Christiaan Snouck Hurgronje: Sang Orientalis Terkemuka di Dunia
Table of Contents
Biografi Christiaan Snouck Hurgronje
Christiaan Snouck Hurgronje lahir 8 Februari 1857di Oosterhout, Belanda. Christiaan Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana Belanda bidang budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Snouck memiliki nama samaran Haji Abdul Ghafar yang digunakannya saat bergaul dilingkungan muslim. Ia tidak hanya dikenal sebagai orientalis namun juga sebagai penasihat yang cukup berpengaruh bagi pemerintah kolonial Belanda, terutama terkait dengan runtuhnya Kesultanan Aceh Darussalam pada 10 Januari 1903.
Baca Juga: Perang Aceh Melawan Belanda: Sejarah, Penyebab, Terjadinya Perang, dan Akhir Perang
Snouck menjadi mahasiswa teologi kristen di Universitas Leiden pada tahun 1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest' ("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.
Snouck, yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk. Setelah berhasil menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885.
Pada 1889, ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.
Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913). Ia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh.
Kesuksesannya dalam Perang Aceh memberinya kekuasaan dalam membentuk kebijakan pemerintahan kolonial sepanjang sisa keberadaannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 dan melanjutkan karier akademis yang sukses.
Perannya dalam Perang Aceh
Selama di Mekah, pengamatan Snouck tidak sekadar diorientasikan pada ritual keagamaan, tetapi juga masuk lebih jauh lagi pada dimensi sosial, politik, dan budaya yang terkait erat dengan Islam. Dengan terbitnya buku-buku seperti "Mekka in the Latter Part of the 19th Century" (1888) dan "The Achehnese" (1906), Snouck memberikan wawasan yang mendalam dan sering kali menantang prasangka-prasangka yang telah lama ada di Barat terhadap Islam.
Kembali ke Belanda pada tahun 1889, Snouck diangkat sebagai penasehat pemerintah untuk urusan kolonial, khususnya masalah Aceh. Menggunakan ilmu pengetahuannya tentang Islam dan pengalaman selama menetap di Mekkah, ia berperan sebagai arsitek dalam menyusun strategi Belanda untuk menundukkan Aceh.
Tak kurang dari 1.400 jurnal yang ditulisnya menjadi referensi penting bagi pemerintah Belanda dalam menyusun kebijakan dan taktik perang terhadap Kesultanan Aceh yang telah memberikan perlawanan gigih sejak tahun 1873.
Snouck tidak hanya meneliti, tetapi juga turun langsung ke lapangan. Ia mendekati pemimpin dan ulama Aceh, menganjurkan sikap moderat dan negosiasi, yang meski dianggap kontroversial, tetapi strateginya terbukti membawa hasil. Snouck bekerja sama dengan J.B. van Heutsz, seorang jenderal yang dikenal kejam, dalam membujuk pemimpin lokal Aceh untuk tunduk pada Belanda.
Kerjasama dengan Van Heutsz membuahkan hasil. Melalui pendekatan yang terstruktur dan sistematis, Belanda berhasil menguasai Aceh secara bertahap dan mengakhiri perang yang telah memakan waktu lebih dari tiga dekade.
Pada tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah, penguasa terakhir dari Kesultanan Aceh, menyerah dan diasingkan ke Batavia, yang menandai Aceh secara resmi menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh, yang kental dengan semangat perjuangan dan identitas Islam, tidak langsung padam meski telah di bawah cengkeraman kolonial. Perjuangan mereka berlanjut hingga tahun 1914, menandai perlawanan sebagai salah satu yang paling lama dan paling berat bagi Belanda dalam sejarah kolonisasi mereka di Nusantara.
Kembali ke Lingkungan Akademis
Setelah meninggalkan Aceh pada tahun 1906, Snouck kembali ke Belanda dan melanjutkan kariernya sebagai seorang akademisi. Ia diangkat sebagai profesor Orientalisme di Universitas Leiden, posisi yang memungkinkan dia untuk terus berkontribusi pada pemahaman Barat terhadap Islam dan dunia Timur.
Snouck menjadi mahasiswa teologi kristen di Universitas Leiden pada tahun 1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest' ("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.
Snouck, yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk. Setelah berhasil menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885.
Pada 1889, ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.
Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913). Ia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh.
Kesuksesannya dalam Perang Aceh memberinya kekuasaan dalam membentuk kebijakan pemerintahan kolonial sepanjang sisa keberadaannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 dan melanjutkan karier akademis yang sukses.
Perannya dalam Perang Aceh
Selama di Mekah, pengamatan Snouck tidak sekadar diorientasikan pada ritual keagamaan, tetapi juga masuk lebih jauh lagi pada dimensi sosial, politik, dan budaya yang terkait erat dengan Islam. Dengan terbitnya buku-buku seperti "Mekka in the Latter Part of the 19th Century" (1888) dan "The Achehnese" (1906), Snouck memberikan wawasan yang mendalam dan sering kali menantang prasangka-prasangka yang telah lama ada di Barat terhadap Islam.Kembali ke Belanda pada tahun 1889, Snouck diangkat sebagai penasehat pemerintah untuk urusan kolonial, khususnya masalah Aceh. Menggunakan ilmu pengetahuannya tentang Islam dan pengalaman selama menetap di Mekkah, ia berperan sebagai arsitek dalam menyusun strategi Belanda untuk menundukkan Aceh.
Tak kurang dari 1.400 jurnal yang ditulisnya menjadi referensi penting bagi pemerintah Belanda dalam menyusun kebijakan dan taktik perang terhadap Kesultanan Aceh yang telah memberikan perlawanan gigih sejak tahun 1873.
Snouck tidak hanya meneliti, tetapi juga turun langsung ke lapangan. Ia mendekati pemimpin dan ulama Aceh, menganjurkan sikap moderat dan negosiasi, yang meski dianggap kontroversial, tetapi strateginya terbukti membawa hasil. Snouck bekerja sama dengan J.B. van Heutsz, seorang jenderal yang dikenal kejam, dalam membujuk pemimpin lokal Aceh untuk tunduk pada Belanda.
Kerjasama dengan Van Heutsz membuahkan hasil. Melalui pendekatan yang terstruktur dan sistematis, Belanda berhasil menguasai Aceh secara bertahap dan mengakhiri perang yang telah memakan waktu lebih dari tiga dekade.
Pada tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah, penguasa terakhir dari Kesultanan Aceh, menyerah dan diasingkan ke Batavia, yang menandai Aceh secara resmi menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh, yang kental dengan semangat perjuangan dan identitas Islam, tidak langsung padam meski telah di bawah cengkeraman kolonial. Perjuangan mereka berlanjut hingga tahun 1914, menandai perlawanan sebagai salah satu yang paling lama dan paling berat bagi Belanda dalam sejarah kolonisasi mereka di Nusantara.
Kembali ke Lingkungan Akademis
Setelah meninggalkan Aceh pada tahun 1906, Snouck kembali ke Belanda dan melanjutkan kariernya sebagai seorang akademisi. Ia diangkat sebagai profesor Orientalisme di Universitas Leiden, posisi yang memungkinkan dia untuk terus berkontribusi pada pemahaman Barat terhadap Islam dan dunia Timur.Baca Juga: Orientalisme: Pengertian, Sejarah Istilah, dan Sudut Pandangnya
Selama masa ini, Snouck terus menulis dan mempublikasikan karyanya. Buku dan artikelnya banyak dijadikan referensi dalam studi-studi tentang Islam, Aceh, dan Hindia Belanda, menjadikannya salah satu sarjana orientalisme terkemuka di dunia.
Walaupun banyak dari pandangannya yang sekarang dikritik karena perspektif kolonial yang melekat, kontribusinya terhadap kajian keislaman dan etnografi tetap menjadi penting dalam diskursus akademis.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://historia.id
https://hidayatullah.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Selama masa ini, Snouck terus menulis dan mempublikasikan karyanya. Buku dan artikelnya banyak dijadikan referensi dalam studi-studi tentang Islam, Aceh, dan Hindia Belanda, menjadikannya salah satu sarjana orientalisme terkemuka di dunia.
Walaupun banyak dari pandangannya yang sekarang dikritik karena perspektif kolonial yang melekat, kontribusinya terhadap kajian keislaman dan etnografi tetap menjadi penting dalam diskursus akademis.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://historia.id
https://hidayatullah.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment