebudayaan

Manifes Kebudayaan muncul diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk, Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.

Ciri Manifesto Kebudayaan

Manifesto Kebudayaan memiliki beberapa ciri, di antaranya:
1. Tidak berafiliasi dengan partai politik
2. Mengusung humanisme universal
3. Berlawanan secara ideologis dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
4. Menganggap kebudayaan sebagai perjuangan untuk menyempurnakan kehidupan manusia
5. Tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor lainnya
6. Pancasila sebagai falsafah kebudayaan

Latar Belakang Manifesto Kebudayaan

Kemunculan manifest kebudayaan diawali dengan munculnya perbedaan pandangan dan ideologi antar sastrawan, budayawan, dan intelektual, namun mereka memiliki tujuan yang sama yaitu memakmurkan dan memajukan masyarakat Indonesia.

Sekitar tahun 1950-1965 topik yang umum muncul dari pengarang periode tersebut terkait dengan kekecewaan terhadap revolusi, kemiskinan, atau persoalan ekonomi, dan persoalan  akibat kebebasan revolusi fisik yang tidak menentu (Susanto, 2018:1).

Munculnya perdebatan kebudayaan yang terjadi pada tahun 1960an antara penulis yang disosiasikan sebagai pendukung ideologi kiri yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan para pendukung ideologi universal merupakan manifestasi Perang Dingin di bidang kebudayaan (Herlambang, 2015:8).

Kelompok Manifes Kebudayaan menggunakan senjata Pancasila sebagai acuan atau pokok dasar kebudayaan dan menyebutnya dengan Filsafat kebudayaan.

Manikebu menggunakan paham humanisme universal memiliki keyakinan bahwa kebudayaan dan kesenian tidak hanya bersifat nasional tetapi juga menginsafi nilai-nilai yang universal dan tidak temporal, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Susanto, 2018:190).

Pada masa ini seniman kiri, yang tergabung di dalam sayap kebudayaan PKI, Lekra, juga memperkuat upaya mereka untuk mempromosikan gagasan komitmen politik di dalam seni dan sastra., sejalan dengan kampanye revolusioner Sukarno.

Meningkatnya aktivitas kiri ini, pada 17 Agustus 1963, para penulis dan seniman anti-komunis diantaranya H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohammad, Arif Budiman, Taufik Ismail dan lainnya mendeklarasikan sikap tegas membela keyakinan mereka dengan pernyataan anti-komunis (Herlambang, 2015:81).

Pada 1963 ini lah para pendukung humanisme universal (liberalism) membuat pernyataan sikap kebudayaan anti-komunis mereka yang terkenal dengan nama Manifes kebudayaan (Herlambang, 2015:8).

Sejarah Manifesto Kebudayaan

Sidang Naskah Manifesto Kebudayaan

Tanggal 17 Agustus 1963, Wiratmo Soekito menyusun teks yang dikenal sebagai Naskah Manifesto Kebudayaan. Kemudian, naskah tersebut diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut supaya diajukan untuk didiskusikan dalam rapat pada 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta.

Rapat tersebut dihadiri oleh 13 orang yang terdiri dari kalangan seniman dan budayawan di antaranya HB Jassin Trisno Sumandjo Wiratmo Soekito Zaini Bokor Hutasuhut Goenawan Mohamad A Bastari Asnin Bur Rasuanto Soe Hok Djin DS Moeljanto Ras Siregar Sjahwil Djufri Tanissan

Setelah sidang selesai, diputuskan bahwa naskah tersebut disetujui dan dibagi dalam tiga bagian, yaitu Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila.

Hasil rumusan tersebut kemudian dibawa ke Sidang Pengesahan tanggal 24 Agustus 1963. Sidang pengesahan dipimpin oleh Goenawan Mohamad dan Sekretaris Bokor Hutasuhut.

Sesudah sidang selesai, atas nama panitia, Bokor Hutasuhut melaporkan bahwa Naskah Manifesto Kebudyaan sudah ditetapkan.

Secara aklamasi panitia menetapkan hasil sidang tidak lagi dapat diubah. Melalui surat kabar Berita Republik dalam ruang Forum Sastra dan Budaya No. 1 Th 1, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III, 1963, Manifes Kebudayaan dipublikasikan.

Isi Naskah Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain.

Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

Soekarno Melarang Manikebu

Setahun setelah Manifes Kebudayaan dibentuk, Presiden Soekarno melarangnya. Alasan Soekarno melarang Manifes Kebudayaan karena Manifes Kebudayaan menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik 1964. 

Baca Juga: Manipol USDEK: Sejarah, Latar Belakang, Tujuan, dan Isi Pentingnya

Tanggal 8 Mei 1964, Bung Karno mengatakan bahwa Manifesto Politik Republik Indonesia sudah dijadikan Garis Besar Haluan negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain.

Menanggapi hal tersebut, atas nama para pendukung Manifesto Kebudayaan, tanggal 19 Mei 1964, Wiratmo Soekito, HB Jassin, dan Trisno Sumardjo mengirim surat permintaan maaf ke Presiden Soekarno.

Manifesto Kebudayaan Pasca G30S

Sesudah kehancuran PKI dan organisasi afiliasinya, diantarnya adalah Lekra, ideologi humanisme universal menjadi satu-satunya pandangan dalam membangun kebudayaan kontemporer Indonesia di bawah rezim Orde Baru.

Pada saat itu seluruh penulis Lekra ditahan di Pulau Buru atau melarikan diri ke luar negeri, sementara karya-karya mereka dihancurkan dan diberangus.

Sejalan dengan kebijakan Orde Baru untuk melarang karya-karya penulis kiri, para pendukung ideologi humanisme universal juga berupaya untuk memarjinalisasi dengan cara meremehkan pendekatan artistik kiri sebagai seni murahan.

Dengan kata lain, ideologi universal humanism berfungsi sebagai afirmasi terhadap pembentukan wacana anti komunis di dalam bidang kebudayaan Indonesia dengan cara mempromosikan semangat ideal Barat tentang liberalism (Herlambang, 2015:9-10).

Narasi-narasi yang dikembangkan untuk menormalisasi dan melegitimasi kekerasan sekitar tahun 1965-1966, melalui ideologi liberalism (humanism universal), yang dituangkan dalam cerita majalah Horison antara 1966-1970.

Pada masa Orde Baru juga mengembangkan novel dan film legitimasi karya Arswendo Atmowiloto (novel, 1986), dan Arifin C. Noer (1981), dengan judul yang sama Pengkhianatan G30S/PKI.

Kedua karya tersebut menjadi bagian dari usaha pemerintah untuk menyebarkan ideologi anti-komunis.

Sumber:
https://www.kompas.com
https://esi.kemdikbud.go.id
https://id.wikipedia.org

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment