Zaman Mesolitikum: Pengertian, Sejarah, Ciri, dan Peninggalannya

Table of Contents

Pengertian Zaman Mesolitikum
Zaman Mesolitikum

Pengertian Zaman Mesolitikum

Zaman Mesolitikum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah masa peralihan dalam zaman batu (prasejarah) antara Paleolitikum (zaman batu tua) dan Neolitikum (zaman batu baru). Mesolitikum (Zaman Batu Madya) dari bahasa Yunani mesos (tengah) dan lithos (batu). Pada zaman ini, kehidupan manusia beralih dari pola pemburu-pengumpul ke cara hidup menghasilkan makanan.

Adanya kemampuan menghasilkan makanan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba sudah menetap secara permanen.  Tempat hidup manusia purba terdapat di dekat sungai, danau, bukit dan hutan-hutan serta tempat-tempat yang di dekat dengan air.

Pada masa ini, kegiatan berburu masih tetap dilakukan, walaupun frekuensinya tidak sering seperti masa sebelumnya. Sistem berladang secara berpindah ini disebut juga bergumah. Kegiatan seperti ini masih sering dijumpai di Indonesia seperti di pedalaman Papua dan Kalimantan.

Jika dibandingkan dengan zaman sebelumnya pada era ini perkembangan manusia jauh lebih cepat dari berbagai aspek kehidupan. Kondisi alam yang jauh lebih stabil dan terkendali menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan kebudayaan zaman mesolitikum lebih cepat.

Dampaknya adalah masyarakat atau manusia purba di era ini bisa  meneruskan hidup yang jauh lebih damai.  Selain itu, teknologi juga sudah berkembang dengan cukup pesat dibandingkan dengan zaman paleolitikum, sehingga manusia sudah mampu mengolah batu-batuan menjadi alat-alat yang lebih hebat.

Istilah Zaman Mesolitikum diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah" (bahasa Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu sering digunakan sampai V. Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of Europe (1947).

Sejarah Zaman Mesolitikum

Pada zaman ini manusia lebih cerdas dibandingkan dengan para pendahulunya. Mereka sudah mulai menetap dan membangun tempat tinggal yang semi permanen dan mereka juga mulai bercocok tanam meskipun dengan cara yang masih sederhana.

Tempat yang mereka pilih untuk dijadikan tempat tinggal umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche). Sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan peninggalan-peninggalan kebudayaan manusia pada zaman itu.

Manusia purba pada zaman ini masih menggunakan alat-alat yang terbuat dari tulang dan tanduk hewan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti pada zaman mengumpulkan makanan di zaman paleolitikum. Alat-alat pada zaman mesolitikum banyak ditemukan di pulau Sumatra, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara bagian timur.

Manusia yang hidup di zaman batu tengah ini sudah mempunyai kemampuan untuk membuat gerabah dari bahan tanah liat. Benda-benda hasil budaya mesolitikum yang di temukan, di antaranya adalah kapak genggam Sumatra (sumatralith pebble culture), flake (flakes culture) di daerah Toala, alat dari bahan tulang (bone culture) di Sampung.

Manusia Purba Pendukung Zaman Mesolitikuma
Manusia pendukung zaman mesolitikum adalah bangsa melanosoid, yang diperkirakan merupakan nenek moyang orang Sakai, Aeta, Aborigin serta Papua. Hal ini dibuktikan dengan penemuan fosil ras papua melanosoid atau austromelanosoid, di situs Sampung tempat kebudayaan alat tulang (bone culture) diketemukan.

Fosil manusia ras Papua Melanosoid juga diketemukan di bukit-bukit kerang yang merupakan tumpukan sampah dapur (kjoken mondinger) manusia zaman ini di Sumatra. Sedangkan menurut Sarasin, pendukung kebudayaan Toala  adalah nenek moyang suku Toala, yaitu keturunan ras Wedda dari Srilangka.

Manusia di zaman ini memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan manusia purba zaman sebelumnya, zaman paleolitikum. Tananan kehidupan sosial mereka juga lebih rapi, tertata dan maju di banding dengan pendahulunya.

Mereka juga memiliki peninggalan lukisan gua, misalnya lukisan gua di daerah Papua yang diteliti oleh dua bersaudara Roder dan Galis. Menurut penelitan mereka, lukisan goa tersebut di buat dengan tujuan tertentu.

Lukisan goa ini diperkirakan merupakan bagian dari ritual agama. Misalnya sebagai ucapan untuk menghormati nenek moyang, untuk upacara inisiasi,  upacara meminta hujan, atau juga upacara memohon kesuburan.

Selain itu, lukisan tersebut juga diperkirakan dibuat untuk keperluan ilmu dukun atau untuk memperingati peristiwa penting yang terjadi dilingkungan sekitar mereka.

Lukisan tapak tangan peninggalan zaman ini tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, terutama di wilayah Indonesia timur. Tema serta bentuk lukisan ini menunjukkan kemiripan satu sama lain. Juga sudah mengenal teknik pewarnaan sederhana.

Lukisan cap jari tangan berwarna merah diperkirakan sebagai simbol kekuatan, perlindungan dari gangguan roh-roh jahat. Cap tangan dengan jari tidak lengkap diperkirakan sebagai ungkapan duka atau perkabungan. Sedangkan gambar binatang diangga memiliki kekuatan magis.

Untuk teknik pewarnaan terdapat 3 warna, yaitu: hitam, putih, dan merah. Warna merah diambil dari oksida besi atau orker merah (hematite), warna putih dari kapur (kaolin), dan warna hitam dari arang (mangan dioksida).

Alat-alat Zaman Mesolitikum
Terdapat beberapa alat-alat yang digunakan oleh manusia purba pada zaman Mesolitikum. Alat-alat tersebut berfungsi untuk memudahkan aktivitas sehari-hari manusia purba ini di antaranya pebble Sumatera, hachecourt, dan pipisan.

Ciri Zaman Mesolitikum

Zaman mesolitikum memiliki beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan zaman sebelum dan sesudahnya. Zaman ini dapat dikatakan sebagai zaman peralihan, antara kebudayaan batu tua dengan kebudayaan batu modern. Ciri zaman mesolitikum di antaranya,
1. Manusia di zaman ini sudah mulai hidup menetap. Mereka tinggal di gua-gua, di pinggir sungai, ataupun di pinggir pantai.
2. Memiliki kemampuan bercocok tanam, namun dengan teknik yang masih sangat sederhana.
3. Sudah mengenal kerajinan; mampu membuat gerabah dari tanah liat.
4. Menerapkan sistem mengumpulkan makanan (food gathering)
5. Ditemukan kjokenmondinger (tumpukan sampah dapur). Berupa tumpukan fosil kulit kerang atau siput, yang membentuk bukit setinggi ±7 meter.
6. Tekstur perkakas atau peralatan dari yang dibuatnya sedikit lebih halus dibanding zaman sebelumnya
7. Alat-alat kebudayaan zaman ini antara lain: flakes (alat serpiih), ujung mata panah, pipisan (batu giling), kapak gengam (pebble), kapak pendek (hachecourte), alat-alat dari tulang (bone culture).
8. Memiliki peninggalan lukisan pada dinding gua. Lukisan tapak tangan ini diperkirakan merupakan bagian dari ritual agama, untuk keperluan ilmu dukun, atau untuk memperingati peristiwa penting yang terjadi dilingkungan sekitar mereka.

Peninggalan Zaman Mesolithikum

Terdapat beberapa kebudayaan peninggalan zaman mesolithikum di antaranya,
1. Abris sous roche
Abris sous roche bisa dibilang sebagai goa yang jadi tempat tinggal para manusia purba zaman mesolitikum pada saat itu. Fungsi dari goa ini tentu sebagai rumah atau tempat berlindung dari cuaca dan binatang buas. Abis Sous Roche ini pertama kali diselidiki oleh Dr. Van Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di goa Lawa. Di goa ini ditemukan banyak alat-alat pada zaman mesolitikum.

2. Kjokkenmoddinger (sampah dapur)
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa denmark yaitu kjokken yang artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Jadi kjokkenmoddinger adalah fosil yang berupa timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput sehingga mencapai ketinggian ± 7 meter.

Penemuan ini juga menjadi bukti bahwa manusia purba sudah mulai menetap atau sudah tidak nomaden lagi. Karena kebanyakan fosil ini ditemukan di sepanjang tepi pantai timur Sumatera, antar daerah medan hingga langsa. Pada tahun 1925 dr. P.v. Van stein callenfels melakukan penelitian pada kjokkenmoddinger. Kemudian, dia menemukan kapak genggam yang berbeda dengan kapak genggam pada zaman paleolitikum.

3. Kebudayaan tulang dari sampung (sampung bone culture)
Karena sebagian besar yang ditemukan adalah alat-alat yang terbuat dari tulang maka oleh para arkeolog disebut sebagai sampung bone culture.

4. Kebudayaan bacson-hoabinh
Bacson hoabinh merupakan kebudayaan yang ditemukan di dalam bukit-bukit kerang dan gua di Indo-China, Sumatera Timur, dan Melaka. Terdapat alat seperti batu giling yang ditemukan di gua itu.

Peninggalan yang satu ini cukup unik, kalau ada orang yang meninggal, mayatnya diposisikan dengan posisi berjongkok kemudian diberi cat warna merah. Tujuan pemberian cat tersebut katanya “supaya mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup”.

5. Kebudayaan toala
Sebagian besar kebudayaan toala membuat alatnya dari batu yang menyerupai batu api dari Eropa, seperti kaleson, jaspis, obsidian dan kapur. Budaya ini beda dengan bacson-hoabinh. Kalau ada yang meninggal, dia akan dikuburkan di dalam gua dan kalau tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan.

Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment