Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984: Sejarah, Kronologi dan Pasca Kerusuhan

Table of Contents

Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984
Sejarah Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Peristiwa Tanjung Priok yang merupakan kasus bentrok antara militer dan masyarakat Tanjung Priok ini dianggap sebagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa Orde Baru.

Dalam peristiwa itu, sebanyak 24 orang tewas dan 55 korban lainnya luka-luka. Sementara itu, menurut investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) jumlah korban tewas mencapai 400 orang. Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur jelas dan tanpa surat perintah dari atasan.

Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984

Berikut kronologi Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984

Kritik terhadap Orde Baru

Peristiwa pelanggaran HAM tersebut dapat ditarik dari upaya-upaya penceramah di masjid dan musala di kawasan Tanjung Priok, yang kerap mengkritik Orde Baru. Para penceramah ini mengkritik berbagai kebijakan seperti penerapan asas tunggal Pancasila, pelarangan ceramah tanpa izin, pelarangan mengenakan kerudung bagi siswi SMA, dan sebagainya.

Di samping itu, juga ada muatan politik secara spesifik yang melatarbelakanginya, semisal pengkerdilan partai Islam dan organisasi Islam lainnya. Hal inilah yang kemudian mengundang datangnya orang-orang berlatar belakang militer ke kawasan tersebut dan mulai menertibkan Masjid dan mushala, khususnya Mushala As-Sa'adah.

7 September 1984

Seorang anggota Babinsa mendatangi Mushala As-Sa'adah dan meminta untuk mencopot pamflet jadwal pengajian yang juga berisi tulisan tentang problem Islam masa Orde Baru. Tindakan seorang Babinsa itu tentunya melahirkan kemarahan masyarakat yang hadir dalam peristiwa tersebut. Tidak cukup pelepasan pamflet, ketegangan masih berlanjut di keesokan harinya.

8 September 1984

Keesokan harinya, seorang oknum ABRI bernama Sertu Hermanu mendatangi Mushola As-Sa'adah dan meminta pengurus mushala itu menyerahkan pamflet yang dilepas kemarin. Dalam aksi tersebut, ia tidak saja menyita pamflet, tetapi juga menyinggung perasaan rakyat muslim karena memasuki mushala tanpa melepas sepatu dan bahkan menyiramkan air got ke dinding Mushala As-Sa'adah dan menginjak-injak Al-Quran

Kabar ini membuat warga berang dan berkumpul di masjid. Pengurus Masjid Baitul Makmur, Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman, dan Ahmad Sahi mencoba menenangkan warga. Namun, warga yang emosi membakar sepeda motor petugas Babinsa. Alhasil, Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan warga yang diduga membakar motor yakni Muhammad Nur ditangkap aparat.

10 September 1984

Dua hari setelah peristiwa Sertu Hermanu, beberapa jamaah Mushola As-Sa'adah berpapasan dengan salah satu petugas koramil rekan Sertu Hermanu dan terjadi adu mulut. Adu mulut ini kemudian ditengahi oleh dua orang takmir Masjid Baitul Makmur. Mereka lantas diajak merundingkan masalah di sekretariat masjid.

Perundingan untuk segera menyelesaikan masalah tersebut ternyata tidak kunjung membaik karena prajurit ABRI itu menolak menganggap masalahnya selesai. Di samping itu, massa telah berkumpul dan mendengar percakapan di dalam sekretariat dan turut kehilangan kesabaran dan membakar sebuah motor milik seorang marinir.

Atas pembakaran tersebut, kedua takmir masjid yang menengahi adu mulut tadi ditangkap bersama dua orang lainnya. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk membebaskan keempat orang yang ditahan itu, tetapi hasilnya sia-sia.

11 September 1984

Keesokan harinya, pada 11 September, warga meminta bantuan tokoh masyarakat setempat yakni Amir Biki untuk menyelesaikan permasalahan ini. Amir Biki dan sejumlah warga mendatangi Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara. Mereka meminta agar jemaah dan pengurus masjid dilepaskan. Permintaan ini tak ditanggapi.

12 September 1984

Amir Biki pun mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-Jakarta untuk membahas masalah tersebut. Dalam ceramahnya, Amir memberi ultimatum kepada aparat untuk melepaskan keempat jamaah yang ditahan dan segera diantar ke mimbar sebelum pukul 23.00 WIB. Jika tak dituruti, Amir dan massa akan mendatangi Kodim.

Tuntutan itu tak juga dipenuhi. Amir pun membagi massa menjadi dua kelompok untuk bergerak menuju Kodim dan Polsek. Kedatangan massa mendapat hadangan aparat militer bersenjata lengkap. Massa pun langsung menuntut pembebasan. Situasi semakin memanas dan aparat pun melancarkan sejumlah tembakan.

Korban jiwa pun berjatuhan. Laporan KontraS, sejumlah warga disekap dan siksa oleh aparat. Sementara itu, lokasi penembakan langsung dibersihkan sehingga tak terdapat tanda-tanda kerusuhan.

Setelah penembakan, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno bersama Pangkopkamtib Jenderal TNI LB Moerdani dan Menteri Penerangan Harmoko memberikan pernyataannya terkait peristiwa berdarah di Tanjung Priok.

Pemerintah Orde Baru menyatakan bahwa Peristiwa Tanjung Priok merupakan hasil rekayasa orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik. Namun, menurut KontraS, pemaparan jumlah korban yang disampaikan dan kesaksian para saksi berbeda.

Penyelesaian masalah ini berlangsung lama. Sejumlah islah dilakukan pada tahun 2001. Sejumlah persidangan dilakukan pada tahun 2003.  

Itulah sejarah peristiwa Tanjung Priok atau tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984.

Beberapa Hari Setelah Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984

Tragedi Tanjung Priok, merupakan salah satu tragedi yang menggemparkan Indonesia pada tahun 1984. Tragedi yang telah memakan banyak korban ini memiliki proses panjang dalam upaya penyelesaiannya.

Sebagai salah satu peristiwa bersejarah pada awal pemerintahan masa Orde Baru, peristiwa ini tentu menjadi pusat perhatian dan pandangan pers. Pada tanggal 14 September 1984, pada surat kabar Merdeka dan Kompas menurunkan berita utama terkait peristiwa Tanjung Priok.

Surat kabar Merdeka menurunkan berita utama dengan judul “Situasi Tanjung Priok Berhasil Dikendalikan: Masyarakat Diminta Tenang”. Berita utama yang disampaikan juga hampir sama dengan yang diberitakan Kompas. (INSAN CITA, 2017)

Beberapa saat setelah peristiwa, para tokoh yang sebelumnya ditahan mulai diadili oleh aparat keamanan. Ahmad Sahi, dituduh memberikan pernyataan palsu terkait Sersan Hermanu yang memasuki Mushola tanpa melepas sepatu.

Syarifudin Sambe dan Sofyan Suleman dituduh melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan. Dan Muhammad Nur dituduh membakar motor petugas. (KOMPASPEDIA, 2021)

Keempat orang ini kemudian dijatuhi hukuman penjara berdasarkan pasal-pasal KUHP. Ahmad Sahi dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, Syarifudin Sambe dan Sofyan Suleman masing-masing dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara, serta Muhammad Nur dijatuhi hukuman 18 bulan penjara.

Selain keempat tokoh ini, ada banyak pula aktivis lain yang ditahan setelah malam kericuhan sebanyak 28 orang. Masing-masing dari mereka kemudian dijatuhi hukuman 1-3 tahun kurungan penjara.

Tak hanya itu, para penceramah yang hadir pada malam tabligh akbar di Tanjung Priok pada malam sebelum kerusuhan juga dipanggil untuk melakukan persidangan.

Sumber:
https://www.kompas.com/
https://www.cnnindonesia.co
https://imm-fikes.unisayogya.ac.id

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment