Tragedi Talangsari 1989: Sejarah, Latar Belakang, Kronologi, dan Perkembangannya
Table of Contents
Sejarah Peristiwa Talangsari 1989
Tragedi Talangsari 1989 atau Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Dusun Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam.
Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai "orang lokasi" sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.
Para keluarga korban Talangsari hingga saat ini masih menuntut penyelesaian dan pertanggungjawaban kasus ini. Sejumlah aksi demonstrasi kerap digelar oleh keluarga korban dan aktivis HAM.
Latar Belakang Peristiwa Talangsari 1989
Tragedi Talangsari 1989 berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang asas tunggal Pancasila. Prinsip yang diterapkan Soeharto dalam asas ini disebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan pedoman program bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Program P-4 ini banyak menyasar kelompok Islamis yang saat itu bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Akibatnya, aturan ini membuat sekelompok orang di Lampung melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Warsidi.
Kronologi Peristiwa Talangsari 1989
Tragedi Talangsari berawal dari penetapan semua partai politik harus berasaskan Pancasila sesuai dengan usulan pemerintah kepada DPR dalam UU Nomor 3 Tahun 1985.Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat di Indonesia wajib mengusung Pancasila. Hal tersebut juga berlaku untuk ormas keagamaan. Jika tak mengusung asas Pancasila, ormas tersebut dianggap menganut membahayakan negara karena menganut ideologi terlarang.
Hal ini terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah Sungkar. Kelompok Usroh diburu oleh pemerintah Orde Baru. Kelompok ini melarikan diri ke Lampung.
Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian Warsidi, seorang petani sekaligus guru ngaji. Kehadiran kelompok Usroh diterima oleh Warsidi karena memiliki tujuan yang sama, yakni mendirikan kampung kecil untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-sehari.
Pada 1 Februari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Malik bertukar surat dengan Komandan Rayon Militer Way Jepara Kapten Soetiman. Dalam suratnya, Zulkifli menjelaskan informasi yang didapat dari Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega dan Kepala Dusun Talangsari, Sukidi, tentang keberadaan pengajian yang dianggap berkaitan dengan gerakan Islam garis keras.
Kapten Soetiman meminta Kepala Desa untuk mengawasi Warsidi dan kelompoknya. Laporan dari Kepala Desa terkait aktivitas kelompok Warsidi diteruskan ke Kodim Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga.
Mayor Oloan mengirimkan sejumlah anggotanya mengawasi kelompok Warsidi ke Dusun Talangsari. Kedatangan para anggota Kodim menyebabkan bentrokan dengan masyarakat hingga menewaskan Kapten Soetiman.
Pada 7 Februari 1989, sekitar pukul 4 pagi, militer menyerang Talangsari. Penyerangan itu dilakukan di bawah Komando Korem Garuda Hitam 043 yang dipimpin Kolonel Hendropriyono. Penyerangan dilakukan dengan menyasar jamaah pondok pesantren pengajian Warsidi.
Penyerangan dilakukan saat jamaah yang datang dari berbagai daerah bersiap mengadakan pengajian akbar. Dengan posisi tapal kuda, para tentara mengarahkan tembakan secara bertubi-tubi dan melakukan pembakaran pondok rumah panggung.
Diduga ramah panggung tersebut berisi ratusan jamaah yang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu hamil, serta orang tua. Sebanyak 246 jamaah dinyatakan hilang, ratusan orang disiksa, ditangkap, ditahan, dan diadili secara semena-mena.
Pasca peristiwa itu, Talangsari ditutup untuk umum dengan penguasaan tanah berada di bawah Korem Garuda Hitam.
Perkembangan Peristiwa Talangsari 1989
Menurut KontraS, hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan sejak pembentukan tim khusus penyelesaian Peristiwa Talangsari pada 2011. Saat itu anggota tim terdiri dari; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Kejaksaan Agung; Komnas HAM; Kementerian Pertahanan; TNI; Polri; dan instansi pemerintah lainnya.Pada 27 April 2021, terdapat pertemuan yang dilakukan oleh Tim Balitbang Kemenkumham dan Korban Peristiwa Talangsari. Namun, pertemuan ini dikecam Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) dan KontraS karena dilakukan tanpa berkoordinasi ataupun mengundang Paguyuban secara layak.
Upaya Pemerintah Menangani Kasus Talangsari 1989
Pemerintah perlu memperhatikan korban, masyarakat maupun keluarga korban karna mereka ingin mendapatkan keadilan HAM yang telah dirampas oleh aparat sipil. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI harus melanjutkan proses peradilan dan mengabaikan Deklarasi Damai yang dilakukan sebelumnya. Penyelesaian hukum harus dilakukan melalui jalur hukum yang sesuai dan menghasilkan hukuman yang sesuai untuk pelaku pelanggaran HAM berat. Selain itu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus meningkatkan pengawasan dan pengawasan terhadap pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Talangsari, untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.cnnindonesia.com
https://www.kompas.com
Download
Post a Comment