Perang Salib: Pengertian, Terminologi, Awal Mula, dan Sejarahnya

Table of Contents
Pengertian Perang Salib
Perang Salib

Pengertian Perang Salib

Perang Salib adalah serangkaian peperangan agama di Asia Barat dan Eropa antara abad ke-11 sampai abad ke-17. Kampanye militer yang berlangsung hampir dua abad ini diprakarsai, didukung, dan diarahkan oleh Gereja Katolik Roma.

Perang Salib pertama kali dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 dalam sidang Konsili Clermont. Ia mengimbau hadirin untuk angkat senjata membantu Kaisar Romawi Timur melawan orang Turki Seljuk, dan untuk melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem.

Imbauannya ditanggapi dengan penuh semangat oleh seluruh lapisan masyarakat Eropa Barat. Para sukarelawan dikukuhkan menjadi anggota Laskar Salib melalui pengikraran kaul di muka umum.

Peperangan ini disebut Perang Salib karena ekspedisi militer dari Eropa menggunakan tanda salib pada bahu, lencana, ataupun panji-panji mereka sebagai simbol yang menunjukkan bahwa peperangan yang dilakukan adalah perang suci.

Tujuan utama Perang Salib adalah untuk merebut Yerusalem dan Tanah Suci (sekarang Palestina, Israel, sebagian Lebanon dan Yordania) dari tangan umat Islam. Selain itu, perang ini juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti agama, politik, dan sosial-ekonomi.

Perang Salib berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaisans.

Terminologi Perang Salib

Istilah “Perang Salib” dapat saja dimaknai secara berbeda, tergantung dari pandangan penulis yang menggunakannya. Giles Constable dalam The Historiography of the Crusades (2001) menjabarkan empat sudut pandang berbeda di kalangan para pengkaji sejarah di antaranya,
1. Sudut Pandang Kaum Tradisionalis
Kaum tradisionalis membatasi definisi Perang Salib sebagai perang-perang yang dilakukan oleh umat Kristen di Tanah Suci semenjak 1095 sampai 1291, baik untuk membantu umat Kristen di negeri itu maupun untuk memerdekakan Yerusalem dan Makam Suci dari penjajahan.

2. Sudut Pandang Kaum Pluralis
Kaum pluralis menggunakan istilah Perang Salib sebagai sebutan bagi segala macam aksi militer yang direstui secara terbuka oleh paus yang sedang menjabat.

Pemaknaan ini mencerminkan pandangan Gereja Katolik Roma (termasuk tokoh-tokoh Abad Pertengahan pada masa Perang Salib, seperti Santo Bernardus dari Clairvaux) bahwasanya setiap perang yang direstui oleh Sri Paus dapat disebut secara sah sebagai Perang Salib, tanpa membeda-bedakan sebab, alasan, maupun tempatnya.

Definisi yang luas ini mencakup pula aksi-aksi penyerangan terhadap kaum penyembah berhala dan ahli bidah seperti Perang Salib Albigensia, Perang Salib Utara, dan Perang Salib Husite.

Definisi ini juga mencakup perang-perang demi keuntungan politik dan penguasaan wilayah seperti Perang Salib Aragon di Sisilia, Perang Salib yang dimaklumkan Sri Paus Inosensius III terhadap Markward dari Anweiler pada 1202, dan yang dimaklumkan terhadap orang-orang Stedingen.

Beberapa Perang Salib yang dimaklumkan (oleh paus-paus yang berbeda) terhadap Kaisar Friedrich II beserta putra-putranya, dua Perang Salib yang dimaklumkan terhadap para penentang Raja Henry III dari Inggris, dan aksi penaklukan kembali Semenanjung Iberia oleh umat Kristen.

3. Sudut Pandang Kaum Generalis
Kaum generalis memandang definisi Perang Salib sebagai segala macam perang suci yang berkaitan dengan Gereja Latin dan yang dilakukan sebagai tindakan bela agama.

4. Sudut Pandang Kaum Popularis
Kaum popularis membatasi definisi Perang Salib sebagai perang-perang yang bercirikan gerakan khalayak ramai dengan alasan keagamaan, yakni hanya Perang Salib pertama dan mungkin pula Perang Salib Rakyat.

Awal mula terjadinya Perang Salib

Terjadinya Perang Salib antara Timur-Islam melawan Barat-Kristen disebabkan oleh banyak faktor utama, seperti agama, politik, dan sosial ekomomi. Semua bermula pada tahun 1070, ketika Yerusalem diambil oleh bani Saljuk dari Turki, dan pada 1071 Diogenes, kaisar Yunani, dikalahkan dan ditawan di Mantzikert.

Asia Kecil dan seluruh Suriah menjadi milik bani Saljuk. Antiokhia menyerah pada tahun 1084, dan pada tahun 1092 tidak ada satu pun kota besar di Asia yang dikuasai oleh Kristen.

Hal ini diperparah dengan aturan dari bani Saljuk yang membatasi dan memperketat ziarah umat Kristen ke Yerusalem. Hal ini mendorong umat Kristen untuk mendapatkan kebebasannya kembali dengan berusaha merebut Yerusalem dari tangan kaum Muslim.

Pada tahun 1095, Kaisar Alexius Komnenus meminta Paus Urbanus II untuk mengobarkan semangat perang salib kepada umat Kristen di Eropa. Untuk menyatukan kekuatan, ia menyerukan peperangan dengan tujuan menundukkan gereja-gereja di Timur yang dikuasai oleh umat Islam.

Sejarah Perang Salib

Perang Salib di Tanah Suci lazimnya dipilah-pilah menjadi sembilan perang yang berbeda, mulai dari Perang Salib pertama (1095–1099) sampai Perang Salib kesembilan (1271–1272). Pemilahan menjadi sembilan perang inilah yang digunakan oleh sejarawan Charles Mills dalam karya tulisnya yang berjudul History of the Crusades for the Recovery and Possession of the Holy Land (1820).

Pemilahan tersebut sering kali digunakan sebagai bentuk pemilahan yang paling mudah, meskipun sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Perang Salib kelima dan keenam yang dipimpin oleh Kaisar Friedrich II dapat saja dianggap sebagai satu kali peperangan, demikian pula dengan Perang Salib kedelapan dan kesembilan yang dipimpin oleh Raja Louis IX.
1. Perang Salib Pertama (1095-1101)
Pada bulan Maret 1095 di Konsili Piacenza, duta besar yang dikirim oleh kaisar Bizantium, Alexius Komnenus (Alexius I), meminta bantuan untuk mempertahankan kerajaannya melawan Turki Seljuk. Sedangkan di Konsili Clermont, Paus Urbanus II meminta seluruh umat Kristen untuk bergabung dalam perang melawan Turki Seljuk.

Paus Urbanus II memberikan jaminan kepada siapa pun yang ikut serta dan mati saat perang salib, bahwa mereka akan masuk surga walaupun mempunyai banyak dosa pada masa lalunya.

Setelah turun ke medan perang, tentara salib berhasil mengalahkan dua pasukan besar Turki di Dorylaeum dan di Antiokhia. Mereka akhirnya berbaris ke Yerusalem dengan sebagian kecil pasukan yang tersisa. Pada 1099, mereka berhasil merebut Yerusalem dan menciptakan negara-negara tentara salib kecil yang menjadi bagian dari Kerajaan Yerusalem.

2. Perang Salib Kedua (1145-1150)
Setelah masa damai, di mana umat Kristen dan Muslim hidup berdampingan di Tanah Suci Yerusalem, tentara Islam yang dipimpin oleh Imad ad-Din Zengi merebut Aleppo dan Edessa.

Kekalahan-kekalahan ini menyebabkan Paus Eugenius III menyerukan perang salib lainnya pada tanggal 1 Maret 1145. Perang salib baru ini didukung oleh berbagai pengkhotbah, yang paling terkenal adalah Bernardus dari Clairvaux.

Tentara Prancis dan Jerman, di bawah pimpinan Raja Louis VII dan Konrad III, berbaris ke Yerusalem pada tahun 1147 tetapi gagal mencapai keberhasilan besar. Pada 1150, kedua pemimpin besar itu kembali ke negaranya dengan tangan kosong.

3. Perang Salib Ketiga (1188-1192)
Pada tahun 1187 Salahuddin Al Ayyubi (Saladin) berhasil merebut Yerusalem setelah meraih kemenangan atas pasukan salib di Pertempuran Hattin.

Paus Gregorius VIII pun menyerukan perang salib ketiga, yang langsung disambut oleh Raja Richard I dari Inggris (Richard the Lionheart), Kaisar Romawi Suci Frederick I dan Raja Philip II dari Prancis.

Tentara salib berhasil mengalahkan kaum Muslim di dekat Arsuf, dan berhasil mendekat ke Yerusalem. Namun, karena persediaan makanan dan air yang tidak memadai, perang salib ketiga berakhir dengan kegagalan pasukan Kristen untuk merebut Yerusalem.

Richard pun meninggalkan perang salib setelah mengadakan gencatan senjata dengan Salahuddin. Perang Salib ini terkadang disebut sebagai Perang Salib Raja. Paus Gregorius VIII mati sebelum melihat akhir dari perang salib ini.

4. Perang Salib Keempat (1202-1204)
Perang Salib Keempat dimulai pada tahun 1202 oleh Paus Innosensius III, dengan maksud untuk menginvasi Tanah Suci melalui Mesir. Perang ini juga menjadi kendaraan bagi ambisi politik Doge Enrico Dandolo dari Venesia untuk memperluas kekuasaan Venesia di Timur Dekat dan melepaskan diri dari Bizantium.

Tentara Salib pun membuat kontrak dengannya, namun tidak memiliki dana untuk membayar armada dan ketentuan yang telah mereka kontrak. Dandolo pun meminta mereka untuk mengalihkan perang salib ke Bizantium, dengan kota Zara sebagai jaminan awalnya.

Paus Innosensius III yang terkejut karena peristiwa itu, langsung mengekskomunikasi mereka semua. Walau begitu, mereka kembali melakukan pengepungan pada bulan April 1204. Kali ini Konstantinopel berhasil dijarah, gereja-gereja dirampok, dan banyak penduduk yang dibunuh.

Para tentara salib membagi kekaisaran ini menjadi berbagai fief Latin dan koloni Venesia. Perang Salib Keempat berakhir setelah Bizantium terbagi menjadi dua bagian besar.

5. Perang Salib Kelima (1217)
Melalui prosesi, doa, dan khotbah, Gereja berusaha untuk kembali mengadakan perang salib. Pada tahun 1215, Dewan Keempat Lateran merumuskan sebuah rencana untuk pemulihan Tanah Suci.

Pada fase pertama, pasukan perang salib dari Hongaria, Austria bergabung dengan pasukan raja Yerusalem dan pangeran Antiokhia untuk merebut kembali Yerusalem di tahun 1217.

Pada fase kedua, pasukan perang salib mencapai prestasi luar biasa setelah berhasil mengepung Damietta di Mesir pada tahun 1219. Namun di bawah desakan seorang legatus kepausan, Pelagius, mereka melanjutkan serangan bodoh ke Kairo, dan blokade pasukan Sultan Ayyubiyyah Al-Kamil memaksa mereka untuk menyerah dan mengadakan gencatan senjata.

6. Perang Salib Keenam (1228-1229, 1239)
Setelah berulang kali melanggar sumpahnya dalam perang salib, Kaisar Friedrich II diekskomunikasi oleh Paus Gregorius IX pada tahun 1228. Namun ia berlayar dari Brindisi, mendarat di Palestina, dan melalui diplomasi ia mencapai kesuksesan yang tak terduga. Al-Kamil memberikan Yerusalem, Nazareth, dan Betlehem kepada tentara salib dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Sebagai imbalannya, Friedrich berjanji untuk melindungi Al-Kamil dari semua musuh, sekalipun mereka umat Kristen. Setelah masa tenang ini, Perang Salib Para Baron pun terjadi.

Perang ini adalah suatu upaya oleh Raja Thibaut I dari Navarre pada tahun 1239 dan 1240, yang berawal dari panggilan Paus Gregorius IX untuk kembali menghimpun tentara salib pada bulan Juli 1239 setelah gencatan senjata berakhir.

Selain Thibaut, Peter dari Dreux, Hugues IV dari Bourgogne dan bangsawan Prancis lainnya juga ikut berpartisipasi di dalamnya. Mereka tiba di Akko pada bulan September 1239.

Setelah kekalahan pada bulan November di Gaza, Thibaut mengatur dua perjanjian, satu perjanjian dengan kaum Ayyubiyyah dari Damaskus dan perjanjian lainnya dengan kaum Ayyubiyyah dari Mesir. Perjanjian ini membuat sebagian bangsawan tidak senang, dan Thibaut kembali ke Eropa setelahnya.

7. Perang Salib Ketujuh (1249-1254)
Kepentingan kepausan yang diwakili oleh templar (ksatria salib) membawa konflik dengan Mesir pada 1243. Pada tahun berikutnya, pasukan Khwarezm yang dipanggil oleh anak Al-Kamil, Al-Adil, menyerbu Yerusalem.

Tentara salib, dengan gabungan kaum Franka dan tentara bayaran Badui tetap kalah telak oleh pasukan Baibars dari suku Khwarezmian dalam kurun waktu empat puluh delapan jam.

Pertempuran ini dianggap oleh banyak sejarawan sebagai lonceng kematian bagi negara-negara Kristen. Sebagai bagian dari Perang Salib ini, Louis IX dari Prancis tetap mengorganisasi perang salib melawan Mesir hingga 1254.

8. Perang Salib Kedelapan (1270)
Perang Salib kedelapan diorganisasi oleh Louis IX pada tahun 1270, yang berlayar dari Aigues-Mortes untuk membantu sisa-sisa negara-negara tentara salib di Suriah.

Namun, perang salib tersebut malah dialihkan ke Tunis, tempat Louis menghabiskan dua bulan terakhirnya sebelum mati. Atas usahanya, Louis kemudian menjadi seorang Santo (kota St. Louis, Missouri, AS dinamai untuknya). Perang Salib ini terkadang dipecah menjadi perang salib kedelapan dan kesembilan.

Hasil dari perang salib ini adalah hilangnya kekuasaan Kristen di Suriah, meskipun umat Kristen diizinkan untuk hidup damai di wilayah tersebut.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment