Gerakan Aceh Merdeka (GAM): Sejarah, Penyebab, Perkembangan, dan Negosiasi Damai

Table of Contents

Sejarah Gerakan Aceh Merdeka atau GAM
Sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah kelompok separatis yang mencari kemerdekaan untuk wilayah Aceh Sumatera, Indonesia. GAM berperang melawan pasukan pemerintah Indonesia dalam pemberontakan Aceh dari tahun 1976 hingga 2005. Perkiraan jumlah korban mencapai lebih dari 15.000 orang terbunuh.
 
GAM dibentuk pada 4 Desember 1976 dan dipimpin oleh Hasan di Tirto. Organisasi ini melepaskan niat separatisnya dan membubarkan sayap bersenjatanya setelah perjanjian damai tahun 2005 dengan pemerintah Indonesia, dan kemudian mengubah namanya menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).

Penyebab Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Konflik yang terjadi di Aceh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perbedaan pendapat tentang hukum Islam, ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh, dan peningkatan jumlah orang Jawa di Aceh. Dalam konflik tersebut, GAM melalui tiga tahapan, yaitu tahun 1977, 1989, dan 1998.

Sebelumnya, pada 4 Desember 1976, pemimpin GAM, Hasan di Tiro bersama beberapa pengikutnya melayangkan perlawanan terhadap pemerintah RI. Perlawanan tersebut mereka lakukan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie. Sejak saat itu, konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung.

Perkembangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

1977

GAM pertama kali mengibarkan bendera perang dengan melakukan gerilya. Namun, pemerintah pusat berhasil menetralisir kelompok tersebut. GAM mengalami kegagalan dalam perang gerilya.

1989

Pada 1989, GAM memperbarui aktivitasnya. GAM didukung oleh Libya dan Iran dengan mengerahkan sekitar 1.000 tentara. Pelatihan yang diberi dari luar negeri ini berarti bahwa tentara GAM sudah jauh lebih tertata dan terlatih dengan baik.

Melalui ancaman terbaru ini, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer Khusus (DOM). Desa-desa yang diduga menampung para anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka diculik dan disiksa. Diyakini terdapat 7.000 pelanggaran hak asasi manusia terjadi selama DOM berlangsung. 
 
Baca Juga: Mengenal Sejarah Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998

1998

Tahun 1998, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Presiden Jusuf Habibie. Semasa kepemimpinannya, Habibie menarik pasukan dari Aceh untuk memberi ruang bagi GAM dalam membangun kembali organisasinya.

Namun, pada 1999, kekerasan justru semakin meningkat. GAM memberontak terhadap pejabat pemerintah dan penduduk Jawa yang didukung oleh penyelundupan senjata besar-besaran dari Thailand oleh GAM. Kemudian, memasuki tahun 2002, kekuatan militer dan polisi di Aceh juga berkembang menjadi kurang lebih sebanyak 30.000.

Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 50.000. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM mengakibatkan beberapa ribu kematian warga sipil. Untuk mengatasi GAM, pemerintah melancarkan serangan besar-besaran tahun 2003 di Aceh, di mana keberhasilan semakin terlihat.

Negosiasi Perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Pada akhir tahun 1990-an, GAM memulai pembicaraan damai dengan Jakarta, yang ditengahi oleh pemerintah Swedia. Pada bulan Desember 2002, GAM dan Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian terobosan Penghentian Permusuhan (COHA) yang hanya berlangsung selama beberapa bulan sebelum pelanggaran mulai terjadi.

Pada tahun 2002–2004, GAM terkena dampak parah dari serangkaian serangan pemerintah yang menyebabkan organisasi tersebut kehilangan sekitar 50% anggotanya termasuk komandannya, Abdullah Syafi'i Dimatang, yang terbunuh dalam penyergapan militer pada Januari 2002.

Pada tanggal 28 Desember 2004, setelah kehancuran yang disebabkan oleh tsunami besar, GAM mendeklarasikan gencatan senjata agar bantuan dapat sampai di wilayah yang disengketakan. Pada gilirannya, pemerintah Indonesia untuk sementara menghapus pembatasan di wilayah Sumatera bagian utara untuk memungkinkan upaya penyelamatan di wilayah tersebut.

Pada tanggal 27 Februari 2005, Gerakan Aceh Merdeka dan delegasi pemerintah Indonesia memulai putaran perundingan perdamaian lainnya di Vantaa, Finlandia, yang dimoderatori oleh mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Pada tanggal 16 Juli 2005, Menteri Komunikasi Indonesia dan GAM mengumumkan kesepakatan damai untuk mengakhiri pemberontakan yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun.

Perjanjian perdamaian secara resmi ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Aula Perjamuan Pemerintah Finlandia di Helsinki oleh kepala perunding Indonesia Hamid Awaluddin dan pemimpin GAM Malik Mahmud. Presiden Ahtisaari menjadi saksi perjanjian damai tersebut.

Berdasarkan ketentuan perjanjian, kedua belah pihak sepakat untuk segera menghentikan semua permusuhan. GAM juga setuju untuk melucuti senjatanya, sementara Pemerintah berjanji untuk menarik semua anggota militer dan polisi non-lokal pada akhir tahun 2005.

Sebuah Misi Pemantauan Aceh dibentuk oleh UE dan ASEAN untuk mengawasi proses pelucutan senjata dan reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat. Sebuah keputusan presiden memberikan amnesti kepada sekitar lima ratus mantan anggota GAM yang berada di pengasingan di negara lain, dan tanpa syarat membebaskan sekitar 1.400 anggota yang telah dipenjarakan oleh Pemerintah.
 
Pemerintah setuju untuk memfasilitasi pembentukan partai politik yang berbasis di Aceh; ini adalah salah satu isu paling kontroversial dalam negosiasi sebelumnya. Sebuah "komisi kebenaran dan rekonsiliasi" akan dibentuk. Mengenai permasalahan distribusi pendapatan yang tidak merata, diputuskan bahwa tujuh puluh persen pendapatan dari sumber daya alam lokal akan tetap berada di Aceh.

Pada tanggal 27 Desember 2005, para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka mengumumkan bahwa mereka telah membubarkan sayap militernya. Sebagai tanda kemajuan proses perdamaian, pendiri gerakan pemberontak separatis Aceh, Hasan di Tiro, kembali ke Indonesia pada 11 Oktober 2008 setelah hampir 30 tahun di pengasingan.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompas.com

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment