Amir Sjarifoeddin: Biografi, Peran, dan Akhir Hidupnya
Biografi Amir Sjarifoeddin
Amir Sjarifoeddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907. Amir Syarifuddin adalah seorang politikus dan jurnalis Indonesia. Ia pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia, dikenal sebagai politikus ulung nan licin namun harus dihukum mati karena terlibat pemberontakan di Madiun 1948.
Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948: Sejarah, Latar Belakang, Kronologis, Tujuan, dan Tokohnya
Amir merupakan pejuang, sosok penting dalam sejarah, seperti juga Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir sebelum prahara 1948 di Madiun membuatnya terpinggirkan. Amir terpelajar berkat pendidikan Belanda.
Berbekal intelektualitas Amir kemudian melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda. Dia mendapat tawaran saudaranya, Todung Sutan Gunung (TSG) Mulia, yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad.
Pria yang gemar menghisap tembakau dengan pipa cangklong itu menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Harleem dan aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. Satu di antaranya CSV-op Java yang menjadi cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Amir tak bisa menamatkan pendidikan di Leiden karena masalah keluarga. Pada 1927 ia kembali dan melanjutkan studi dan lulus dari Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta).
Peran dalam Pergerakan Kemerdekaan
Peran Amir di masa pergerakan nasional terbilang penting. Kongres Pemuda II yang menelurkan ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi titik tolak Amir dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Ia turut berperan serta dalam agenda tersebut mewakili Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran Jong Batak. Amir menjadi Bendahara.
Baca Juga: Sumpah Pemuda: Pengertian, Tujuan, Tokoh, Sejarah, Isi, dan Maknanya
Amir sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) Sukarno sebelum menggagas Partai Indonesia (Partindo) seiring PNI dibubarkan. Pada Mei 1937, Amir bersama rekannya seperti Adnan Kapau Gani, Mohammad Yamin, Sanusi Pane, dan lainnya membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah kelompok berpaham kiri yang antifasis.
Dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan yang diangkat dari skripsi Soe Hok Gie, Amir ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1940. Ia diberi pilihan, diasingkan ke Boven Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah melawan fasisme Jepang. Setelah berkonsultasi dengan Gerindo, Amir memilih pilihan kedua.
Amir diberikan 25 ribu gulden oleh Van Der Plass untuk menjaring kekuatan bawah tanah. Dalam pertemuan di Rawamangun, Jakarta, bersama dengan sejumlah tokoh seperti Pamudji (tokoh PKI ilegal), Subekti dan Atmadji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia), Kiai Mustofa, serta Liem Koen Hian, lahir sebuah Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf).
Gerakan bawah tanah itu pada kenyataannya mudah terbongkar oleh Jepang, yang ketika itu sudah mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1943, Amir bersama sejumlah orang di kelompoknya ditangkap. Amir dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang, namun selamat berkat intervensi Sukarno dan Hatta.
Peran dalam Pemerintahan Soekarno
Amir diberikan kepercayaan oleh Sukarno untuk menjadi Menteri Penerangan pada 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946 di Kabinet Presidensial. Pada masa itu, ia mengeluarkan maklumat tentang kebebasan pers.
Kemudian, Amir menjabat Menteri Pertahanan merangkap Wakil Perdana Menteri. Kecakapan dan kecerdasan Amir, menurut Andi, menjadi faktor ia bisa dipercaya untuk mengambil bagian dalam kabinet.
Semasa menjabat Perdana Menteri, Amir disibukkan dengan pelbagai polemik. Satu di antaranya terkait dengan ambisi Belanda yang masih ingin kembali menguasai Indonesia. Peristiwa penting ketika itu adalah Perjanjian Renville pada Januari 1948 yang menjadi latar belakang kejatuhan Amir.
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia. Perjanjian dianggap merugikan bangsa Indonesia karena berdampak pada penarikan pasukan tentara di sejumlah wilayah yang tak mau dilepas Belanda sebelum terbentuk Republik Indonesia Serikat.
Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam. Wilayah Indonesia terkungkung wilayah sengketa yang dikuasai Belanda, sekaligus mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.
Kesepakatan dalam perjanjian tersebut dianggap merugikan kedudukan Indonesia. Banyak pihak termasuk partai-partai pendukung seperti Masyumi dan PNI mengutuk keras Amir selaku ketua delegasi. Sukarno pun meminta Amir meletakkan jabatan.
Akhir Hidup sebagai Komunis
Amir sejak itu memilih jadi oposisi di masa Kabinet Hatta. Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berdiri dengan Amir menjadi salah satu pentolannya menentang keras kabinet Hatta.
FDR merupakan gabungan dari Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh, PKI, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Hampir seluruhnya adalah organ berpaham kiri.
Mereka menuntut agar kesepakatan Renville dibatalkan hingga menghentikan pelbagai perundingan dengan Belanda.
Aksi FDR semakin berkembang seiring kembalinya tokoh PKI, Musso, dari Moskow, Uni Soviet, pada Agustus 1948. Satu bulan berikutnya, Musso membentuk politbiro PKI di mana Amir ditempatkan pada bagian pertahanan.
FDR diubah menjadi PKI. Lalu melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai sejumlah wilayah seperti Madiun, Kediri, Purwodadi, Ponorogo, Blitar, dan Nganjuk. Di Madiun, mereka memproklamasikan 'Soviet Republik Indonesia'.
Pemerintah Indonesia lantas mengambil tindakan tegas dengan menggelar operasi militer dengan sasaran utama yakni Madiun, Purwodadi, dan Pacitan. Operasi militer membuat posisi PKI di Madiun semakin terdesak. Kondisi semakin sulit ketika Musso ditembak mati pada Oktober 1948.
Kelompok Amir hanya dapat bertahan sampai 29 November 1948. Mereka sempat mengembara mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Persembunyian Amir dan beberapa orang lainnya di Desa Klambu, Grobogan, terendus dan pada akhirnya mereka menyerah kepada Pasukan Kala Hitam yang dipimpin Kemal Idris.
Amir sudah susah payah, kurus, dan pincang. Ia menderita disentri. Harry Poeze, dalam bukunya berjudul Madiun 1945, menggambarkan mantan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu saat tertangkap. Pipa cangklong yang biasa tak terpisahkan darinya, absen.
Dia dibawa ke Kudus untuk kemudian berlanjut ke Yogyakarta dengan kereta khusus. Amir sempat diberikan buku Romeo and Juliet karya William Shakespeare oleh Kolonel Soeharto yang bertugas menjaganya.
Sesampainya di Yogyakarta, Amir, Soeripno, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng lalu dibawa ke Solo. Lantas pada tengah malam pada 19 Desember 1948 tepatnya di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, 20 orang penduduk Desa Karangmojo menggali lubang 1,7 meter atas perintah tentara.
Lubang itu disiapkan untuk Amir, Maruto Darusman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.cnnindonesia.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment