Perang Aceh Melawan Belanda: Sejarah, Penyebab, Terjadinya Perang, dan Akhir Perang

Table of Contents

Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda
Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda

Perang Aceh adalah salah satu bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1873-1912. Perang Aceh dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada masa awal tahun 1873.

Sejarah perang Aceh menjadi peperangan yang paling lama dan besar yang pernah dilakukan bangsa Indonesia. Bahkan setelah Kesultanan Aceh menyatakan menyerah pada 1904, perlawanan secara gerilya dan acak masih dilakukan oleh rakyat Aceh sehingga total waktu peperangan sebenarnya memakan waktu 69 tahun sejak 1873 – 1942.

Penyebab Perang Aceh Melawan Belanda

Pada tahun 1824 Belanda dan Britania Raya mengadakan perjanjian London mengenai batas – batas kekuasaan di Asia Tenggara mengacu pada garis lintang Singapura. Kedua negara tersebut mengakui kedaulatan Aceh dalam perjanjian.

Namun pada 1858 Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal semua daerah tersebut telah menjadi wilayah kekuasaan Aceh sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa.

Aceh kemudian menuduh Belanda tidak menepati janji sehingga menenggelamkan kapal – kapal Belanda yang lewat perairan wilayah Aceh. Perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan sejak dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps.

Kemudian perjanjian London 1871 kembali disepakati antara Inggris dan Belanda. Isi perjanjian tersebut bahwa Britania tidak keberatan pada tindakan Belanda untuk memperluas dominasinya di Sumatera dan membatalkan perjanjian tahun 1824.

Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas di Selat Malaka, dan mengizinkan Britania bebas untuk berdagang di Siak, juga menyerahkan wilayah Guyana Barat kepada Britania. Aceh kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura, dan mengirim utusan ke Turki Utsmani pada 1871.

Kegiatan diplomatik Aceh tersebut justru dijadikan alasan bagi Belanda untuk melakukan penyerangan ke Aceh. Walaupun Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen datang ke Aceh dengan membawa dua kapal perang, Sultan Mahmud Syah menolak menghentikan usaha diplomatiknya sehingga memicu pernyataan perang yang pada akhirnya menjadi penyebab perang Aceh dari Nieuwenhuijzen.

Terjadinya Perang Aceh Melawan Belanda

Perang Aceh terjadi dalam beberapa fase di antaranya,
1. Perang Aceh Pertama (1873–1874)
Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873 (Edouard Vermorcken, 1820-1906/Public domain 100 years or fewer).

Perang Aceh pertama dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3.000 serdadunya dapat dipatahkan. Dia sendiri tewas pada 14 April 1873.

Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di berbagai tempat, yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada juga perang di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.

Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

2. Perang Aceh Kedua (1874–1880)
Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874 dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada 26 Januari 1874, Tuanku Muhammad Dawood dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal. Pemerintahan saat itu masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

3. Perang Aceh Ketiga (1881–1896)
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Pasukan Aceh dalam perang gerilya ini berada di bawah pimpinan Teuku Umar bersama Panglima Polim.

Pada 1899, Teuku Umar gugur ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh. Namun, Cut Nyak Dhien kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

4. Perang Aceh Keempat (1896–1910)
Perang ini adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, pengadangan, dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan kesultanan. Tahun 1910–1915 menjadi akhir dari perang besar, tetapi perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlanjut hingga 1942 di beberapa tempat yang dilakukan oleh sekelompok pejuang.

Akhir Perang Aceh Melawan Belanda

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje diutus oleh Belanda untuk menyusup ke masyarakat Aceh dan menyamar selama 2 tahun. Sebelumnya ia diharuskan mempelajari tentang Islam selama beberapa waktu sehingga fasih berbahasa Arab. Hasil pengamatannya ia gunakan untuk memberi rekomendasi kepada pasukan Belanda mengenai bagaimana cara mengalahkan rakyat Aceh.

Ia mengusulkan kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz (1898 – 1904) agar Sultan dan pengikutnya yang berkedudukan di Keumala diabaikan dulu dan memfokuskan siasat dengan menyerang kaum ulama.

Ia juga mengatakan agar jangan berunding dengan para pemimpin gerilya, mendirikan pangkalan di Aceh Raya, dan menunjukkan niat baik dengan mendirikan mushala, langgar, masjid, memperbaiki sistem pengairan, dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Usulan ini diterima oleh Van Heutz yang mengangkat Snouck sebagai penasihatnya.

Van Heutz meniru taktik perang rakyat Aceh secara gerilya dan pasukan Marechaussee pimpinan Hans Christoffel hingga mereka menguasai pegunungan dan hutan rimba raya Aceh selagi mencari para gerilyawan Aceh. Berikutnya Belanda menculik salah satu anggota keluarga pejuang Aceh, seperti penculikan permaisuri Sultan dan Tengku Putroe pada 1902.

Putera Sultan Tuanku Ibrahim ditawan oleh Van der Maaten hingga Sultan menyerah pada 5 Januari 1902. Belanda juga menangkap putra Panglima Polim, Cut Po Radeu, dan beberapa keluarga terdekat Panglima Polim sampai menyerah pada Desember 1903. Setelah itu, banyak para pemimpin rakyat yang ikut menyerah.

Taktik Belanda yang paling kejam dalam sejarah perang Aceh terjadi ketika dilakukan pembunuhan rakyat Aceh yang dipimpin Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, pengganti Van Heutz. Terjadi pembunuhan terhadap 2.922 orang di Kuta Reh dengan rincian 1.773 lelaki dan 1.149 wanita.

Cut Nyak Dhien juga berhasil ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Van Heutz sebelumnya telah menyiapkan traktat pendek yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang menyerah.

Dalam perjanjian tersebut, Sultan Aceh mengakui bahwa daerahnya menjadi bagian dari Hindia Belanda, tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan lain di luar negeri, mematuhi seluruh perintah Belanda. Sultan Muhammad Dawood Syah kemudian diasingkan ke Batavia dan meninggal 6 Februari 1939, dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Sejarah perang Aceh melawan Belanda menurut sejumlah sumber berlangsung hingga tahun 1904, yaitu hingga runtuhnya sejarah kerajaan Aceh. Namun berbagai perlawanan masih tetap dilakukan rakyat Aceh secara kelompok dan perorangan hingga menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia.

Sumber:
https://www.gramedia.com
https://www.cnnindonesia.com
dan sumber lain yang relevan

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment