Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera): Sejarah, Latar Belakang, Proses, Hasil, dan Kontroversinya

Table of Contents

Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera
Apa itu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)?

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah jejak pendapat yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia di Papua di bawah pengawasan United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) pada pertengahan tahun 1969, sebagai implementasi dari salah satu hasil Perjanjian New York antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962.

Peristiwa tersebut sangat penting artinya bagi Indonesia, karena dengan hasil Pepera ini secara resmi Papua Barat kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Republik Indonesia.

Latar Belakang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat berkaitan erat dengan tidak tuntasnya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda pasca-proklamasi kemerdekaan.

Secara umum konflik antara kedua negara memang telah berhasil diselesaikan melalui Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang menyepakati tentang penyerahan kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Akan tetapi, masih terdapat satu masalah yang tidak berhasil disepakati saat itu, yaitu mengenai penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia.

Karena itu, berkenaan dengan masalah pengembalian Irian Barat ini dicapai suatu kompromi sebagai mana terdapat pada pasal 2 ayat 1 Piagam Penyerahan Kedaulatan yang isinya mengatakan bahwa masalah Irian Barat (Nieuw-Guinea) akan diselesaikan dalam waktu setahun setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat melalui jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda (Hasil-hasil Konferensi Medja Bundar : 9).

Janji pemerintah Belanda tersebut tidak pernah ditepati. Setelah setahun berlalu Irian Barat masih tetap dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Usaha-usaha diplomasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia selalu mengalami kegagalan, karena mendapat penolakan dari Pemerintah Belanda.

Oleh karena itu, sejak tahun 1954 Pemerintah Indonesia setiap tahun secara berturut-turut membawa masalah Irian Barat ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Usaha tersebut pun tidak pernah memperoleh hasil yang positif, karena negara-negara Barat masih teguh mendukung posisi Belanda.

Sikap tersebut bertambah kuat dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Belanda sendiri semakin memantapkan status quo nya di Irian Barat dengan mempersiapkan pembentukan Irian Barat sebagai sebuah negara dan kemudian mendeklarasikan kemerdekaan Negara Papua pada tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura) melalui Komite Nasional Papua (KNP) dengan nama negara West Papua, lambang negara Burung Mambruk, bendera Bintang Kejora, dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua (Korwa, 2013: 3).

Sebagai reaksi terhadap kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil jalan lain melalui aksi-aksi untuk membebaskan Irian Barat yang dilakukan di berbagai kota dan daerah di seluruh Indonesia. Aksi tersebut diawali dengan pengambilalihan perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh buruh dan karyawan perusahaan tersebut.

Hubungan tegang ini mencapai puncaknya ketika Pemerintah Republik Indonesia secara resmi melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada 17 Agustus 1960 (Poesponegoro, 1993: 331-3)

Seiring dengan itu Pemerintah Indonesia juga melakukan persiapan untuk melakukan konfrontasi merebut kembali Irian Barat. Untuk menambah kekuatan militer, Pemerintah Republik Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri, terutama Amerika Serikat. Karena Amerika Serikat mendukung Belanda menduduki Irian Barat, maka usaha itu tidak memperoleh hasil.

Sebagai gantinya Indonesia mengalihkan usaha ke negara-negara komunis, terutama Uni Soviet. Usaha ini membuahkan hasil, negara tersebut bersedia memasok persenjataan yang dibutuhkan Indonesia.

Setelah kekuatan dianggap cukup, maka dikeluarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 Desember 1961 yang isinya sebagai berikut: 1). Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda kolonialis; 2). Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia; dan3). Bersiap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Pada tanggal yang sama Menteri Luar Negeri, Subandrio, mengatakan di parlemen bahwa Pemerintah Indonesia akan mengadakan konfrontasi dengan Belanda di segala bidang, yaitu: politik, ekonomi, dan jika perlu juga di bidang militer. Dua hari kemudian, Presiden Sukarno mengirim sepucuk surat kepada Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yang isinya memperingatkan bahwa Indonesia jika perlu akan menempuh jalan kekerasan untuk mendapatkan kembali Irian Barat (Leirissa 2012: 224).

Sebagai tindak lanjut dari deklarasi TRIKORA, maka tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Panglima ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 Tentang Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat (Poesponegoro 1993: 334-5).

Sikap Belanda yang awalnya meremehkan kekuatan Indonesia mulai melunak setelah Teminabuan jatuh ke tangan pasukan Indonesia. Ditambah lagi dengan tekanan dari Amerika Serikat yang khawatir masuknya pengaruh Uni Soviet ke Indonesia, akhirnya Belanda bersedia menyelesaikan masalah Irian Barat melalui perundingan. Inilah menjadi dasar disepakatinya perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York pada 5 Agustus 1962, yang terkenal dengan Perjanjian New York.

Isi utama dari perjanjian ini adalah mengenai penyerahan pemerintahan di Irian dari Pemerintah Belanda kepada PBB, melalui badan yang dibentuk khusus, yaitu UNTEA, yang pada gilirannya akan menyerahkan pemerintahan itu kepada Republik Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Pihak Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian sebelum akhir tahun 1969 dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak akan menerima apa pun hasilnya (Poesponegoro 1993: 335-6).

Proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan di delapan kabupaten, yaitu: Jayapura, Teluk Cendrawasih, Manokwari, Sorong, Fakfak, Merauke, Paniai, dan Pegunungan Jayawijaya. Di setiap kabupaten dibentuk sebuah Dewan Musyawarah Pepera (DMP Kabupaten) dan setiap DMP terdiri atas: 1) Wakil-wakil daerah yang dipilih oleh rakyatnya; 2) Wakil-wakil yang dipilih oleh ormas; dan 3) Unsur tradisional para kepala suku.

Keseluruhan wakil rakyat Papua yang dipilih untuk memberikan suara dalam DMP sebanyak 1.062 orang. Pelaksanaan Pepera dihadiri oleh utusan PBB Dr. Fernando Ortiz-Sanz (Duta Besar dari Bolivia untuk PBB) yang oleh Sekretaris Jenderal PBB, U Thant, ditunjuk untuk menyelenggarakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan Pepera.

Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

Hasil perhitungan suara menunjukkan bahwa mayoritas (99%) anggota DMP memilih berintegrasi dengan Indonesia. Namun di sisi lain, selama pelaksanaan Pepera tersebut, di beberapa kota sempat diwarnai dengan aksi demonstrasi yang menolak pelaksaan Pepera yang dilakukan sebagian anggota masyarakat di bawah pimpinan Herman Wayoi dan Permenas Torrey.

Hasil Pepera tersebut kemudian disahkan oleh Sidang Umum PBB pada 19 November1969 melalui Resolusi No. 2504. Resolusi tersebut diajukan oleh 6 negara, diterima oleh 84 negara, dan sebanyak 30 negara tidak berpendapat (Pamungkas 101-2; Korwa 2013: 4).

Dengan disahkan hasil Pepera pada Sidang Umum PBB tersebut maka secara resmi Papua Barat kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kontroversi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

Meskipun hasil Pepera telah disahkan oleh PBB, pelaksanaan Pepera masih sering dianggap sebagai Pemaksaan Pendapat Rakyat. Pasca-kepemimpinan Soeharto jatuh tahun 1998, Uskup Agung Desmond Tutu dan sejumlah anggota parlemen Eropa dan Amerika Serikat meminta Sekjen PBB Kofi Annan untuk meninjau ulang peran PBB dalam Pepera.

Beberapa pihak meminta PBB untuk mengadakan referendumnya sendiri dengan kriteria pemilih yang telah tertulis dalam perjanjian New York. Selain itu, mereka juga melihat izin tambang yang dijual Indonesia ke Freeport-McMoran pada 1967 dengan masa kontrak 30 tahun sebagai dasar bahwa hasil Pepera 1969 tidak sah.

Selanjutnya, pada 19 Oktober 2011, dalam Kongres Rakyat Papua Barat ke-3, dinyatakan bahwa perjanjian New York dan Pepera 1969 tidak sah. Kemudian, mereka juga meminta pengakuan dari PBB sebagai negara merdeka berdasarkan hukum internasional dan hukum adat.

Sumber:
https://esi.kemdikbud.go.id/wiki
https://www.kompas.com

Download
 
Baca Juga:
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment