Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra): Pengertian, Latar Belakang, Sejarah, dan Pembubarannya
Pengertian Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan akronim Lekra, adalah sebuah organisasi kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1950 oleh tokoh pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit dan Njoto, bersama dengan penulis M.S. Ashar dan A.S. Dharta. Beberapa tokoh yang terkenal dalam anggota Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Affandi, dan lain-lain.
Baca Juga: D.N. Aidit: Biografi dan Perjalanan Hidupnya
Organisasi kebudayaan ini merupakan respons terhadap kelompok budaya “Gelanggang” yang di awal tahun 1950 menerbitkan sikap kebudayaan mereka dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” sebagai pewaris kebudayaan dunia. Berbeda dengan Seniman Gelanggang, Lekra mengusung konsep kebudayaan kerakyatan.
Kongres Nasional pertama Lekra, yang memilih susunan pengurus, diadakan pada tahun 1959. Pada tahun-tahun 1950-an awal, Lekra telah memiliki 21 cabang. Pada tahun 1963 Lekra tercatat telah memiliki 200 cabang dengan anggotanya mencapai 100.000 orang.
Sejak tahun 1952, Lekra telah secara aktif mengulas berbagai tema kebudayaan di koran Harian Rakjat, koran resmi PKI, dalam “Ruangan Kebudayaan” dan majalah bulanan Zaman Baru yang terbit tahun 1956. Sementara itu penerbitan buku dan pamflet baru dimulai belakangan yaitu pada 1959.
Latar Belakang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra dibentuk oleh DN Aidit, MS Ashar, AS Dharta, dan Nyoto pada 17 Agustus 1950. Organisasi kebudayaan ini memperbolehkan semua seniman, sastrawan, dan pekerja-pekerja kebudayaan, seperti buruh dan tani untuk bergabung bersama.
Pokok dasar terbentuknya Lekra ini adalah untuk memerdekakan rakyat. Artinya, seluruh rakyat harus terpenuhi haknya, baik hak pendidikan, kebebasan berekspresi, dan sebagainya.
Setelah Lekra dibentuk, mereka merilis mukadimah tahun 1956 yang berisi visi dan misi Lekra, yaitu merangkul seniman agar bergabung dan mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis.
Sejarah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Konferensi Pertama Lekra 1959
Tahun 1959, Lekra mengadakan konferensi nasional pertamanya di Surakarta yang turut dihadiri oleh Presiden Soekarno. Dari konferensi tersebut dihasilkan pengesahan Mukadimah Lekra yang mencantumkan peraturan dasarnya sebagai salah satu lembaga kebudayaan.
Pada kongres ini, Lekra berusaha untuk membentuk langkah-langkah serta visi berkesenian dan berkebudayaan, yaitu seni untuk rakyat dan politik adalah panglima. Maksud dari seni untuk rakyat adalah seni bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, melainkan juga setiap insan.
Sedangkan politik adalah panglima berarti setiap karya seni seharusnya menyampaikan aspirasi rakyat, karena, kehidupan rakyat termasuk seni, tidak lepas dari kehidupan politik.
Perkembangan Lekra
Setelah itu, Lekra melebarkan sayapnya ke masyarakat luas. Lekra terbuka untuk para buruh dan tani. Seperti SOBSI dan BTI juga diberi tempat untuk menyampaikan aspirasi dan apresiasinya terhadap kebudayaan.
Kemudian, Lekra juga menerapkan Gerakan 1-5-1 yang merupakan basis dari lima kombinasi kerja, yaitu:
1. Meluas dan meninggi
2. Tinggi mutu dan ideologi
3. Tradisi baik dan kekinian revolusioner
4. Kreativitas individual dan kearifan massa
5. Realisme sosial dan romantik revolusioner
Dalam konsep “meluas meninggi”, meluas maksudnya memperluas kegiatan kesenian kebudayaan seniman Lekra ke berbagai daerah di Indonesia; Meninggi maksudnya peningkatan kualitas seni budaya yang dihasilkan oleh seniman Lekra.
Agar lima kombinasi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan metode turun ke bawah, yaitu turun langsung melihat kondisi masyarakat.
Dari nilai-nilai tersebut, karya-karya seniman Lekra lahir yang disebut realisme-sosialis. Artinya, realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Maksud realisme-sosialis adalah mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme internasional.
Berawal dari sinilah, Lekra kemudian memiliki kedekatan ideologis dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kendati demikian, bukan berarti Lekra dikuasai oleh PKI. Kesepahaman ideologi antara Lekra dan PKI memberikan fasilitas terhadap Lekra itu sendiri.
Karya tulis seniman Lekra kerap dimuat dalam surat kabar Harian Rakjat milik PKI. Sebagai balasannya, Lekra juga memberi dukungan pada setiap acara kebudayaan PKI. Maka dari itu, Lekra dan PKI saling membutuhkan satu sama lain.
Di bidang senirupa, terdapat sejumlah seniman Lekra Indonesia yang menonjol seperti Basuki Resobowo (1916-1999), pelukis dari era revolusi 1945; Sudjojono (1913-1985), pelopor seni rupa modern Indonesia; Henk Ngantung (1921-1991), pelukis dan juga gubernur DKI (1964-1965); dan Hendra Gunawan (1918-1983) pelukis dari era revolusi 1945.
Dalam bidang seni sastra, seniman Lekra yang terkemuka antara lain Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), Utuy Tatang Sontani (1920-1979), S. Rukiah Kertapati (1927-1996).
Dalam bidang film adalah Bachtiar Siagian (1923-2002). Dalam bidang musik adalah Sudharnoto (1925-2000), penggubah lagu mars Garuda Pancasila.
Seniman Lekra dikenal dekat dengan Presiden Soekarno sebagai seorang pencinta seni. Seniman Lekra juga tercatat berpartisipasi dalam kunjungan misi budaya ke Cekoslowakia, Polandia, Hungaria, Uni Soviet, dan Mesir pada bulan Agustus-November 1957.
Pembubaran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Pada tahun 1962, para penulis Lekra dalam kolom budaya di Harian Rakjat dan Bintang Timur terlibat polemik kebudayaan dengan seniman non-Lekra yang menulis dalam Sastra, yang berpendapat sastra harus bebas dari politik. Polemik berikutnya dengan para penandatangan Manifes Kebudayaan tahun 1963.
Baca Juga: Manifesto Kebudayaan: Pengertian, Tokoh, Ciri, Latar Belakang, dan Sejarahnya
Pada 30 September 1965, terjadi peristiwa yang disebut Gerakan 30 September 1965 atau G30S. PKI pun dituduh menjadi dalang dibalik peristiwa tersebut. Akibatnya, PKI harus dituntas habis yang kemudian juga memberikan dampak bagi Lekra.
Semua karya Lekra dilarang oleh pemerintah karena dianggap merongrong kewibawaan pemerintah. Hal ini lantas membuat Lekra masih belum menerima kalau masuk dalam underbow dari PKI. Namun, bukti-bukti dokumen menunjukkan bahwa Lekra termasuk dalam ormas PKI, di mana setiap karyanya menyebutkan antek-antek dari PKI, seperti lagu Genjer-Genjer.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id
https://www.kompas.com
dan dari berbagai sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment