Konflik Poso: Sejarah, Latar Belakang, Kronologi, dan Penyelesaiannya

Table of Contents

Sejarah Konflik Poso

Konflik Poso adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Konflik ini terjadi sejak 25 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001. Peristiwa ini bermula dari bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum berkembang menjadi kerusuhan bernuansa agama.

Dari peristiwa ini, dirinci bahwa terdapat 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar. Kerusuhan ini kemudian berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino antara kedua belah pihak.

Latar Belakang Terjadinya Konflik Poso

Penyebab terjadinya konflik Poso salah satunya ialah permasalahan yang berkaitan dengan penduduk asli Poso yang merasa terpinggirkan dengan keberadaan penduduk yang datang dari luar Poso, hadirnya pendatang ini mengubah transformasi sosial-ekonomi di Poso yang ditandai dengan peralihan lahan dari penduduk asli kepada pendatang.

Selain merasa terpinggirkan pada aspek sosial ekonomi, terjadi pula pada aspek politik yang semakin memperkeruh keadaan, yakni pada awalnya pemerintahan Kabupaten di Poso lebih dominan dikuasai oleh para elite Kristen, kemudian kondisi tersebut berbalik setelah Islam mendapatkan penganut yang lebih banyak sehingga membuat kursi kekuasaan pemerintahan diisi lebih banyak oleh elite Islam.

Kemudian ditambah keberadaan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang melakukan pengembangan elemen ikatan berbasis patron dan klien yang berdasarkan identitas agama Islam membuat elite kelompok Kristen semakin terpinggirkan dan tersingkirkan dalam kekuasaan politik pada pemerintahan Kabupaten Poso.

Adapun faktor yang paling mendasar ialah kondisi demografis keberagaman yang menjadi potensi konflik sosial terjadi, karena provokasi antara satu sama lain akan sangat mudah muncul untuk terlibat dalam konflik komunal, yang mana sering kali hal tersebut menjadi senjata yang sangat ampuh bagi para elite untuk dikendarai ketika bersaing dalam politik dengan mengatur masa menggunakan isu sensitif seperti isu agama dan etnis yang akan memancing konflik berkelanjutan.

Hal tersebut menyebabkan banyak orang atau kelompok menjadi bersedia untuk angkat senjata, merakit bom hingga pada akhirnya harus mati di ujung senjata, kondisi ini menurut Charles Kimball dikatakan sebagai bagian dari bencana yang berasal dari agama, yang mana bencana tersebut terjadi ketika agama dijadikan sebagai sandera untuk kepentingan kelompok demi meraih sebuah kenikmatan sesaat dengan mengatasnamakan Tuhan oleh kekuatan dogmatik.

Kronologi Konflik Poso

Konflik komunal di Poso ini bisa dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:

Desember 1998

Pada malam natal, 24 Desember 1998, yang kebetulan bertepatan dengan Ramadan, seorang pemuda asal kelurahan mayoritas Protestan di Lambogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang Muslim. Informasi yang tersebar di pihak Kristen menyebutkan bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam.

Sementara versi Muslim menggambarkan bahwa kejadian ini merupakan sebuah serangan terhadap pemuda Muslim yang tertidur di halaman masjid. Para tokoh pemuka agama kedua belah pihak kemudian bertemu. Keduanya sepakat bahwa sumber masalahnya terdapat pada minuman keras. Akibatnya, Polres Poso pun mulai menyita ribuan minuman keras yang kemudian dihancurkan.

Suatu ketika, terdapat satu toko yang dijagai oleh para pemuda Kristen. Mereka pun bertemu dengan pemuda Muslim yang berniat menyegel toko tersebut. Pertemuan ini pun berakhir dengan bentrokan di antara keduanya. Selanjutnya pada 27 Desember 1998, sekelompok orang Kristen bersenjata yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin oleh Herman Parimo, anggota DPRD Poso.

Parimo diketahui merupakan anggota dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST). Di sisi lain, sedikitnya terdapat sembilan truk Muslim tiba dari Palu, Parigi, dan Ampana. Bentrokan pun terjadi, di mana polisi tidak mampu menangkal mereka. Para pejabat pemerintah Kabupaten Poso banyak mendapat serangan melalui spanduk, surat kaleng, dan grafiti.

April 2000

Pada April 2000 terjadi persidangan mantan bupati Afgar Patanga. Dalam persidangan tersebut, Patanga didakwa telah menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan. Ada rumor bahwa sebagian dana tersebut digunakan menyewa massa untuk menyerang gedung peradilan.

Pada 15 April, dimuat sebuah pertanyaan dari Chaelani Umar, anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan Pembangunan, bahwa akan ada lebih banyak kekerasan jika Damsik Ladjalani, calon bupati saat itu, tidak dipilih.

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengatakan bahwa dirinya diserang oleh sekelompok pemuda Kristen. Ia menunjukkan sebuah luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Muslim yang tidak terima pun membalas. Pertarungan terjadi antara para pemuda Kristen dan pemuda Muslim. Selama beberapa hari peperangan terus terjadi. Rumah-rumah milik umat Kristen Poso dibakar.

Kejadian tersebut mengharuskan Kapolres Poso untuk mendatangkan pasukan Brimob dari Palu. Pada 17 April, anggota Brimob tidak sengaja menembaki kerumunan massa yang menewaskan Mohammad Yusni dan Yanto, serta melukai delapan pemuda Muslim lainnya.

Setelah Brimob dikirim pulang ke Palu, pembakaran rumah masih berlanjut. Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro di Makassar, akhirnya mengirim 600 tentara. Pertempuran pun mereda.

Mei 2000

Kejadian bulan Mei 2000 ini merupakan pertempuran terbesar dan terparah. Periode ini didominasi oleh serangan balasan kelompok Kristen terhadap Muslim. Selain itu, terjadi juga berbagai kejadian penculikan dan pembunuhan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan Human Rights Watch, para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi korban dari tindakan tersebut. Pada awal Mei, muncul rumor bahwa banyak pemuda Kristen telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan di Kerei.

Pasukan Kristen menamai operasi ini "kelelawar merah" dan "kelelawar hitam". Pasukan ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran dari Flores, NTT. Pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan kelelawar hitam membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali dan dua warga sipil Muslim, Abdul Syukur dan Baba.

Kelompok ninja (kelelawar hitam) ini kemudian bersembunyi di sebuah gereja Katolik di Kelurahan Moengko. Mereka pun mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah. Para warga Muslim juga telah menunggu di depan gereja. Pasukan ninja bukannya menyerahkan diri, justru kabur ke perbukitan belakang gereja.

Aksi ini kemudian menyulut kemarahan para Muslim. Mereka membakar gereja tersebut pukul 10.00 WIB. Pada 28 Mei, serangan semakin meluas terhadap warga Islam. Para wanita dan anak-anak ditangkap. Bahkan beberapa di antarnya mengalami pelecehan seksual.

Sekitar 70 orang berlari ke pesantren terdekat, Pesantren Walisongo, di mana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang. Orang-orang yang kabur pun berhasil ditangkap yang kemudian dieksekusi dan mayatnya dilempar ke Sungai Poso. Sekitar 39 jenazah ditemukan di tiga kuburan massal dengan total kematian sekitar 191 orang.

Upaya Penyelesaian Konflik Poso

Akibat kerusuhan yang terjadi di Poso menyebabkan banyaknya korban jiwa berjatuhan dari masing-masing kelompok, hal tersebut mendorong dari kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian guna mengakhiri perpecahan yang berkelanjutan.

Salah satu usaha perdamaian yang efektif ialah Deklarasi Damai Malino I pada bulan Desember 2001 yang merupakan inisiatif dari pendeta A. Tobondo, beliau menghubungi Susilo Bambang Yudhoyono selaku Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan pada saat itu, Jusuf Kalla atau Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat, dan Menteri Pertahanan yaitu Abdul Jalil.

Inisiatif tersebut diterima baik dan segera ditindaklanjuti dengan ditunjuknya Jusuf Kalla sebagai pemimpin mediator di Poso. Dalam proses penanganannya peran pemerintahan pusat sebagai fasilitator dan mediator dalam usaha perdamaian di Poso.

Kemudian diadakanlah pertemuan pada tanggal 18 Desember hingga 20 Desember 2001, pertemuan ini sekaligus melaksanakan mediasi antara dua pihak yang bertikai. Pertemuan ini diadakan di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan diikuti oleh peserta dari kelompok Muslim dan Kristen masing-masing 25 peserta serta 25 peserta sebagai mediator.

Hasil dari pertemuan ini membuahkan kesepakatan untuk mengakhiri konflik dan bekerja sama dalam menjaga perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah.

Sumber:
https://kumparan.com
https://id.wikipedia.org
https://www.kompas.com

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment