Jugun Ianfu: Sejarah Perbudakan Seks Zaman Pendudukan Jepang

Table of Contents

Apa itu Jugun Ianfu?

Jugun ianfu adalah istilah yang merujuk kepada wanita yang melakukan layanan seksual kepada anggota tentara Jepang selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu merupakan wanita yang menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. 

Baca Juga: Pendudukan Jepang di Indonesia: Sejarah, Perlawanan, dan Dampaknya

Istilah Jugun ianfu dalam beberapa dokumen resmi tentara Jepang adalah Teishintai, berarti barisan sukarela penyumbang tubuh. Sebenarnya, sebagian besar para Jugun Ianfu bukan wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara sukarela. Jepang mengumpulkan perempuan-perempuan dari wilayah jajahan untuk memaksa mereka menjadi jugun ianfu.

Sejarah Jugun Ianfu

Jugun ianfu merupakan salah satu sistem yang dibuat pemerintahan Jepang untuk mengatur tentaranya agar mendapat hiburan yang layak, sehingga meningkatkan moral dan kinerja. Pemerintah Jepang juga berharap, jugun ianfu bisa mengendalikan penyebaran penyakit kelamin di antara para tentara Jepang dan meminimalisir izin istirahat.

Untuk mendukung rencana itu, pemerintah Jepang membangun pusat-pusat hiburan dan menempatkan jugun ianfu di sana. Pusat hiburan ini hampir ada di semua wilayah jajahan Jepang.

Jugun Ianfu sendiri pertama kali dipraktikkan oleh Jepang pada saat melakukan invasi di wilayah Korea. Bala tentara Jepang membutuhkan pelampiasan hasrat seksual, sehingga masyarakat Korea yang telah dikuasai Jepang sejak akhir Abad ke-19 tidak berdaya menolak apa yang diminta oleh pemerintah militer Jepang (Oktorino 2016: 258).

Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, Indo, orang Eropa di beberapa daerah kolonial (Inggris, Belanda, Prancis, Portugis), dan penduduk kepulauan Pasifik.

Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas.

Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, tetapi dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang. Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30% sisanya dari kelompok lain.

Jugun Ianfu di Indonesia

Mekanisme Perekrutan Jugun Ianfu

Ada kesaksian bahwa para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara.

Proses perekrutan Jugun Ianfu di wilayah Indonesia dilakukan dengan melibatkan perangkat pemerintahan bentukan pemerintah militer Jepang, mulai dari kepala desa hingga ketua tonarigumi dilibatkan dan diwajibkan untuk merekrut perempuan muda dengan dalih program pengerahan tenaga kerja (Oktorino, 2016: 262).

Seperti halnya romusha, sebagian perekrutan Jugun Ianfu juga dilakukan dengan paksaan, tipu muslihat, menggunakan kekerasan, dan ancaman untuk memenuhi kebutuhan biologis kalangan militer maupun sipil Jepang. Selain mengancam dan memaksa, mereka  juga mendekati dan mempengaruhi keluarga calon Jugun Ianfu agar mengizinkan anak-anaknya untuk mengikuti rekruitmen tersebut.

Pengerahan Jugun Ianfu dilakukan secara gelap dan di bawah tangan. Hal ini berbeda dengan romusha yang dilakukan secara terbuka (Poesponegoro 1992: 68).

Target perekrutan untuk Jugun Ianfu ialah wanita yang belum bersuami. Mengingat usia menikah masyarakat di pedesaan masih sangat belia pada waktu itu, maka perempuan-perempuan yang dipilih sebagai calon Jugun Ianfu rata-rata berusia 14-15 tahun.

Banyak penduduk yang tidak berani untuk menolak, meskipun sebagian dari mereka mengetahui bahwa perekrutan perempuan-perempuan tersebut ditujukan untuk menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Akan tetapi, mereka tidak berani melakukan perlawanan terhadap pihak yang berkuasa (Oktorino, 2016: 262).

Kondisi Jugun Ianfu

Dari penelitian Upaya Masyarakat Indonesia dalam Memperjuangkan Keadilan Jugun Ianfu Tahun 1997-1997 Universitas Jember, pemerintah Jepang sudah menerapkan praktik jugun ianfu di seluruh kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia pada 1942-1945.

Pada masa itu, Indonesia dalam kondisi yang sangat miskin, hingga masyarakat sulit makan. Awal penjajahan Jepang di Indonesia, kehidupan para jugun ianfu sebenarnya sudah terjamin, mulai dari makanan bergizi, obat-obatan, dan lain-lain.

Pada 1943, persediaan makanan menurun dan menyebabkan pemerintah Jepang melakukan penjatahan yang cukup ketat untuk jugun ianfu Indonesia. Hal ini mengakibatkan penyiksaan terhadap para jugun ianfu, baik secara fisik maupun psikologis.

Diperkirakan ada lebih dari 40 rumah hiburan yang didirikan oleh Jepang di Indonesia, dan perempuan jugun ianfu Indonesia ini dikumpulkan dengan penjagaan militer yang cukup ketat.

Para jugun ianfu harus menunggu tamu dan dipaksa menjadi budak seks. Meski melayani hampir setiap hari, para jugun ianfu tidak pernah dibayar. Banyak tamu yang memperlakukan jugun ianfu dengan kasar dan tidak manusiawi.

Banyak jugun ianfu yang akhirnya sakit baik secara fisik maupun mental. Mereka harus melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit dan menjalani pengobatan. Jika ada jugun ianfu yang hamil, maka mereka harus menggugurkan kandungannya.

Dampak Jugun Ianfu

Pada 1945, seusai Jepang angkat kaki dari Indonesia, mereka melepaskan para jugun ianfu. Ada beberapa yang dikembalikan ke wilayah asalnya masing-masing, namun tidak sedikit pula yang berada jauh dari tempat asal mereka.

Jugun ianfu ditelantarkan dalam keadaan menyedihkan. Terdapat beberapa catatan, yang merangkum banyaknya masalah yang dirasakan oleh para jugun ianfu, yang dikemukakan oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura:
1. Jugun ianfu, memiliki kesehatan yang benar-benar buruk. Hal itu terjadi karena adanya kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami. Sebagian jugun ianfu juga meninggal karena tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai.
2. Trauma berat akibat perbudakan seks yang dilakukan oleh Jepang, yang harus mereka jalani pada usia yang masih benar-benar muda.
3. Adanya tekanan sosial karena masyarakat menganggap mereka bekas pelacur.
4. Tertekan secara psikis.
5. Sebagian besar perempuan jugun ianfu hidup dalam kondisi miskin, karena ditolak bekerja dengan alasan bekas pelacur.

Sumber:
https://esi.kemdikbud.go.id
https://id.wikipedia.org
https://tirto.id
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment