Reifikasi: Pengertian, Teori, dan Contohnya
Pengertian Reifikasi
Reifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah anggapan bahwa gejala kultural sudah berubah menjadi benda yang mengutamakan segi ekonomis daripada estetis. Reifikasi merupakan istilah serapan yang dari Bahasa Inggris reification yang bermakna proses pembuatan segala sesuatu menjadi seolah-olah benda. Pengertian lain menyebutkan bahwa reifikasi adalah penilaian bahwa kesuksesan diukur dari sejumlah benda (benda-benda yang menjadi standar kemajuan) yang dimiliki. Reifikasi menjadikan manusia cenderung akan menilai, menikmati sesuatu hanya dengan ukuran-ukuran yang bersifat lahiriah semata (pragmatis).
Sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk semata-mata hanya diukur dengan indikator yang dapat diindra. Kenikmatan hidup hanya dapat dipenuhi oleh sesuatu yang bersifat kebendaan atau lahiriah saja.
Dalam bidang keagamaan tercermin dalam fenomena ritualisme, di mana sebagian orang beragama hanya pada “permukaan” saja atau bahkan secara formal saja.
Reifikasi merupakan bagian daripada objek kajian sosiologi yang terkait dengan sifat kebudayaan yang termanifestasi dalam proses sosial dan interaksi sosial terkait reduksi dari relasi antar manusia menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan alat produksi.
Teori Reifikasi dari Para Ahli
Georg LukacsLukacs mulai dengan konsep Marxian atas komoditi, yang dia cirikan sebagai masalah struktural yang sentral pada masyarakat kapitalis (1922/1968:83). Suatu komoditas pada dasarnya adalah suatu relasi di kalangan manusia yang kemudian dipercaya mendapat sifat sebagai benda dan mengembangkan bentuk objektif.
Baca Juga: Pengertian Kapitalisme, Tokoh, Ciri, Kelebihan, dan Kekurangannya
Di dalam masyarakat kapitalis, interaksi manusia dengan alam menghasilkan berbagai produk, atau komoditas (contohnya, roti, mobil, gambar-gambar bergerak). Akan tetapi, manusia cenderung melupakan fakta bahwa mereka menghasilkan komoditi-komoditi itu dan memberinya nilai. Lalu nilai dianggap dihasilkan oleh pasar yang independen dari para aktor.
Pemberhalaan (fetisisme) komoditas adalah proses pemberian keberadaan objektif yang independen kepada komoditas dan pasar untuknya oleh para aktor di dalam masyarakat kapitalis. Konsep Marx mengenai pemberhalaan komoditas adalah dasar bagi konsep Lukacs tentang reifikasi.
Perbedaan yang sangat penting di antara pemberhalaan komoditas dan reifikasi terletak pada keluasan kedua konsep itu. Sementara yang pertama terbatas pada lembaga ekonomi, yang kedua oleh Lukacs diterapkan kepada semua lembaga masyarakat—negara, hukum, dan sektor ekonomi.
Dinamika yang sama berlaku pada semua sektor masyarakat kapitalis: lalu orang percaya bahwa struktur-struktur sosial mempunyai kehidupannya sendiri sehingga struktur-struktur itu betul-betul bersifat objektif.
Lukacs menggambarkan proses ini,
“Manusia di dalam masyarakat kapitalis berhadapan dengan suatu realitas yang dia buat sendiri (sebagai suatu kelas) yang baginya tampak sebagai fenomena alamiah yang asing; dia benar-benar dicengkeram oleh hukum-hukum-nya; kegiatannya terbatas pada eksploitasi pemenuhan mutlak hukum-hukum individual tertentu demi kepentingan-kepentingan (egoistik) nya sendiri. Akan tetapi, selagi bertindak pun dia tetap, dalam hakikat keadaan itu, merupakan objek dan bukan subjek peristiwa-peristiwa.” (Lukacs, 1922/1968:135)
Dalam mengembangkan ide-idenya mengenai reifikasi, Lukacs memadukan wawasan dari Weber dan Simmel. Akan tetapi, karena reifikasi tertanam di dalam teori Marxian, hal itu dilihat sebagai suatu masalah yang terbatas pada kapitalisme dan bukan takdir umat manusia yang tidak dapat dielakan, sebagaimana dipahami Weber dan Simmel.
Karl Marx
Komoditas adalah produk-produk pekerjaan manusia, tetapi komoditas bisa jadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud para penciptanya. Karena nilai tukar mengambang bebas dari komoditas aktual dan tampaknya berada di suatu ranah yang terpisah dari setiap penggunaan manusia, kita digiring untuk percaya bahwa objek-objek itu dan pasar untuknya mempunyai eksistensi yang independen.
Di dalam kapitalisme yang berkembang sepenuhnya, kepercayaan seperti itu menjadi realitas ketika objek-objek dan pasar-pasarnya benar-benar menjadi fenomena nyata yang independen. Komoditas menerima realitas eksternal independen yang nyaris mistis (Marx, 1867/1967:35).
Marx menyebut proses itu sebagai pemberhalaan komoditas (fetishism of commodity) (Dant, 1996; Sherlock, 1997). Marx tidak memaksudkan bahwa komoditas menerima makna seksual, karena dia menulis sebelum freud yang memberi pelintiran istilah fetish itu.
Marx menyinggung cara-cara bagaimana para praktisi sejumlah agama seperti kaum Zuni, mengukir patung-patung dan kemudian memujanya. Dengan fetish, Marx memaksudkan suatu benda yang kita buat sendiri dan kemudian kita puja seakan-akan ia adalah dewa.
Di dalam kapitalisme, produk-produk yang kita buat, nilai-nilainya, dan perekonomian yang terdiri dari pertukaran-pertukaran yang kita lakukan semuanya tampak menerima kehidupannya sendiri, terpisah dari setiap kebutuhan atau keputusan manusia. Bahkan, pekerjaan kita sendiri—hal yang menurut Marx, membuat kita benar-benar manusia—menjadi suatu komoditas yang diperjualbelikan. Pekerjaan kita memperoleh nilai tukar yang terpisah dari kita.
Ia berubah menjadi suatu benda abstrak dan digunakan oleh sang kapitalis untuk membuat objek-objek yang akhirnya mendominasi kita. Karena itu, komoditas adalah sumber alienasi yang didiskusikan di atas. Bahkan, pekerjaan para penghasil komoditas yang bekerja sendiri pun teralienasi, karena mereka harus menghasilkan untuk pasar daripada untuk mencapai maksud-maksud mereka sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Oleh karena itu, ekonomi menerima suatu fungsi yang dipercaya Marx hanya dapat dilakukan oleh para aktor: produksi nilai. Bagi Marx, nilai sejati suatu benda berasal dari suatu fakta bahwa pekerjaan menghasilkannya dan seseorang membutuhkannya. Nilai sejati komoditas menggambarkan relasi-relasi sosial manusia.
Sebaliknya, di dalam kapitalisme, kata Marx, Relasi sosial yang nyata di antara manusia... menerima bentuk fantastik relasi di antara benda-benda (1867/1967:72). Dengan memberi realitas kepada komoditas dan pasar di dalam kapitalisme, individu terus-menerus kehilangan kendali atasnya.
Oleh karena itu, sebuah komoditas adalah sebuah benda misterius, hanya karena di dalam komoditas sifat sosial pekerjaan manusia tampak menjadi sifat objektif yang dibubuhkan kepada produk pekerjaan itu: karena hubungan-hubungan para produsen dengan jumlah total pekerjaan mereka sendiri disajikan kepada mereka sebagai suatu relasi sosial, yang ada bukan di antara sesama mereka, tetapi di antara produk-produk pekerjaan mereka (Marx, 1867/1967:72).
Misalnya, bayangkan tentang secangkir kopi yang dapat Anda beli sebelum duduk untuk membaca postingan ini. Di dalam transaksi sederhana itu, Anda memasuki hubungan dengan ratusan orang lain; penjaga warung, pemilik kedai kopi, orang-orang yang bekerja di tempat pemanggangan kopi, importir, sopir truk, buruh pelabuhan, dan semua orang di dalam kapal yang membawa serbuk kopi, para pemilik perkebunan kopi, pemetik kopi, dan seterusnya.
Selain itu, Anda mendukung suatu hubungan perdagangan khusus antarnegara, khususnya bentuk khusus pemerintahan di dalam negara yang menanam kopi yang secara historis telah dibentuk oleh perdagangan kopi, hubungan khusus di antara pemilik perkebunan dan pekerja, dan banyak lagi relasi sosial lainnya. Anda melakukan semua itu dengan menukar uang untuk secangkir kopi. Di dalam hubungan di antara objek itu—uang dan kopi—tersembunyi semua relasi sosial tersebut.
Diskusi Marx mengenai komoditas dan pemberhalaannya membawa kita dari level aktor individual menuju struktur-struktur sosial berskala besar. Pemberhalaan komoditas memberi ekonomi realitas objektif dan independen yang bersifat eksternal dan memaksa kepada sang aktor. Dilihat dengan cara demikian pemberhalaan komoditas diterjemahkan ke dalam konsep reifikasi (Lukacs, 1922/1968, Sherlock, 1997).
Reifikasi dapat dipikirkan sebagai pembendaan (thingification) atau proses menjadi percaya bahwa bentuk-bentuk sosial yang diciptakan secara manusiawi adalah benda-benda alamiah, universal, dan absolut. Hasil reifikasi, bentuk-bentuk sosial benar-benar mendapat sifat-sifat itu. Konsep reifikasi menyiratkan, manusia percaya bahwa struktur-struktur sosial berada di luar kendali mereka dan tidak dapat diubah. Reifikasi terjadi ketika kepercayaan itu menjadi suatu ramalan yang terwujud.
Lalu struktur-struktur itu benar-benar mendapat sifat yang diberikan manusia kepadanya. Manusia menjadi terserap oleh objektivitas dan otoritas kepura-puraan ekonomi. Akan tetapi, menurut Marx ekonomi bukan suatu benda alamiah yang objektif. Ekonomi adalah suatu bentuk dominasi, dan keputusan-keputusan tentang suku bunga dan PHK adalah keputusan-keputusan politis yang cenderung menguntungkan satu kelompok dibanding kelompok lain.
Manusia mereifikasi seluruh deretan hubungan sosial dan struktur sosial. Sebagaimana manusia mereifikasi komoditas-komoditas dan fenomena ekonomi lainnya (contohnya, pembagian kerja [Rattansi, 1982; Wallimann, 1981]), mereka juga mereifikasi struktur-struktur agamis (Barbalet, 1983:147), politis, dan organisasional.
Marx memaksudkan hal serupa ketika mengacu kepada negara:Dan persis dari kontradiksi di antara individu dan... komunitas, komunitas mengambil bentuk independen sebagai negara, yang bercerai dari kepentingan-kepentingan nyata individu dan komunitas (dikutip di dalam Bender, 1970:176).
Kapitalisme terbuat dari tipe-tipe khusus relasi-relasi sosial yang cenderung mengambil bentuk-bentuk yang tampak independen dan pada akhirnya independen dari manusia aktual yang terlibat. Seperti dikatakan oleh Moishe Postone (1993:4) kepada kita, Hasilnya ialah suatu bentuk dominasi sosial baru yang semakin abstrak—dominasi yang menundukkan manusia kepada keharusan-keharusan struktural tidak berpribadi dan pembatasan-pembatasan yang tidak dapat dipahami secara memadai dari segi dominasi konkret (misalnya, dominasi pribadi atau kelompok).
