Zionisme: Pengertian, Tujuan, dan Sejarahnya

Table of Contents

Pengertian Zionisme
Pengertian Zionisme

Zionisme adalah gerakan nasionalis Yahudi internasional yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di wilayah Palestina. Sementara dikutip dari laman History.com, Zionisme adalah gerakan keagamaan dan politik yang membawa ribuan orang Yahudi dari seluruh dunia kembali ke tanah air kuno mereka di Timur Tengah.

Secara etimologis kata "Zionis" berasal dari kata Ibrani "Zion", yang merupakan salah satu nama panggilan Gunung Sion di Yerusalem seperti yang disebutkan dalam kitab Yesaya, sementara istilah Sion pertama kali disebutkan dalam Perjanjian Lama ketika disajikan kepada Raja David, yang mendirikan kerajaannya 1000–960 SM.

Istilah ini diciptakan oleh filsuf Nathan Birnbaum pada tahun 1890, untuk menggambarkan gerakan Pecinta Sion, dan penunjukan mengadopsi Kongres Zionis pertama pada tahun 1897. Sementara istilah Zionisme juga dinisbahkan kepada sebuah tempat bernama "zion" di Yerusalem yang disebutkan di dalam Kitab Mazmur 9:12.

Dalam ayat ini, Zion dinyatakan sebagai tempat bersemayam bagi Tuhan, sehingga menjadi tempat bermazmur. Zion menjadi tempat untuk mengadakan upacara persembahan kepada Tuhan. Pemilihan tempat ini dilakukan setelah Raja Daud menaklukkan Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibu kota kerajaannya.

Demikian, meskipun filosofi dasar gerakan Zionis sudah ada selama ratusan tahun, Zionisme modern berakar pada akhir abad ke-19. Waktu itu, orang-orang Yahudi di seluruh dunia menghadapi peningkatan anti-Semitisme (sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi).

Beberapa sejarawan meyakini, pemicu gerakan Zionisme karena ketegangan antara Yahudi dan Eropa. Orang-orang Yahudi yang teraniaya kemudian berjuang untuk menyelamatkan identitas. Mereka mulai mempromosikan gagasan untuk kembali ke tanah air dan memulihkan budaya Yahudi.

Salah satu tokoh zionisme adalah Theodor Herzl. Ia merupakan seorang Yahudi Austria yang dianggap sebagai bapak zionisme politik. Akan tetapi, Yoav Litvin, seorang dokter psikologi/sains saraf Israel-Amerika, dalam artikel di Al Jazeera menuliskan, rezim Israel memanfaatkan dinamika kekerasan dan kesenjangan yang diperkuat oleh rasa takut itu.

Zionis, tulisnya, mengambil keuntungan untuk mendukung kelas penguasa yang memiliki hak istimewa dengan mengorbankan rakyat Palestina yang terjajah. Para propagandis Zionis telah mempromosikan kekeliruan anti-Semit bahwa Israel adalah negara Yahudi, yang mewakili Yudaisme dan semua orang Yahudi. Desas-desus mendasar ini adalah akar dari propaganda Zionis, yang menggalang dukungan terhadap kolonialisme pemukim Israel dan menyerang perlawanan anti-kolonial.

Tujuan Zionisme

Tujuan gerakan Zionisme adalah untuk membentuk sebuah negara Yahudi di wilayah Palestina yang kini sebagian besar telah diklaim sebagai wilayah negara Israel. Palestina adalah tanah air yang secara historis, menurut orang-orang Yahudi, dijanjikan untuk mereka. Dalam bukunya yang berjudul Der Judenstaat (Negara Yahudi), sang Bapak Zionisme Theodor Herzl menuliskan bahwa orang-orang Yahudi harus meninggalkan Eropa menuju Palestina.

Sepanjang sejarah, beberapa wilayah di Palestina, Israel, juga Yerusalem, merupakan tempat suci bagi tiga agama, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Tujuan Zionisme pada akhirnya menimbulkan konflik berkepanjangan karena selama berabad-abad, wilayah Palestina telah dihuni oleh mayoritas penduduk Arab, yang meliputi Muslim Arab, Kristen, dan komunitas Yahudi.

Sejarah Zionisme

Gerakan Zionisme berawal pada akhir abad ke-19, ketika orang Yahudi di Eropa Tengah dan Timur mengalami penganiayaan dan diskriminasi yang panjang. Pada saat itu, sebagian orang Yahudi memandang Zionisme sebagai solusi terhadap penindasan yang mereka alami.

Tujuan utama gerakan Zionisme adalah untuk mengembalikan bangsa Yahudi ke tanah Palestina dengan maksud menciptakan negara Yahudi yang bebas dari penganiayaan dan antisemitisme (sikap permusuhan terhadap kaum Yahudi) yang telah terjadi selama berabad-abad.

Menurut laman World History Encyclopedia, orang-orang Yahudi terakhir kali memiliki kedudukan di tanah Palestina selama pemerintahan Kekaisaran Romawi pada masa Dinasti Hasmonean. Namun, setelah pemberontakan Yahudi yang dipimpin oleh Bar Kokhba pada tahun 132-135 M dan mereka dikalahkan oleh Romawi, orang-orang Yahudi diusir dari Palestina.

Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi tersebar di seluruh dunia dalam peristiwa yang dikenal sebagai "Diaspora Yahudi". Istilah ini digunakan untuk merujuk kepada orang Yahudi yang hidup di luar Israel.

Pada akhir abad ke-19, gerakan Zionisme muncul sebagai respons terhadap penganiayaan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh orang Yahudi di berbagai negara. Mereka berharap untuk menciptakan sebuah negara yang aman dan merdeka di tanah Palestina, yang saat itu dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah.

Mengutip buku Mengenal Dunia Perjanjian Baru oleh Jonar T. H. Situmorang, gerakan Zionisme dicanangkan oleh Theodor Herzl, seorang jurnalis Austria-Hongaria yang dianggap sebagai bapak pendiri Zionisme modern. Pada tahun 1897, Herzl mendirikan Kongres Zionis pertama di Basel, Swiss, di mana ia mengajukan gagasan tentang pemukiman orang Yahudi di tanah Palestina.

Setelah Perang Dunia I dan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, Inggris menduduki Palestina. Melalui "Deklarasi Balfour" pada tahun 1917, pemerintah Inggris menyatakan dukungan mereka untuk mendirikan "tanah air nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Deklarasi ini memberikan dasar hukum bagi pendirian negara Israel pada tahun 1948. Pendirian Israel sebagai negara ini menjadi pencapaian utama bagi gerakan Zionisme.

Sejak berdirinya negara Israel, gerakan Zionisme terus berlanjut untuk menguasai Palestina. Gerakan ini menyebabkan konflik berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan dan pengusiran rakyat Palestina dari wilayah mereka.
 
Baca Juga: Peristiwa Nakba: Sejarah, Penyebab, dan Dampaknya

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompas.com
https://tirto.id

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment