Ralf Dahrendorf: Biografi, Karya, dan Strukturalisme Konfliknya
Biografi Ralf Dahrendorf
Ralph Gustav Dahrendorf, Baron Dahrendorf, KBE, FBA, PhD (1 Mei 1929 – 17 Juni 2009) adalah sosiolog, filsuf, ilmuwan politik, dan politikus liberal Jerman-Britania. Sebagai seorang teoriwan konflik kelas, Dahrendorf merupakan tokoh ternama yang menjelaskan dan menganalisis pembagian kelas di masyarakat modern dan diakui sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh di masanya. Dahrendorf wrote multiple articles and books, his most notable being Class Conflict in Industrial Society (1959) and Essays in the Theory of Society (1968).Semasa berkecimpung di dunia politik, ia menjabat sebagai anggota Parlemen Jerman, Menteri Luar Negeri Parlemen di Kementerian Luar Negeri Jerman, Komisaris Hubungan Luar Negeri dan Perdagangan Eropa, Komisaris Riset, Sains, dan Pendidikan Eropa, dan anggota House of Lords Britania Raya; ia diangkat sebagai jawatan seumur hidup pada tahun 1993. Di Britania Raya, ia dikenal dengan sebutan Lord Dahrendorf.
Ia pernah menjabat sebagai direktur London School of Economics dan Pengurus St Antony's College, Universitas Oxford. Ia juga pernah menjadi Dosen Sosiologi di sejumlah universitas di Jerman dan Britania Raya, dan Dosen Peneliti di Berlin Social Science Research Cente.
Karya Ralf Dahrendorf
Seperti para fungsionalis, teori-teori konflik diorientasikan ke arah studi mengenai struktur-struktur dan lembaga-lembaga sosial. Pada umumnya, teori tersebut lebih dari sekedar serangkaian pendirian teoretis yang kerap bertentangan secara langsung dengan pendirian-pendirian fungsionalis. Antitesis itu dicontohkan paling baik oleh karya Ralf Dahrendorf (1958, 1959; lihat juga Strasser dan Nollman, 2005), saat ajaran-ajaran teori konflik dan fungsional dijajarkan. Baca Juga: Fungsionalisme Struktural
Bagi kaum fungsionalis, masyarakat statis atau, paling jauh, dalam keseimbangan yang bergerak, tetapi bagi Dahrendorf dan para teoretisi konflik, setiap masyarakat pada setiap titik tunduk kepada proses-proses perubahan. Di mana kaum fungsionalis menekankan ketertiban masyarakat, para teoretisi konflik melihat pertikaian dan konflik ada pada setiap titik di dalam sistem sosial. Kaum fungsionalis (atau setidaknya para fungsionalis awal) berargumen bahwa setiap unsur di dalam masyarakat menyumbang bagi stabilitas; pencetus teori konflik melihat bahwa banyak unsur masyarakat merupakan penyumbang disintegrasi dan perubahan.
Kaum fungsionalis cenderung melihat masyarakat diikat bersama secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas bersama. Para teoretisi konflik melihat setiap ketertiban yang ada di dalam masyarakat berasal dari pemaksaan sejumlah anggota masyarakat oleh orang-orang yang berada di puncak. Sementara kaum fungsionalis berfokus pada kohesi yang diciptakan oleh nilai-nilai bersama masyarakat, para teoretisi konflik menekankan peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di dalam masyarakat.
Dahrendorf (1959, 1968) adalah pendukung utama pendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan oleh karena itu teori sosiologi harus dipecah ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Para teoretisi konsensus harus mengkaji nilai integrasi di dalam masyarakat, dan teori konflik harus mengkaji konflik-konflik kepentingan dan paksaan yang menjaga kesatuan masyarakat di dalam menghadapi tekanan-tekanan itu.
Dahrendorf menyadari bahwa masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus, keduanya merupakan prasyarat satu sama lain. Oleh karena itu, tidak akan ada konflik jika tidak ada konsensus yang mendahuluinya. Contohnya, para ibu rumah tangga Prancis sangat tidak menyukai konflik dengan para pemain catur Chile karena di antara mereka tidak ada kontak, tidak ada integrasi sebelumnya yang berfungsi sebagai dasar bagi suatu konflik. Sebaliknya, konflik dapat menyebabkan konsensus dan integrasi. Contohnya, aliansi antara Amerika Serikat dan Jepang yang berkembang setelah Perang Dunia II.
Meskipun ada antarhubungan antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis akan kemungkinan untuk mengembangkan suatu teori sosiologis tunggal yang mencakup kedua proses tersebut: Tampaknya setidaknya dapat dibayangkan bahwa penyatuan teori tidak mungkin hingga titik yang telah membingungkan para pemikir sejak permulaan filsafat Barat (1959: 164). Menjauhkan diri dari teori tunggal, Dahrendorf mulai membangun suatu teori konflik masyarakat.
Dahrendorf mulai dengan dan sengaja dipengaruhi oleh, fungsionalisme struktural. Dia mencatat bahwa bagi sang fungsionalis, sistem sosial dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau konsensus umum atau keduanya. Akan tetapi, bagi teoretisi konflik (atau paksaan), masyarakat dipersatukan oleh pembatasan yang dipaksakan; dengan demikian, beberapa posisi di masyarakat merupakan kekuasaan dan otoritas yang didelegasikan kepada orang lain. Fakta kehidupan sosial tersebut membawa Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa distribusi otoritas yang diferensial selalu menjadi faktor penentu konflik-konflik sosial sistematik (1959: 165).
Strukturalisme Konflik Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf melihat teori konflik sebagai teori parsial yang dapat juga digunakan dalam menganalisa fenomena sosial yang ada, dengan pengertian bahwa di samping penggunaan teori strukturalisme fungsional, di mana dalam hal ini Dahrendorf merupakan pengkritik teori fungsional yang mengabaikan keberadaan potensi konflik dalam masyarakat.
Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama (kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural dapat pula dianalisa dengan teori konflik dengan lebih baik).
Tinjauan Kembali Teori Marxis
Dasar teori Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan parsial serta perumusan kembali teori Karl Marx. Di mana dalam usahanya tersebut Dahrendorf menunjukkan beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri sejak abad kesembilan belas. Di antara perubahan-perubahan tersebut adalah: (1) Dekomposisi modal, (2) Dekomposisi tenaga kerja, dan (3) Timbulnya kelas menengah baru.
Dekomposisi Modal
Marx menulis tentang kapitalisme, pemilikan serta kontrol atas sarana-sarana produksi sebagai berada ditangan individu-individu yang sama. Kaum industrialis dan borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedang para pekerja atau proletar demi kelangsungan hidupnya tergantung pada sistem tersebut.
Menurut Dahrendorf yang tidak dilihat oleh Marx ialah pemisahan antara pemilikan serta pengendalian sarana-sarana produksi yang terjadi di abad kedua puluh. Timbulnya korporasi-korporasi dengan saham-saham yang dimiliki oleh orang banyak di mana tidak seorang pun memiliki kontrol yang eksklusif, berperan sebagai contoh dari apa yang disebutkan Dahrendorf sebagai dekomposisi modal.
Di abad yang terspesialisasi seperti saat ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti juga halnya dengan orang atau beberapa orang yang memiliki perusahaan tapi tidak mengendalikannya. Karena sekarang zaman keahlian serta spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-pegawai sebagaimana halnya dengan pekerja-pekerja pabrik.
Para buruh maupun pegawai kantor dapat memiliki saham perusahaan yang menjadikan mereka pemilik-pemilik sebagian. Menurut Dahrendorf, dekomposisi modal ini melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasi kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas modal maupun pengendali perusahaan. Sejalan dengan lahirnya abad kedua puluh, pemilikan dan pengendalian tersebut mengalami diversifikasi dan tidak lagi berada dalam tangan satu individu atau keluarga saja.
Dekomposisi Tenaga Kerja
Menurut Dahrendorf yang terjadi tidak hanya dekomposisi modal saja, tetapi juga terjadi dekomposisi tenaga kerja. Kaum proletar tidak lagi sebagai suatu kelompok homogen tunggal. Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada dijenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.
Kaum proletar bukan lagi sebagai massa yang tanpa perbedaan sebagaimana halnya yang terjadi pada kaum borjuis. Tukang kayu, tukang pipa, serta pengemudi truk memperoleh gaji jauh lebih tinggi daripada pelayan, operator dan sebagainya.
Timbulnya Kelas Menengah Baru
Dekomposisi modal dan buruh tersebut menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang sebelumnya tidak pernah diduga oleh Marx. Hal ini memperkuat kegagalan ramalan Marx tentang terjadinya suatu revolusi kelas.
Marx mengakui eksistensi kelas menengah di abad kesembilan belas, tetapi ia merasa bahwa di saat revolusi tiba sebagian besar kelompok kecil ini akan bergabung bersama kaum proletar untuk melawan kaum borjuis. Marx tidak meramalkan timbulnya serikat-serikat buruh yang diikuti oleh mobilitas sosial dari para pekerja itu.
Sebagaimana diamati oleh Dahrendorf, Sangat boleh jadi bahwa teori ini (Marx) mengandung unsur-unsur kebenaran, tetapi bila memang demikian halnya, maka meluasnya kesamaan sosial diabad yang lalu telah menyebabkan perjuangan kelas dan perubahan revolusioner tidak mungkin terjadi. Dengan demikian mobilitas sosial inilah yang merintangi gejolak revolusi di dalam masyarakat kapitalis modern. Bilamana mobilitas yang demikian tiba-tiba berhenti, Dahrendorf meramalkan keruntuhan struktur sosial melalui tindakan revolusioner.
Menurut Dahrendorf alasan teoretis utama mengapa revolusi ala Marxis ini tidak terjadi ialah oleh karena pertentangan yang ada cenderung diatur melalui institusionalisasi. Pengaturan atau institusionalisasi terbukti dari timbulnya serikat-serikat buruh yang telah mempelancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antar buruh dan manajemen. Melalui institusionalisasi pertentangan tersebut, setiap masyarakat mampu mengatasi masalah-masalah baru yang timbul.
Dahrendorf menyatakan bahwa institusionalisasi pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah: organisasi mensyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan, dengan demikian menghilangkan ancaman perang gerilya bersifat permanen dan tak dapat diperhitungkan. Pada saat yang sama, hal ini membuat pengaturan pertentangan secara sistematis dimungkinkan. Organisasi adalah institusionalisasi.
Dalam mengamati perubahan historis semenjak zaman Marx itu Dahrendorf merasa telah membuktikan kesalahan beberapa aspek dari teori Marxis. Tetapi bagi Dahrendorf penolakan saja tidaklah cukup: penolakan teori-teori lama hanya bermanfaat bilamana hal tersebut menjadi titik tolak bagi perumusan teori-teori baru. Kemudian Dahrendorf melakukan sendiri perumusan suatu teori konflik yang menimbang perkembangan-perkembangan historis yang telah dibahas.
Ke arah Teori Konflik dalam Masyarakat Industri
Di dalam melancarkan kritik sosiologis terhadap teori Karl Marx, Dahrendorf mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx. Oleh karena perubahan sosial, sebagaimana yang dibahas sebelumnya, revolusi yang diramalkan oleh Marx itu ternyata tidak terjadi di negara-negara industri.
Lebih daripada itu adalah jelas bahwa kelas-kelas sosial tidak lagi berdasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi sebagaimana yang dinyatakan oleh Marx. Walau demikian Dahrendorf menerima ide pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian ia memodifikasi teori pertentangan kelas Marx dengan memasukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Dahrendorf menyatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi yang menurut Marx adalah dasar perbedaan kelas sosial. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dengan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas.
Terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok, sedang yang lain tidak, beberapa orang memiliki kekuasaan sedang yang lain tidak. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit kekuasaan dengan mereka yang memiliki banyak kekuasaan. Di mana perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar.
Tetapi menurut Dahrendorf pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial, yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dengan mereka yang tidak berpartisipasi dalam struktur kekuasaan melalui penundukan. Demikian, perjuangan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Kelompok Semu dan Kelompok Kepentingan
Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan di antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Sebagaimana dikatakan Dahrendorf, Secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan.
Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaan, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya
Kepentingan yang dimaksud Dahrendorf mungkin bersifat manifest (disadari) atau laten (kepentingan potensial). Kepentingan laten adalah tingkah laku potensial (undercurrents behavior) yang telah ditentukan bagi seseorang karena ia menduduki peranan tertentu, tapi masih belum disadari. Ini adalah perumusan psikologis yang sama sekali bukan merupakan sasaran kajian sosiologis, kecuali mereka menjadi tujuan-tujuan kemudian berubah menjadi tujuan-tujuan yang disadari.
Jadi orang dapat menjadi anggota suatu kelas yang tidak memiliki kekuasaan, tetapi sebagai anggota kelompok mereka mungkin belum menyadari kekurangan dan kelemahan mereka. Hal ini tampak dalam beberapa kasus dari kelompok minoritas yang ditahun 1960-an kesadaranya telah mencapai puncak, antara lain termasuk kelompok-kelompok kulit hitam, wanita, Suku Indian dan Cicanos.
Demikian kepentingan-kepentingan yang semula tidak disadari (laten) tersebut tampil ke permukaan dalam bentuk tujuan-tujuan yang disadari (persamaan gaji, persamaan kesempatan kerja), berkembanglah organisasi-organisasi yang disebut Dahrendorf sebagai kelompok-kelompok manifest.
Misalnya, sebelum pertengahan tahun 1960-an berbagai kepentingan laten kaum wanita tersebut mulai muncul ke permukaan atau disadari, yang kemudian diikuti oleh perkembangan kelompok yang memperjuangkan kebebasan kaum wanita. Jadi pertentangan antara kaum laki-laki yang menduduki kekuasaan dan kaum wanita yang dikuasai diatur atau diredakan lewat organisasi struktural.
Kelompok Pertentangan, Pertentangan Kelompok dan Perubahan Sosial.
Menurut perumusan Dahrendorf pertentangan kelas harus dilihat sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang bertentangan itu, sekali mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur sosial.
Pertentangan antara buruh dan manajemen yang merupakan topik permasalahan utama bagi Karl Marx, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh. Pada gilirannya, serikat buruh tersebut akan terlibat dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan dalam bidang hukum serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkrit dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari institusionalisasi pertentangan kelas tersebut.
Dahrendorf menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana dari Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisa, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian.
Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya dan yang tidak. Demikian, dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat:
Bilamana dalam suatu masyarakat tertentu terdapat lima puluh asosiasi, kita seharusnya berharap menemukan seratus kelas, atau kelompok-kelompok pertentangan dalam pengertian studi ini. Terlepas dari hal itu, mungkin terdapat jumlah kelompok-kelompok pertentangan yang tak terhitung dan pertentangan-pertentangan yang berasal dari antagonisme yang berbeda dengan pertentangan yang berdasarkan atas struktur kekuasaan asosiasi
Dahrendorf mengakui bahwa penyebaran kelompok-kelompok yang ekstrim serta pertentangan-pertentangan tersebut jarang sekali terjadi dalam kenyataan. Biasanya dalam masyarakat historis tertentu pertentangan yang berbeda saling tumpang tindih, jadi dalam kenyataannya medan pertentangan itu berada di beberapa arena yang dominan saja.
Fenomena ini mengandung makna bahwa figur kekuasaan sebuah institusi (misal gereja) tidak perlu mengambil bagian dalam kekuasaan institusi lain (misal negara). Bilamana pemisahan itu terjadi di dalam sebagian besar institusi, maka intensitas pertentangan akan meningkat.
Dengan perkataan lain bila terdapat hubungan yang kuat di mana anggota-anggota suatu kelompok berada distruktur bawah, kemudian juga merupakan anggota kelompok lain dengan kedudukan yang sama, maka setiap ledakan konflik akan menjadi semakin tajam. Dahrendorf mengungkapkan hal itu dalam pernyataan yang mirip proporsisi sebagai berikut: Bilamana kelompok-kelompok kepentingan saling bertemu dalam beberapa asosiasi dan dalam beberapa pertikaian, maka semua energi yang mereka gunakan akan disatukan dan sebuah konflik kepentingan yang keras akan lahir.
Dalam contoh tentang kaum wanita sebagai suatu kelompok semu yang telah berubah menjadi kelompok manifest, dapat kita lihat bahwa di sebagian besar kelompok kaum wanita adalah bagian dari lapisan yang diperintah. Menurut hukum seorang wanita harus tunduk pada suaminya, kemudian di kantor-kantor ia tetap diabaikan dalam promosi jabatan, dan di dalam organisasi sukarela pun mereka sering tidak diikutkan dalam struktur kekuasaan oleh karena jenis kelamin itu. Pengucilan yang berganda dari struktur kewenangan semacam itu dapat diamati di dalam sejarah hubungan-hubungan kelompok minoritas, hubungan-hubungan perburuhan, dan hubungan-hubungan antar bangsa.
Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan determinan kelas, benar-benar dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Ia mengetengahkan proporsisi berikut ini: semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas, dan sebaliknya. Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.
Bagi Dahrendorf, dalam masyarakat pertentangan tersebut tidak dapat dihilangkan. Pertentangan tersebut fungsional bagi perkembangan dan perubahan struktur sosial. Yang terpenting ialah bahwa pertentangan itu diatur melalui institusionalisasi daripada usaha-usaha untuk menekannya.
Sumber.
Poloma, Margaret M. 1979. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Lihat Juga:
1. Ralf Dahrendorf. Kelompok, Konflik, dan Perubahan
2. Ralf Dahrendorf. Otoritas
3. Ralf Dahrendorf. Teori Konflik Sosial
4. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial Menurut Para Sosiolog
Post a Comment