Contoh Reifikasi
Adapun untuk contoh reifikasi paling baik digambarkan dalam karyanya Georg Simmel: The Philosophy of Money (1907/1978)
Uang dan Nilai
Simmel berargumen bahwa manusia menciptakan nilai dengan membuat objek-objek, memisahkan diri dari objek-objek itu, dan kemudian berusaha mengatasi jarak, rintangan-rintangan, dan kesulitan-kesulitan (Simmel, 1907/1978:66). Semakin besar kesulitan memperoleh suatu objek, semakin besar nilainya. Akan tetapi, kesulitan pencapaian mempunyai suatu batas yang lebih rendah dan yang lebih tinggi (Simmel. 1907/1978:72).
Prinsip umumnya ialah bahwa nilai benda-benda berasal dari kemampuan orang untuk menjaga jarak dirinya yang tepat dari objek-objek itu. Hal-hal yang terlalu dekat, terlalu mudah diperoleh, tidak begitu bernilai. Suatu pengerahan tenaga dibutuhkan untuk sesuatu yang dianggap bernilai. Sebaliknya, hal-hal yang terlalu jauh, terlalu sulit, atau hampir mustahil diperoleh juga tidak begitu bernilai.
Hal-hal yang paling bernilai adalah yang tidak terlalu jauh, juga tidak terlalu dekat. Demikian, orang mencoba menempatkan diri pada suatu jarak yang tepat dari objek-objek yang pasti dapat dicapai, tetapi yang tidak terlalu mudah dicapai.
Kesulitan dalam memperoleh uang, yang berarti kesulitan mendapat objek-objek itu, membuat objek itu bernilai bagi kita. Pada saat yang sama, ketika kita memperoleh cukup uang, kita dapat mengatasi jarak di antara diri kita dan objek-objek itu. Dengan demikian, uang melaksanakan fungsi yang menarik yang menciptakan jarak antara orang dan objek-objek dan kemudian memberikan alat-alat untuk mengatasi jarak itu.
Uang, Reifikasi, dan Rasionalisasi
Di dalam proses penciptaan nilai, uang juga memberikan dasar untuk pengembangan pasar, ekonomi modern, dan pada akhirnya masyarakat modern (kapitalistik) (Poggi, 1996). Uang memberikan alat-alat yang membuat entitas-entitas tersebut memperoleh kehidupannya sendiri yang eksternal bagi, dan memaksa bagi, sang aktor.
Simmel melihat proses reifikasi itu sebagai hanya bagian dari proses yang lebih umum melalui mana pikiran mewujudkan dan menyimbolkan dirinya di dalam objek-objek. Perwujudan-perwujudan itu, struktur-struktur simbolik tersebut, menjadi direifikasi dan pada akhirnya menjalankan kekuatan mengendalikan terhadap aktor.
Uang tidak hanya benar-benar membantu menciptakan suatu dunia sosial yang direifikasi, juga menyumbang bagi rasionalisasi dunia sosial yang terus meningkat (Deutschmann, 1996;B. Turner, 1986). Sebagian karena ekonomi uang, intelek telah dianggap sebagai hal yang paling bernilai dari energi-energi mental kita.
Demikian, tema rasionalisasi yang semakin bertambah dalam karya Simmel tersebut berkaitan dengan konteks pemikiran Simmel mengenai hal yang tidak rasional. Menurut Simmel, tidak rasional adalah suatu unsur kehidupan utama yang hakiki, suatu aspek integral dari kemanusiaan kita. Maka kemunduran yang berangsur-angsur di dalam perluasan dunia modern yang sangat terrasionalisasi menyiratkan suatu pemiskinan sifat yang tidak dapat disangkal (Arditi, 1996:95).
Satu contoh dari tidak rasional adalah cinta (yang lainnya adalah emosi dan iman), cinta adalah tidak rasional karena, di antara hal-hal lain, tidak praktis, sering berlawanan dengan pengalaman intelektual, tidak harus mempunyai nilai nyata, bersifat dorongan hati, tidak ada campur tangan sosial dan budaya di antara pencinta dan yang dicintai, dan ia berasal dari kedalaman kehidupan yang sama sekali tidak rasional (Simmel, di dalam Arditi, 1996:96).
Dengan rasionalisasi yang terus bertambah, kita mulai kehilangan yang tidak rasional dan bersamanya kita kehilangan... yang paling bermakna dari sifat-sifat manusiawi kita: keaslian/ otensitas kita (Arditi, 1996:103). Hilangnya keaslian, hal yang tidak rasional tersebut, adalah suatu tragedi manusia yang nyata.
Di permukaan, tampak bahwa uang hanyalah alat untuk beragam tujuan atau, dalam kata-kata Simmel, bentuk alat yang paling murni (1907/1978:210). Akan tetapi, uang telah menjadi contoh paling ekstrim suatu alat yang telah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.
Efek-efek Negatif
Suatu masyarakat yang menjadikan uang sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri, benar-benar tujuan terakhir, mempunyai sejumlah efek negatif pada individu (Beilharz, 1996), dua hal yang paling menarik dari efek-efek itu adalah bertambahnya sinisme dan sikap bosan.
Sinisme muncul ketika aspek-aspek yang paling tinggi maupun paling rendah dari kehidupan sosial diperjualbelikan, direduksi ke suatu bilangan pembagi—uang. Dengan demikian, kita dapat membeli keindahan atau kebenaran atau kecerdasan nyaris semudah kita dapat membeli kerupuk atau deodoran. Suatu ekonomi uang juga menyebabkan sikap bosan, semua hal sama menjemukannya dengan warna abu-abu, sehingga tidak menggembirakan bila memperolehnya (Simmel, 1907/1978:256).
Efek negatif lainnya dari ekonomi uang adalah hubungan-hubungan yang semakin impersonal antarmanusia. Hal tersebut berhubungan dengan Isu yang masih ada kaitannya dengan dampak ekonomi uang pada kebebasan individual. Semakin hilangnya ketergantungan dari suatu hubungan sosial ternyata malah menyebabkan peningkatan di dalam perbudakan individu oleh hal yang bersifat anonim yaitu uang.
Dampak lainnya adalah kecenderungan untuk mereduksi semua nilai manusiawi kepada istilah-istilah dolar, Kecenderungan mereduksi nilai manusia kepada ungkapan moneter (Simmel, 1907/1978:356), contohnya penukaran seks untuk uang, perluasan jaringan pelacuran sebagian dapat dilacak kepada pertumbuhan ekonomi uang.
Terakhir dampak uang terhadap gaya hidup masyarakat. Suatu masyarakat yang didominasi oleh ekonomi uang cenderung mereduksi apa pun kepada rangkaian hubungan-hubungan kausal yang dapat dipahami secara intelektual, bukan secara emosional. Terkait dengan hal yang terakhir ialah apa yang disebut Simmel watak menghitung di dalam kehidupan di dalam dunia modern.
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Lihat Juga:
Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.1 Perubahan Sosial dan Dampaknya (Kurikulum 2013)
2. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.2 Perubahan Sosial dan Dampaknya (Kurikulum 2013)
3. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.3 Perubahan Sosial dan Dampaknya (Kurikulum 2013)
4. Materi Sosiologi Kelas XII. Bab 1. Perubahan Sosial dan Dampaknya (Kurikulum 2013)
5. Materi Sosiologi Kelas XII. Bab 1. Perubahan Sosial (KTSP)
6. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.1 Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
7. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.2 Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
8. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.3 Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
9. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.4 Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
10. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.5 Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
11. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 1.6 Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
12. Materi Ujian Nasional Kompetensi Perubahan Sosial
13. Materi Ringkas Perubahan Sosial
Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas XII. Bab 2. Modernisasi dan Globalisasi (KTSP)
2. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2. Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum 2013)
3. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.1 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum 2013)
4. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.2 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum 2013)
5. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.3 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum 2013)
6. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.1 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum Revisi 2016)
7. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.2 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum Revisi 2016)
8. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.3 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum Revisi 2016)
9. Materi Sosiologi Kelas XII Bab 2.4 Globalisasi dan Perubahan Komunitas Lokal (Kurikulum Revisi 2016)
10. Materi Ujian Nasional Kompetensi Globalisasi dan Dampaknya
11. Materi Ringkas Globalisasi dan Dampaknya
Post a Comment