Perang Diponegoro (Perang Jawa): Sejarah, Penyebab, Kronologi, dan Dampaknya

Table of Contents

Sejarah Perang Diponegoro atau Perang Jawa
Sejarah Perang Diponegoro (Perang Jawa)

Perang Diponegoro (Perang Jawa) adalah perang besar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa. Perang ini melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Perang Diponegoro disebut sebagai salah satu bagian perubahan yang besar di dunia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sejarah mencatat bahwa Perang Diponegoro telah menewaskan ratusan ribu rakyat Jawa dan puluhan ribu serdadu Belanda.

Perang Diponegoro juga menjadi satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Indonesia.

Penyebab Perang Diponegoro (Perang Jawa)

Perang Diponegoro adalah peperangan yang terjadi di Jawa Tengah serta sebagian Jawa Timur. Perang ini tergolong sebagai peperangan besar. Bahkan, hampir meruntuhkan kekuasaan Belanda. Adapun beberapa penyebab Perang Diponegoro di antaranya,
1. Perasaan tidak Puas Kaum Bangsawan
Salah satu penyebab Perang Diponegoro adalah perasaan tidak puas kaum bangsawan di Kesultanan Yogyakarta. Hal itu dipicu oleh beberapa faktor, seperti Belanda yang melarang kaum bangsawan untuk menyewakan lahan ke pengusaha swasta sebagai perkebunan. Sebab, perkebunan tersebut dianggap sebagai saingan dari milik Belanda.

Di samping itu, pihak kerajaan juga tidak puas terhadap Belanda yang merampas wilayah Kesultanan Yogyakarta, yakni daerah Semarang dan Pekalongan, keikutcampuran Belanda terhadap masalah kerajaan, hingga terdesaknya kekuasaan kerajaan oleh Belanda.

2. Kekecewaan Ulama Islam
Penyebab Perang Diponegoro berikutnya adalah kekecewaan kaum ulama Islam akibat penyebaran budaya barat yang justru bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, ajaran Islam adalah salah satu bentuk pendidikan moral bagi para ulama.

3. Penderitaan Rakyat
Penyebab Perang Diponegoro selanjutnya adalah penderitaan rakyat karena kebijakan penjajah. Misalnya pemungutan pajak dan kerja paksa.

4. Pelebaran Jalan melalui Makam Leluhur Pangeran Diponegoro
Penyebab Perang Diponegoro yang terakhir adalah rencana Belanda untuk pelebaran dan penyambungan jalan yang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa meminta izin.

Ketika Belanda hendak memasang pancang-pancang, akhirnya dicabut oleh Pangeran Diponegoro. Hal ini memicu penyerangan ke rumah Pangeran Diponegoro pada 20 Juli 1825.

Kronologi Perang Diponegoro (Perang Jawa)

Diponegoro Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun yaitu dari tahun 1825 hingga tahun 1830. Hal ini bermula dari peristiwa pada 20 Juli 1825, di mana pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.

Saat itu Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, namun kediamannya di Tegalrejo habis dibakar. Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke Gua Selarong di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya.

Perang Diponegoro melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang. Kaum pribumi terlibat dengan berbekal semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang berarti "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.

Dalam perjuangan ini, Pangeran Diponegoro tidak sendiri, namun dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Hanya dalam waktu tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro sudah bisa melakukan penyerangan dan berhasil menduduki keraton Yogyakarta. Keberhasilan ini disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal berkobarnya Perang Diponegoro.

Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan Pangeran Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.

Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya dan perang atrisi (penjemuan). Pada puncak peperangan di tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu yang menjadi suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Bagi Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang berlangsung dengan sengit. Di tahun yang sama, pasukan Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.

Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada Belanda. Bahkan pada 21 September 1829, Belanda sempat membuat sayembara dengan hadiah hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan bagi siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati.

Pada 16 Februari 1830, memperhatikan posisinya yang lemah akhirnya Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens. Pada 20 Februari 1830, pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.

Walau pertemuan dengan Jenderal De Kock terjadi beberapa kali, namun mata-mata yang ditanamkan di kesatuan Diponegoro melaporkan bahwa Pangeran Diponegoro tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan Akhirnya pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan penangkapan Diponegoro.

Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pada akhirnya, setelah pengkhianatan tersebut Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan. Penyerahan diri Pangeran Diponegoro pun menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1830.

Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Gedung Karesidenan Semarang yang berada di Ungaran, sebelum dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di stadhuis (Gedung Museum Fatahillah).

Dari Batavia, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada 30 April 1830 dan tiba pada 3 Mei 1830 untuk kemudian ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar dan terus diasingkan hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Dampak Perang Diponegoro (Perang Jawa)

Perang Jawa yang terjadi selama lima tahun ini telah menelan korban tewas sebanyak 200 ribu jiwa penduduk Jawa. Sementara korban tewas di pihak Belanda diperkirakan berjumlah 8 ribu tentara Belanda dan 7 ribu serdadu pribumi.

Perang Diponegoro menghabiskan banyak sekali uang pihak penjajah Belanda membuat Pemerintah Hindia Belanda semakin gencar untuk ‘mengembalikan kestabilan’ keuangan mereka. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan merampas lahan dan memaksa rakyat Nusantara untuk melakukan tanam paksa (Cultuurstelsel).

Tanam paksa terjadi sejak tahun 1830 sampai tahun 1870. Tentu saja, kebijakan ini meningkatkan penderitaan rakyat Nusantara sampai berlipat-lipat.

Selain itu, Perang Diponegoro merupakan perang terakhir yang dipimpin oleh kaum bangsawan. Usaha Diponegoro secara tersirat terlihat sia-sia pada saat itu, karena ia takluk dan tidak berhasil mengembalikan Mataram sebelum dikuasai oleh pemerintah Belanda.

Setelah perang ini selesai, Belanda semakin ‘unjuk gigi’ dengan tunduknya banyak kaum bangsawan terhadap pemerintahan kolonial. Butuh waktu puluhan tahun hingga kaum terpelajar dan cendekiawan bermunculan, sehingga mulai timbul kesadaran akan kemerdekaan yang harus diraih.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://regional.kompas.com
https://kumparan.com

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment