Perang Jagaraga: Sejarah, Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Nilai Keteladanannya

Table of Contents

Sejarah Perang Jagaraga
Sejarah Perang Jagaraga

Perang Jagaraga atau Perang Bali II terjadi pada tahun 1848. Perang ini dilakukan Patih Jelantik bersama rakyat Buleleng melawan Belanda di Bali. Perang Jagaraga merupakan kelanjutan Perang Bali I, di mana pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan Hak Tawan Karang yang berlaku.

Perang Jagaraga merupakan salah satu perlawanan paling heroik terhadap penjajahan Belanda di Bali. Meskipun mengalami kekalahan dalam perang kedua, semangat dan keberanian para prajurit Jagaraga, dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan Jro Jempiring, tetap dikenang sebagai simbol patriotisme.

Tokoh Perang Jagaraga

1. I Gusti Ngurah Made Karangasem: Raja Buleleng yang memimpin perlawanan terhadap Belanda.
2. I Gusti Ketut Jelantik: Maha Patih yang berperan strategis dalam perang dan pertahanan Jagaraga.
3. Jro Jempiring: Pemimpin prajurit yang berperan penting dalam strategi perang dan mempertahankan Jagaraga hingga akhir.
4. Jenderal Michiels: Pemimpin pasukan Belanda dalam serangan kedua ke Jagaraga.
5. Letkol C.A. de Brauw: Pemimpin divisi Belanda yang melakukan serangan langsung ke benteng Jagaraga.

Penyebab Perang Jagaraga

Perang Jagaraga yang terjadi pada 1848 hingga 1849 dipicu oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem, dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik terhadap perjanjian perdamaian yang dihasilkan dari Perang Buleleng pada 1846. Isi perjanjian tersebut antara lain:
1. Kedua kerajaan harus mengakui kekuasaan Pemerintah Belanda dan mengakui Raja Belanda sebagai penguasa mereka.
2. Mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan bangsa Eropa lainnya.
3. Selain itu, mereka harus segera menghapus peraturan Tawan Karang.
4. Kedua kerajaan juga diwajibkan membayar biaya perang sebesar 300.000 Gulden, dengan pembagian 2/3 dibebankan kepada Raja Buleleng dan 1/3 kepada Raja Karangasem, yang harus dilunasi dalam jangka waktu 10 tahun.

Kronologi Perang Jagaraga

Setelah Perang Buleleng (Perang Bali I) selesai, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik, pimpinan pasukan dan para prajurit memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga. Pilihan pemindahan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga, karena desa tersebut memiliki beberapa kelebihan di antaranya,
1. Medannya berbukit, banyak jurang untuk melaksanakan serangan mendadak.
2. Jalan penghubung hanya ada satu, yakni melalui Desa Sangsit, sehingga musuh mudah diintai.
3. Jarak Jagaraga Pabean relatif pendek, sehingga mudah mengetahui pergerakan Belanda.
4. Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga memiliki naluri perang.

Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Made Karangasem (Raja Buleleng), dengan dibantu oleh Jro Jempiring sudah menyusun strategi perang dalam kurun waktu 1846-1848.
1. Menyusun benteng pertahanan di sekitar Jagaraga.
2. Melatih teknik berperang untuk prajurit-prajurit Buleleng dan Jagaraga.
3. Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang dan menggunakan rumah mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik perang.
4. Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali, seperti Raja Karangasem, Raja Gianyar, Raja Klungkung, Raja Mengwi, dan Raja Jembrana beserta dengan persenjataannya.
5. Strategi perang yang digunakan adalah Supit Surang Makara Wyuhana, yaitu strategi perang yang digunakan oleh Prabu Yudhistira dalam cerita Bharata Yudha.
6. Di belakang tembok benteng menjadi pusat markas dan komando I Gusti Ketut Jelantik berdiri Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.

Belanda tidak pernah merasakan kenyamanan dan keamanan selama menguasai Buleleng. Karena, I Gusti Ketut Jelantik selalu membuat huru-hara di sekitar Buleleng dan Pabean. Mereka merampok kapal-kapal Belanda di Pelabuhan Pabean, memboikot penjualan bahan makanan kepada serdadu Belanda, dan melanggar semua perjanjian yang disepakati pada perang Buleleng

Perang Jagaraga Pertama

Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda melakukan penyerbuan melalui Pelabuhan Sangsit dengan kekuatan 22 kapal perang yang dilengkapi meriam. Dalam aksi ini, sebanyak 250 serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda pada Perang Jagaraga pertama.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring dalam Perang Jagaraga pertama di antaranya,
1. Adanya jiwa patriotisme prajurit Jagaraga bersama sekutunya yang sangat tinggi.
2. Menaati perintah perang I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring
3. Melakukan serangan terpadu dengan tangguh dan kuat.
4. Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang diletakkan di benteng utama.
5. Siasat perang berjalan sesuai rencana, di mana dapat menggiring pasukan Belanda masuk perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
6. Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya.
7. Belanda tidak mengenal medan pertempuran Jagaraga.
8. Belanda tidak mampu melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia maupun Eropa.

Perang Jagaraga Kedua

Setelah kemenangan Perang Jagaraga pertama, I Gusti Ketut Jelantik menyadari bahwa Belanda akan melakukan serangan balasan. Untuk itu, I Gusti Ketut Jelantik dan Jro Jempiring selalu membakar semangat patriotirme para prajurit dan melakukan latihan perang bersama prajurit dan sekutu-sekutunya.

Upaya lain adalah meningkatkan logistik dan peralatan perang dan selalu waspada jika terjadi serangan musuh yang sifatnya mendadak.

Sementara di Batavia, pada April 1849, Pemerintah Belanda melakukan persiapan kedua untuk menggempur prajurit Jagaraga. Pemimpin Perang Jagaraga kedua Pemerintah Hindia Belanda adalah Jenderal Michiels dan Letkol CA de Brauw dengan kekuatan 60 kapal dan senjata modern lengkap.

Sebelum perang, mereka mengirim pasukan khusus untuk mempelajari sistem strategi perang yang digunakan I Gusti Ketut Jelantik. Jenderal Michiels juga mencari petunjuk jalan untuk melakukan gerakan memutar ke belakang lambung sebelah barat benteng pertahanan utama Jagaraga.

Strategi yang tidak pernah disadari oleh I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring. Pada tanggal 14 April 1849, armada Belanda sudah mendarat di Pelabuhan Pabean dan Pelabuhan Sangsit untuk melakukan serangan dari dua arah.

Mengetahui kedatangan Belanda, I Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya menuju Pelabuhan Pabean untuk melakukan perdamaian dengan Belanda. Namun utusan Jenderal Michiels menolak permintaan I Gusti Ketut Jelantik.

Hal tersebut dilakukan karena pihak Belanda mengetahui itu siasat dan taktik I Gusti Ketut Jelantik untuk mengulur waktu agar dapat berkonsolidasi dan meminta bantuan pasukan kepada raja-raja Bali.

Saat, I Gusti Ketut Jelantik bersama Raja Buleleng serta pasukannya pulang menuju Desa Jagaraga, ternyata benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-habisan oleh Belanda di bawah pimpinan Letkol CA de Brauw.

I Gusti Ketut Jelantik dengan Raja Buleleng lari ke Karangasem bermaksud meminta bantuan pasukan Raja Karangasem, namun di tengah perjalanan mereka diserang secara mendadak dan gugur.

Pertempuran Jagaraga kemudian dipimpin Jro Jempiring yang dibantu sejumlah prajurit, yaitu pimpinan prajurit Jembrana (Pan Kelab), pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman Munggu, pimpinan prajurit gabungan Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri Satria.

Jro Jempiring sudah menginstruksikan perang Puputan dengan mengendus dua buah keris. Dalam pertempuran itu, tidak ada satupun pasukan Jagaraga yang mundur atau melarikan diri.

Hasil pertempuran ini, semua pasukan Jagaraga gugur dan Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 April 1849. Sejak saat itu, Belanda berhasil menguasai Bali Utara

Adapun kekalahan dalam Perang Jagaraga kedua disebabkan oleh beberapa faktor berikut di antaranya,
1. Ketidaksetaraan dalam persenjataan.
2. Kurangnya pembinaan terhadap penduduk pesisir yang berpotensi menjadi mata-mata Belanda.
3. Terpancingnya Patih Jelantik keluar dari benteng.
4. Kegagalan mengubah sistem pertahanan dan penyerangan.
5. Keberhasilan Belanda memecah pasukan I Gusti Ketut Jelantik.

Nilai Keteladanan Perang Jagaraga

Terdapat beberapa nilai keteladanan yang bisa dipetik dari Perang Jagaraga dan Perang Puputan di antaranya,
1. Cinta Tanah Air
Perang Jagaraga terjadi karena Raja Buleleng dan Raja Karangasem saat itu menolak kesepakatan dengan Belanda yang salah satunya adalah mengakui Raja Belanda sebagai pemimpin. Masyarakat Bali berusaha keras untuk mempertahankan wilayah mereka sebagai bagian dari Indonesia dengan seluruh semangat yang berkobar.

2. Kesatuan dan Persatuan
Perang Jagaraga diikuti oleh semua masyarakat tanpa terkecuali, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, juga dari semua kasta, termasuk keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa Perang Jagaraga mampu menyatukan seluruh masyarakat Bali dalam usaha mempertahankan kedaulatan Indonesia tanpa pandang bulu.

3. Semangat Juang
Perang Jagaraga di Bali termasuk dalam puputan. Puputan dalam bahasa Bali sendiri berarti habis-habisan yang berarti perang atau perlawanan habis-habisan hingga titik darah terakhir. Meskipun masyarakat Bali saat itu memiliki persenjataan yang tidak memadai dibandingkan tentara Belanda, tetapi mereka terus berjuang untuk melawan.

4. Rela Berkorban
Puputan bukan usaha masyarakat Bali untuk meraih sebuah kemenangan dalam perang, tetapi untuk menyambut kematian oleh musuh hingga habis tidak tersisa.

5. Pemimpin Strategis
Patih Jelantik sebagai sosok yang memimpin perang memiliki kemampuan untuk menyusun rencana yang rapi, terlepas dari kurangnya sarana dan prasarana saat itu.

Bahkan, Patih Jelantik berhasil mengalahkan Belanda pada perang pertama setelah berhasil melakukan strategi, seperti membuat benteng pertahanan, melatih prajurit, membakar semangat, dan meminta bantuan Raja-Raja Bali dalam persenjataan.

Sumber:
https://www.detik.com
https://denpasar.kompas.com
https://kumparan.com

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment