Hukum Dagang: Pengertian, Sejarah, Sumber, dan Contoh Kasusnya
Table of Contents
Hukum Dagang |
Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang adalah ilmu yang mengatur hubungan antara suatu pihak dengan pihak lain yang berkaitan dengan urusan-urusan dagang. Hukum dagang termasuk kategori hukum perdata, tepatnya hukum perikatan. Hukum dagang berkaitan dengan hak dan kewajiban antarpihak yang bersangkutan dalam urusan dagang. Hukum perikatan mengatur hal tersebut, itulah sebabnya hukum dagang dikategorikan ke dalam hukum perikatan.
Sebelum tahun 1938 Hukum Dagang hanya mengikat para pedagang saja. Kemudian, sejak tahun 1938 pengertian dari perdagangan mengalami perluasan kata menjadi segala kegiatan yang berkaitan dengan usaha.
Jadi sejak saat itulah hukum dagang diberlakukan tidak hanya untuk pedagang melainkan juga untuk semua orang yang melakukan kegiatan usaha.
Hukum Dagang Menurut Para Ahli
1. Achmad Ichsan, hukum dagang adalah hukum yang mengatur tentang perdagangan dan perniagaan. Mulai dari mengatur permasalahan yang timbul sehingga mengatur masalah perilaku manusia yang terlibat di dalam perdagangan dan perniagaan.
2. Subekti, hukum dagang sebagai aturan yang mengatur hubungan istimewa (privat) anggota masyarakat dengan badan hukum.
3. Purwo Sucipto, hukum perdagangan sebagai hukum perikatan yang timbul dalam lapangan perusahaan.
4. Sunaryati Hartono, hukum dagang sebagai hukum ekonomi keseluruhan keputusan yang mengatur masalah kegiatan perekonomian.
5. Munir Fuadi, hukum dagang adalah segala aturan yang memuat tata cara tentang melakukan kegiatan perdagangan baik di bidang industri maupun dalam bidang keuangan yang masih berhubungan dengan kegiatan tukar menukar barang dan produksi.
Sejarah Hukum Dagang
Sejarah hukum dagang diperkenalkan oleh bangsa Romawi yang pertama kali diprakarsai oleh Kaisar Justianus. Ia salah satu orang yang mengatur hubungan antar warga yang termuat dalam Corpus Juris Civilis atau karya Perundang-undangan. Di Benua Eropa, masyarakatnya memiliki budaya berpindah-pindah, khususnya bagi kaum pedagang. Sehingga wajar jika terjadi perpindahan dari kota ke kota secara cepat. Meskipun terjadi perpindahan tempat, mereka sudah tidak dipusingkan lagi masalah hukum dagang karena sudah ada Corpus Juris Civilis yang berlaku untuk para pedagang ataupun penduduk.
Kemudian di abad ke-19 Prancis melakukan kodifikasi di bidang Hukum Perdata (Code civil) dan hukum dagang (Code de commerce). Di mana aturan ini pun secara isi tidak jauh berbeda dengan kalangan para pedagang di Belanda.
Itu sebabnya, di Prancis di bawah pemerintahan Louis ke-14 dibuatlah penataan ulang masalah hukum dagang dan menghasilkan beberapa hal penting seperti
1. Tahun 1673 dibuat ketentuan tentang perdagangan secara umum (Ordonnance De Commerce)
2. Tahun 1681 dibuat ketentuan tentang perdagangan melalui laut (Ordonnance De la Marina)
3. Tahun 1789 Muncullah kitab Undang-undang Hukum dagang (Code De Commerce)
Dengannya aturan hukum dagang di Prancis dan di Belanda memiliki banyak kesamaan. Indonesia salah satu negara jajahan Belanda, di mana secara tidak langsung, banyak akulturasi yang terjadi dengan penjajahan belanda. Salah satunya masalah aturan dagang.
Jika di Belanda dan di Prancis terdapat kodifikasi code civil dan code de commerce, maka di Indonesia ada istilah kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang. Atau yang biasa kita dengar dengan istilah KUHD dan KUH perdata.
Permasalahan muncul, pasalnya istilah hukum dagang di Bab I KUHD Indonesia dianggap kurang tepat. Berdasarkan UU Belanda (WET) tertanggal 2 Juli 1934 telah menghapuskan seluruh Bab I dari KUHD.
Berdasarkan pasal 2 sampai pasal 5 mengulas tentang “pedagang dan perbuatan dagang”, diganti menggunakan istilah yang pas yaitu “Hukum perusahaan”. Masalah tidak berhenti sampai di situ saja. Muncul masalah lain yang disebabkan oleh kemunculan pasal-pasal tersebut seperti,
1. Perdagangan dalam barang-barang tetap tidak dimasukkan dalam pengertian perdagangan menurut pasal KUHD.
2. Kesulitan menentukan perbuatan dagang menurut rumusan KUHD, dan tidak bisa menentukan apakah seseorang sebagai pedagang atau bukan.
3. Jika ada interaksi antara penjual dan pembeli, maka tidak dapat masuk dalam kategori usaha dagang.
Terjadinya kesulitan inilah yang pada akhir di Netherlands di tahun 1934 terjadi perubahan dagang yang dilakukan oleh Wet. Sebagai gantinya di tanggal 2 Juli 1934 dibuatlah penjelasan resmi tentang “perusahaan dan perbuatan perusahaan”.
Perubahan yang terjadi di Netherlands (Belanda) ini pun mempengaruhi aturan hukum dagang di Indonesia juga. Indonesia mengganti berdasarkan asas konkordansi (vide Pasal 75 R.R) dengan perubahan dengan Stb 1938 No.276 .
Sumber Hukum Dagang
Berdasarkan sejarah di atas, maka sumber hukum dagang di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut di antaranya, 1. Hukum tertulis yang dikodifikasikan
Kitab Undang-undang hukum dagang (KUHD) atau yang disebut dengan Wetboek an koophandel (MVK) yang diberlakukan sejak 1 1 Mei 1848 yang dibagi menjadi dua kitab dan 23 Bab. Di mana di dalam KUHD itu sendiri tercantum bahwasanya implementasi dan pengkhususan dari cabang-cabang hukum dagang isi pokok KUHD Indonesia adalah kitab tentang Dagang Umum yang memuat 10 BAB, dan kitab berjudul tentang Hak-hak dan Kewajiban yang Terbit dari pelayaran yang memiliki 13 Bab.
Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW) yang mengulas tentang buku tentang III Perikatan.
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan
Nah di dalam hukum tertulis yang belum terkodifikasikan memiliki beberapa peraturan yang diatur dalam beberapa undang-undang sebagai berikut.
a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi;
d. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
3. Hukum Kebiasaan
Sementara hukum dagang yang didasarkan pada hukum kebiasaan bersumber pada dua pasal, yaitu pasal 1339 KUHPerdata dan pasal 1347 KUHPerdata.
Ternyata sumber hukum dagang yang kita gunakan masih mewarisi dari hukum perdagangan milik Belanda. Meskipun demikian, hingga sampai saat ini aturan ini masih tetap relevan dan tidak ada masalah yang begitu berarti.
Contoh Kasus Hukum Dagang
Berikut sejumlah sengketa perniagaan yang pernah terjadi di Indonesia di antaranya,1. Monster Energy Company vs Andria Thamrun
Pada November 2017, Monster Energy Company mengajukan gugatan kepada Andria Thamrun. Perusahaan asal Amerika tersebut menyatakan keberatan dengan merk “Monster” milik Andria. Pasalnya Andria sudah mendaftarkan merk tersebut di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Dirjen Hak Kekayaan Intelektual.
Perusahaan Monster Energy ingin mengambil hak milik tersebut karena merknya telah lebih dulu terdaftar sejak 1992. Namun gugatan tersebut tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung. MA menyatakan gugatan tersebut bersifat kabur dan prematur.
2. IKEA (Intan Khatulistiwa Esa Abadi) vs IKEA Swedia
Sengketa merk kali ini terjadi pada 2013 silam. Perusahaan IKEA Swedia melayangkan gugatan kepada IKEA dari Indonesia untuk membatalkan merk yang sama tersebut. Merk dagang IKEA Indonesia telah sah terdaftar di Dirjen HKI pada Desember 2013.
Mahkamah Agung tidak mengabulkan gugatan dari IKEA Swedia. Hingga tahun 2016 pihak yang berhak menyandang merk tersebut belum sah. Namun manager IKEA Indonesia menyatakan urusan merk tersebut merupakan keputusan dari IKEA Swedia.
3. Toyota Lexus vs ProLexus
Sengketa antara merk lokal dengan internasional juga terjadi pada Toyota Lexus dengan ProLexus. Perusahaan otomotif asal Jepang tersebut menggugat nama Lexus pada produk lain.
Merk dagang Pro Lexus milik Welly Karlan sudah Ditjen HKI pada Januari 2014. Bahkan sudah ada merk 'Lexus' yang sah tercatat di Indonesia dan memiliki reputasi luar biasa.
Dari berbagai sumber
Post a Comment