Edward Thorndike: Biografi dan Teori Pembelajarannya
Table of Contents
Edward Thorndike |
Biografi Edward Thorndike
Edward Lee Ted Thorndike (1874-1949) adalah psikolog Amerika yang menghabiskan hampir seluruh kariernya di Teachers College, Columbia University. Ia dikenal sebagai bapak psikologi pendidikan modern.Thorndike dianggap sebagai pelopor beberapa bidang, di antaranya teori belajar, problem nature-nurture, pembelajaran transformatif, serta aplikasi pengukuran kuantitatif terhadap masalah-masalah sosiopsikologi.
Produktivitas ilmiah Thorndike tergolong luar biasa. Hingga tahun 1947, ia telah menulis 507 buku, monografi, serta artikel jurnal. Di dalam autobiografinya tertulis ia menghabiskan waktu sebanyak 20.000 jam untuk membaca buku ilmiah dan jurnal.
Thorndike memang layak disebut ilmuwan penuh dedikasi karena tetap bekerja berhari-hari sebelum kematiannya.
Thorndike lahir pada 31 Agustus 1874 di Williamsburg, Massachusetts. Ia dibesarkan di zaman ketika psikologi ilmiah sedang dikembangkan di lembaga-lembaga akademik. Ia merupakan anak kedua seorang pendeta di Lowell.
Riwayat pendidikannya dimulai di The Roxbury Latin School, West Roxbury, Massachusetts dan lulus pada tahun 1891. Setelah itu, ia melanjutkan studi ke Wesleyan University dan lulus pada tahun 1895.
Thorndike mengenal psikologi dari William James, Principles of Psychology. Karena tertarik dengan isi buku tersebut, ia memutuskan untuk melanjutkan studi pascasarjana ke Universitas Harvard dan belajar di bawah bimbingan James.
Minat penelitiannya adalah dengan anak-anak. Hanya saja, ia menghadapi kendala persyaratan akademik. Jadi, ia beralih menempuh studi pembelajaran pada anak ayam untuk memenuhi persyaratan derajat master. Ia memperoleh gelar M.A. dari Universitas Harvard pada tahun 1897.
Cattel mengundang Thorndike melanjutkan kuliah ke Columbia University. Thorndike melanjutkan penelitiannya mengenai pembelajaran pada hewan, yakni kucing dan anjing. Pada tahun 1898, ia dianugerahi gelar doktor untuk disertasinya yang terkenal karena menyimpulkan bahwa pendekatan eksperimental adalah satu-satunya cara untuk memahami sistem belajar hewan.
Setelah itu, Thorndike kembali menekuni minat awalnya, yakni psikologi pendidikan. Untuk kerja profesional pertamanya, yakni pada tahun 1898-1899, ia diangkat menjadi instruktur pendidikan di Western Reserve University.
Kemudian, pada tahun 1989-1900, ia bekerja di College for Women of Case Western Reserve di Cleveland, Ohio. Ia kemudian diangkat menjadi dosen instruktur psikologi genetika di Teachers College di Columbia University.
Di tempat itu pula ia mencetuskan ide tentang pembelajaran pada manusia, pendidikan, serta pengujian mental. Di sana, pada tahun 1901-1904, ia diangkat menjadi asisten profesor psikologi pendidikan, profesor (periode 1904-1940), serta profesor emeritus (1940-1949).
Dalam periode 1900-1902, Thorndike diangkat menjadi kepala departemen psikologi komparatif di Marine Biological Laboratory of Wood Hole. Di tempat itu, ia mengembangkan psikologi komparatif. Pada tahun 1901, ia diundang menjadi anggota New York Academy of Sciences.
Setahun berselang, ia diangkat menjadi wakil presiden. Pada tahun 1919-1920, ia memegang jabatan sebagai presiden. Ia juga menjadi presiden American Association for the Advancement of Science pada tahun 1934 setelah bergabung sejak tahun 1901.
Investigasi Thorndike di bidang pembelajaran manusia dan hewan termasuk salah satu studi paling berpengaruh dalam sejarah psikologi. Oleh karena itu, pada tahun 1912, ia dipilih menjadi presiden American Psychological Association (APA) berkat prestasinya.
Selanjutnya, pada tahun 1917-1918, ia diangkat menjadi ketua Commitee on Classification of Personel United States Army. Ia juga pernah menjadi anggota Advisory Board Division of Psychology di Office of the Surgeon General. Ia juga menjadi psikolog pertama yang menjadi anggota National Academy of Sciences.
Seiring berjalannya waktu Thorndike semakin terkenal dan publikasinya menjadi rujukan utama. Ia banyak mendapatkan posisi anggota kehormatan, termasuk dari British Psychological Society, Leningrad Scientific-Medical Pedological Society, serta Comenius Educational Association of Czechoslovakia.
Ia juga diundang mengajar di sejumlah kampus di Amerika Serikat dan kawasan Eropa serta menjadi pembicara di seminar-seminar internasional. Pada periode 1936-1937, Thorndike menjadi presiden di lembaga Psychometric Society.
Adapun lembaga-lembaga di luar bidang psikologi, seperti American Economics Association, American Philosophical Association, serta American Sosiological Society memberikan keanggotaan padanya. Hal ini tidak mengherankan karena teori-teori Thorndike mempengaruhi banyak bidang keilmuan.
Meskipun secara formal pensiun pada tahun 1939, Thorndike tetap bekerja secara aktif sampai didatangi kematian. Ia meninggal pada Agustus 1949 di usia 74 tahun.
Dalam hal kehidupan pribadi, ia menikah dengan Elizabeth Moulton pada tahun 1900 dan dikaruniai 4 anak, yakni Elizabeth Frances (matematikawan), Edward Moulton (fisikawan), Robert Ladd (psikolog), serta Allan (fisikawan).
Pengaruh Thorndike dalam psikologi tidak perlu diragukan lagi. Ia adalah orang pertama yang menerapkan prinsip-prinsip psikologi dalam bidang pembelajaran manusia dan hewan. Ia juga dianggap sebagai psikolog pembuka jalan menuju behaviorisme.
Tak terhitung tokoh-tokoh psikologi yang terpengaruh oleh pemikirannya, termasuk B.F. Skinner dan Clark Hull. Teori-teorinya juga mempengaruhi dunia filsafat, sosiologi, pendidikan, militer, serta industri, serta pelayanan publik dan swasta.
Teori Pembelajaran Edward Thorndike
Dalam catatan sejarah, Thorndike adalah ilmuwan pertama yang mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi pada sistem pembelajaran, baik hewan maupun manusia. Penelitiannya dimulai dengan studi mengenai telepati mental pada anak-anak. Ia melanjutkan penelitian tersebut pada ayam, kucing, tikus, anjing, ikan, monyet, hingga akhirnya manusia dewasa.Teori Dasar
1. Koneksi stimulus dan respons
Thorndike mengungkapkan bahwa tingkah laku setiap makhluk hidup merupakan koneksi antara stimulus dan respons. Maka, tak heran jika konsep pembelajaran Thorndike sering disebut koneksionisme. Koneksi yang dimaksud Thorndike adalah sambungan saraf antara stimulus (S) dan respons (R).
Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons diperlukan kemampuan untuk memilih respons yang tepat melalui percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error). Misalnya, seseorang memiliki masalah (S). Ia akan merespons (R) dengan mencoba suatu penyelesaian (trials).
Ia pasti menemukan banyak kegagalan (error) sebelum akhirnya berhasil. Jadi, semakin kuat S maka R kian besar. Artinya, semakin banyak trials berarti kemungkinan error kian tinggi. Akan tetapi, peluangnya untuk dapat memecahkan masalah semakin besar.
2. Seleksi dan koneksi
Trial dan error pada awalnya disebut Thorndike dengan selecting (memilih) dan connecting (menghubungkan). Misalnya, seseorang sedang menghadapi suatu masalah. Untuk memecahkan masalah itu, ia memikirkan beberapa jalan keluar.
Ia pun mencoba satu atau dua cara (selecting), kemudian menghubungkan percobaan satu dengan yang lain (connecting). Akhirnya, setelah menempuh banyak percobaan dan mengalami berbagai kegagalan, ia berhasil memecahkan masalahnya. Jadi, semakin banyak peluang jalan pemecahan, orang itu kian cepat memecahkan masalahnya.
3. Penambahan dan pendalaman
Menurut Thorndike, belajar merupakan penambahan (incremental), bukan pendalaman (insighful). Artinya, belajar lebih bersifat suatu tambahan daripada pendalaman pengetahuan. Dengan kata lain, belajar terjadi dalam langkah-langkah sistematis yang sangat kecil atau step by step, bukan suatu lompatan besar.
Jika belajar dikatakan sebagai pendalaman maka waktu yang diperlukan seseorang untuk memperoleh solusi dari masalahnya akan relatif panjang. Adapun menurut Thorndike, tidak ada perubahan waktu untuk mencari solusi dalam belajar.
4. Belajar tidak dipengaruhi ide-ide
Berdasarkan penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar merupakan proses langsung dan tidak dipengaruhi oleh proses berpikir atau suatu alasan. Sebagai contoh, seekor kucing yang lapar ditaruh di dalam kotak yang berlubang-lubang.
Sementara itu, di luar kotak disediakan makanan. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk keluar dan mendapatkan makanan adalah menarik tali pembuka pintu. Maka, kucing tersebut tidak akan melihat situasi—apalagi memikirkannya—untuk memutuskan hal yang harus dilakukan.
Perilaku tersebut diperoleh dari naluri dan pengalaman sebelum-sebelumnya sebagai reaksi yang cocok untuk mengatasi situasi tersebut. Dengan demikian, pembelajaran merupakan proses yang tidak dimediasi ide-ide, tetapi oleh pengalaman dalam wujud percobaan.
5. Semua makhluk belajar dengan cara yang sama
Menurut Thorndike, semua makhluk hidup, baik hewan maupun manusia belajar dengan cara yang sama. Pada awalnya, mereka mencari peluang atau solusi terhadap berbagai masalahnya. Kemudian mereka melakukan banyak percobaan dan kesalahan sehingga berhasil mengatasi situasi.
Proses Belajar
Berpijak pada kelima dasar teori yang sudah disebutkan, Thorndike mengembangkan pemikirannya tentang proses belajar. Gagasannya mengenai hal ini secara garis besar dibagi dua bagian, yakni sebelum tahun 1930 dan sesudah tahun tersebut.
Hal tersebut mengingat sesudah tahun 1930, Thorndike merevisi sebagian pemikirannya. Menurut Thorndike, proses belajar mengikuti beberapa kaidah hukum berikut ini.
1. Hukum kesiapan
Hukum kesiapan (the law of readiness) memiliki tiga elemen kunci sebagai berikut.
a. Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, maka melakukannya adalah memuaskan
b. Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, tidak melakukannya adalah menjengkelkan
c. Ketika seseorang tidak siap untuk melakukan tindakan tertentu dan dipaksa melakukannya, hal itu adalah menjengkelkan
Tiga elemen hukum kesiapan tersebut biasa ditemukan oleh dan di dalam diri setiap orang yang menempuh proses belajar. Elemen pertama adalah kondisi yang diinginkan setiap orang.
Namun demikian, kondisi yang kedua dan ketiga kadang kala terjadi. Biasanya, orang yang berhadapan dengan kondisi yang kedua dan ketiga akan mengalami frustrasi.
2. Hukum latihan
Hukum latihan atau the law of exercise memiliki dua elemen kunci berikut.
a. Hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat ketika digunakan. Dengan kata lain, melalui latihan secara berulang, hubungan stimulus respons akan semakin erat. Elemen hukum latihan biasanya disebut sebagai hukum penggunaan (law of use).
b. Hubungan antara stimulus dan respons melemah ketika tidak digunakan. Dengan kata lain, jika latihan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan maka hubungan stimulus dan respons semakin berkurang. Elemen hukum latihan ini biasanya disebut hukum tidak digunakan (law of disuse).
Jadi, hukum latihan berkaitan dengan penguatan dan pelemahan koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mendefinisikan penguatan sebagai peningkatan respons yang akan terjadi ketika stimulus diberikan berulang-ulang.
Jika koneksi antara stimulus dan respons diperkuat pada waktu-waktu sebelumnya maka selanjutnya hubungan keduanya akan semakin kuat. Sebaliknya, jika sampai saat ini ikatan stimulus dan respons dibiarkan lemah, pada waktu berikutnya koneksi keduanya akan semakin memburuk.
Sebagai catatan, hukum latihan ini direvisi oleh Thorndike pasca tahun 1930. Sebab, ia menemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus dan respons.
Meskipun begitu, Thorndike tetap mempertahankan pendapatnya bahwa latihan dapat mendorong peningkatan kecil bagi pemahaman individu. Adapun kurangnya latihan menyebabkan individu sering lupa.
3. Hukum efek
Hukum efek (the law of effect) menyatakan bahwa kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons merupakan akibat dari konsekuensi respons. Sebagai contoh, jika respons diikuti oleh rasa puas (reward) maka hubungan antara stimulus dan respons semakin kuat.
Sebaliknya, jika respons diikuti rasa menjengkelkan (punishment), hubungan stimulus dan respons kian lemah.
Setelah tahun 1930, hukum efek direvisi oleh Thorndike. Setelah direvisi, hukum efek menyatakan bahwa respons diikuti oleh keadaan memuaskan dari stimulus yang diperkuat.
Selain itu, Thorndike juga menyatakan bahwa efek hadiah (reward) dapat menguatkan hubungan stimulus dan respons. Adapun hukuman (punishment) tidak berpengaruh terhadap kekuatan hubungan stimulus dan respons.
Untuk melengkapi hukum efek, pada tahun 1930, Thorndike juga memunculkan konsep sebaran efek (spread of effect), yaitu akibat dari suatu perbuatan dapat menular.
Menurutnya, kondisi memuaskan tidak hanya meningkatkan peluang terulangnya respons yang mengarah pada kondisi memuaskan tersebut. Sebab, respons di sekitar respons yang dikuatkan juga ikut terulang.
Perhatikan contoh berikut ini. Peneliti menguji seorang anak dengan memberikan sepuluh kata untuk sepuluh angka. Misalnya, laut untuk 1; tinggi untuk 2; napas untuk 3; hidung untuk 4; tulis untuk 5; ayam untuk 6; pergi untuk 7; lambai untuk 8; makan untuk 9; serta halo untuk 10.
Jika misalnya peneliti memberi stimulus dengan berkata ayam dan anak merespons dengan menyebut 6, peneliti akan mengatakan benar. Jika peneliti memberikan stimulus dengan berkata halo dan anak merespons dengan menyebut 2, peneliti akan mengatakan salah.
Eksperimen tersebut dapat membuahkan dua hasil. Pertama, ternyata reward (peneliti berkata benar) meningkatkan peluang pengulangan angka yang sama ketika kata stimulus diberikan. Misalnya, jawaban anak benar dengan menyebut 5 ketika peneliti berkata tulis.
Angka 5 ini memiliki peluang besar untuk disebut lagi oleh anak pada pemberian stimulus berikutnya oleh peneliti. Sebaliknya, punishment (peneliti berkata salah) tidak mengurangi peluang pengulangan angka yang keliru.
Misalnya, anak salah dengan menyebut 9 ketika peneliti berkata hidung. Angka 9 ini tetap memiliki peluang besar untuk disebutkan kembali oleh si anak pada saat pemberian stimulus berikutnya oleh peneliti. Berdasarkan penelitian ini Thorndike merevisi hukum efek.
Kedua, peluang pengulangan angka sebelum dan setelah angka benar ternyata terus meningkat. Hal tersebut berlaku meskipun angka itu tidak mendapat penguatan atau bahkan berada di dekat angka salah.
Misalnya, pada tes keempat, anak benar menyebut 5 untuk stimulus tulis. Selanjutnya, angka 4 dan 6 mempunyai peluang untuk diulang si anak sekalipun angka 6 berada di dekat 7 yang—misalnya—pada tes ketiga menjadi angka yang salah karena anak menyebut 7 untuk stimulus tinggi.
Oleh sebab itu, Thorndike menyebut kondisi memuaskan menyebar dari respons yang dikuatkan ke respons di sekelilingnya. Ia menyebut fenomena ini dengan nama spread of effect (sebaran efek).
Thorndike juga menemukan bahwa efek ini akan menghilang seiring bertambahnya jarak. Dengan kata lain, respons yang dikuatkan memiliki peluang pengulangan terbesar, kemudian diikuti oleh respons terdekat dengan respons yang dikuatkan, dan seterusnya.
Ketika menemukan sebaran efek, Thorndike merasa ia telah menemukan penegasan lain untuk hukum efek. Sebab, penguatan tidak hanya meningkatkan peluang respons yang dikuatkan, tetapi juga respons-respons di dekatnya.
Hal ini tetap berlaku sekalipun respons-respons tersebut memperoleh hukuman. Ia juga merasa sebaran efek lebih jauh menunjukkan sifat belajar yang langsung dan otomatis.
4. Variasi respons
Variasi respons (respons multiple) adalah kecenderungan munculnya respons tertentu dari suatu stimulus. Ketika respons pertama tidak memecahkan permasalahan, seseorang biasanya akan mencoba respons lain yang lebih cocok dan dianggap mampu memecahkan masalah tersebut. Jika masih tidak bisa, ia akan mencoba respons lain. Begitu pun seterusnya.
Dalam hal ini, variasi respons amat berkaitan dengan percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors). Melalui proses trial and error, seseorang akan terus melakukan respons sebelum akhirnya memperoleh respons paling tepat dalam memecahkan masalah.
5. Set atau attitude
Set atau attitude adalah situasi di dalam individu yang menentukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak baginya. Proses belajar akan berlangsung dengan baik apabila situasi terasa menyenangkan. Sebaliknya, proses belajar akan terganggu apabila situasi berjalan tidak menyenangkan.
6. Prinsip aktivitas parsial
Prinsip aktivitas parsial (partial activity) berkenaan dengan kenyataan bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu. Dalam proses belajar, manusia harus memerhatikan lingkungan kompleks yang dapat memberi kesan khusus (berbeda) bagi setiap orang.
Dengan demikian, seseorang dapat memberikan respons berbeda dari stimulus lingkungan yang beragam. Artinya, aktivitas respons itu bersifat parsial.
7. Prinsip pemindahan latihan
Prinsip transfer latihan (transfer of training) menjelaskan bahwa seseorang yang sedang menghadapi situasi asing (belum pernah dialami sebelumnya) akan merespons dengan cara memindahkan (mentransfer) unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru tersebut.
Prinsip ini dikenal sebagai theory of identical elements yang menyatakan bahwa semakin banyak unsur yang identik, maka proses transfer kian mudah. Misalnya, seseorang mengenal negara Yunani.
Jika suatu saat diajak ke Italia, ia akan menerapkan (mentransfer) cara hidup yang ia kenal di Yunani ke Italia. Sebab, ia menganggap baik penduduk Yunani maupun Italia adalah bangsa Mediterania yang dalam satu atau beberapa hal memiliki kesamaan.
8. Prinsip pergeseran asosiasi
Pergeseran asosiasi (associative shifting) yaitu proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal menuju situasi asing (belum) dikenal secara bertahap. Hal tersebut dilakukan dengan cara menambahkan unsur-unsur baru secara perlahan.
Di sisi lain, unsur-unsur lama dibuang sedikit demi sedikit. Melalui cara ini, unsur baru dapat dikenal dengan mudah oleh individu.
Contoh terbaik yang menggunakan prinsip pergeseran asosiasi adalah iklan. Untuk mengiklankan produk kecantikan, seseorang perlu memasang gambar gadis cantik sebagai objek stimulus yang dapat menimbulkan perasaan positif orang-orang yang melihat iklan itu.
Dalam hal ini, orang tersebut sebenarnya mengasosiasikan produk kecantikan dengan gadis cantik. Hal ini terlepas dari apakah si gadis menggunakan produk kecantikan tersebut atau tidak. Ia menggeser sesuatu yang lama (gadis) kepada hal baru (produk). Tujuannya, tentu saja agar sesuatu yang baru (produk) itu dikenal oleh masyarakat.
Perlu dicatat bahwa prinsip pergeseran asosiasi ini sangat berbeda dengan pembelajaran trial and error yang diatur oleh hukum efek. Prinsip pergeseran asosiasi hanya bergantung pada kedekatan.
Namun, pada tahun 1930, Thorndike merevisi (menyempurnakan) hal ini. Ia mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi, hukum efek juga sering terlibat selain faktor kedekatan. Dari sini, ia menambahkan suatu konsep yang disebut belongingness, yakni terjadinya hubungan stimulus dan respons bukan disebabkan oleh kedekatan, melainkan adanya kesesuaian antara stimulus dan respons.
Misalnya, orang yang merasa jelek pada bagian tubuh tertentu akan berusaha mencari iklan kecantikan sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini sama saja dengan binatang lapar akan mencari makanan yang memuaskan baginya.
Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, menjelaskan penyebab seseorang ketika belajar materi verbal cenderung mengatur apa yang telah dipelajarinya ke dalam bagian yang dianggapnya sebagai milik bersama.
Kedua, menjelaskan bahwa jika efek yang dihasilkan oleh respons berkaitan erat dengan kebutuhan seseorang maka pembelajaran akan lebih efektif daripada efek respons yang tidak berhubungan dengan kebutuhannya.
Thorndike juga menyatakan bahwa respons paling mudah diberikan dalam arah yang merupakan common sense. Misalnya, hampir semua orang bisa meramalkan alfabet maju. Akan tetapi, hanya sedikit dari mereka yang mampu membacanya dari belakang.
Demikian pula, sebagian besar murid sekolah di Indonesia bisa melafalkan ikrar Pancasila dari depan. Namun, jarang di antara mereka mampu membacanya secara terbalik.
Dari berbagai sumber
Post a Comment