Teori Tektonik Lempeng: Pengertian, Sejarah, Penyebab, Jenis, dan Implikasinya
Teori Tektonik Lempeng |
Pengertian Teori Tektonik Lempeng
Teori Tektonik Lempeng adalah teori dalam bidang geologi yang dikembangkan untuk memberikan penjelasan terhadap adanya bukti-bukti pergerakan skala besar yang dilakukan secara alami oleh litosfer bumi. Teori tektonik lempeng merupakan teori yang berperan penting dalam pembentukan permukaan bumi, seperti gunung, gunung berapi, hingga gempa bumi.
Teori tektonik lempeng menjelaskan tentang interaksi dari lempeng-lempeng dan akibat-akibat dari interaksi ini. Teori ini menyatakan bahwa lempeng benua yang ada sekarang mengapung di atas lapisan batuan yang lebih berat dan cair yaitu astenosfer. Pergerakan lempeng ini disebabkan oleh adanya dorongan dari arus konveksi mantel.
Teori tektonik lempeng juga menyatakan bahwa Bumi terdiri dari lapisan dalam dan luar, lalu dibagi-bagi lagi berdasarkan karakteristik fisik maupun kimiawinya. Lapisan luar meliputi litosfer dan astenosfer, sedangkan lapisan dalam meliputi mantel dan inti.
Sejarah Teori Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng diprakarsai oleh Alfred Wegener yang menulis dalam bukunya The Origin of Continents and Oceans. Wegener memperkenalkan teori continental drift atau apungan benua.
Pada awalnya, semua benua menjadi satu yaitu supercontinent atau benua super bernama Pangaea. Dikarenakan suatu gaya tertentu, supercontinent tersebut terpecah menjadi beberapa bagian, yang kemudian diberi nama Gondwana dan Laurasia. Pergerakan benua ini diibaratkan layaknya sebuah bongkahan es yang bergerak di lautan.
Bukti yang mendukung teori tektonik lempeng ini ada 3 yaitu faktor biologi, geologi, dan klimatologi. Dari segi biologi, bukti paling kuat adanya teori tektonik lempeng ini adalah tersebarnya fosil Mesosaurus di beberapa tempat yang berbeda benua dan juga dibatasi oleh laut, sehingga diasumsikan bahwa pada zaman dahulu, tempat-tempat tersebut lebih dekat dan dihubungkan oleh jalur darat.
Dari segi geologi, terdapat beberapa kesamaan lapisan batuan dan pola batuan di benua yang berjauhan. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa pada zaman dahulu, benua-benua tersebut pernah bersatu.
Contoh paling mudah adalah pegunungan Appalachian serta Adirondacks yang tergabung dalam Greenville Orogeny, dan Pegunungan Caledonian serta Skandinavian yang tergabung dalam Caledonian Orogeny.
Dari segi klimatologi, terdapat banyak deposit batu bara pada wilayah-wilayah non-tropis, seperti Kutub Utara, Siberia, Eropa, serta Amerika Utara. Padahal, batubara hanya dapat terbentuk di wilayah tropis atau iklim hangat yang memiliki banyak hutan.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu pernah berada pada wilayah tropis, sehingga memperkuat asumsi bahwa kontinen-kontinen selalu bergerak.
Lalu ada pula bukti pendukung yang dianggap membenarkan teori tektonik lempeng, bukti pendukung tersebut antara lain adalah adanya mid oceanic ridge, terbuktinya palaeomagnetism, dan juga dukungan dari teori Seafloor spreading milik Harry Hess.
Penyebab Lempeng Bumi Bergerak
Anggapan umum mengenai alasan lempeng bergerak adalah karena berat dari kerak samudra dan cairnya lapisan astenosfer. Energi awal pergerakan lempeng disuplai oleh arus konveksi dari mantel yang merupakan salah satu metode perambatan panas bumi. Namun, sekarang ada beberapa teori baru mengenai alasan awal pergerakan lempeng, mulai dari berat jenis kerak samudra hingga gaya rotasi bumi.
Terdapat 3 gaya yang mempengaruhi pergerakan lempeng bumi di antaranya,
1. Dinamika Mantel
Hampir semua ilmuan setuju bahwa arus konveksi yang berasal dari mantel merupakan pendorong pergerakan lempeng bumi. Arus konveksi ini terjadi dalam skala besar sehingga dapat menembus astensofer dan mempengaruhi lithosfer yang berada di atasnya. Teori ini dikembangkan oleh Arthur Holmes pada tahun 1930, untuk memberikan alasan mengapa benua dapat bergerak seperti prediksi Wegnener.
Terdapat dua gaya yang dianggap dapat mempengaruhi pergerakan lempeng di antaranya,
a. Basal Drag (gaya gesek): Lempeng bergerak mengikuti arus konveksi karena terdapat gaya gesek antara arus konveksi dengan lempeng di astenosfer.
b. Slab Suction (gravitasi): Lempeng bergerak dipengaruhi oleh lempeng yang sudah mengalami subduksi dan masuk ke dalam mantel. Gaya gesek antara lempeng dengan arus konveksi akan menarik lempeng semakin jauh ke dalam mantel.
Untuk membuktikan kebenaran dari teori ini, telah dilakukan modelling 3 dimensi dari interior bumi untuk menemukan arus konveksi mantel. Namun, hingga saat ini belum ditemukan formasi arus konveksi yang cukup besar untuk menjelaskan adanya pergerakan lempeng.
Solusi yang kerap ditawarkan untuk permasalahan ini adalah adanya kanal-kanal kecil magma di bawah permukaan bumi yang memberikan gaya gesek kepada litosfer. Teori ini dikenal sebagai surge tectonics dan cukup populer pada tahun 1980an. Riset terbaru menyatakan bahwa pergerakan lempeng dipengaruhi oleh umpan balik antara arus konveksi dan kekuatan struktur lempeng.
2. Dinamika Gravitasi-Lempeng
Gaya gravitasi umumnya dianggap sebagai pendorong sekunder terjadinya pergerakan lempeng jika dibandingkan dengan dinamika mantel di atas. Terdapat dua kasus di mana gravitasi berperan besar dalam mempengaruhi pergerakan lempeng di antaranya,
a. Ridge push
Lempeng baru yang berada dekat dengan mid-ocean ridge memiliki berat jenis yang lebih ringan karena masih baru terbentuk. Lama kelamaan, lempeng ini akan mengalami subsidensi karena ada peningkatan berat jenis seiring dengan mendinginnya lempeng. Hal ini menyebabkan terdapatnya perbedaan ketinggian antara lempeng muda di mid-oceanic ridge dan lempeng tua di zona subduksi.
Perbedaan ketinggian ini pun menyebabkan tekanan lebih pada lempeng tua sehingga mereka bergerak menjauhi mid oceanic ridge dan mengalami subduksi. Sebenarnya tidak tepat jika fenomena ini dinamakan ridge push karena tidak ada yang mendorong, yang ada hanya tenggelamnya lempeng dikarenakan gravitasi. Oleh karena itu, fenomena ini memiliki nama lain yaitu gravitational sliding.
b. Slab Pull
Menurut pendekatan ini, fenomena pergerakan lempeng disebabkan oleh gaya tarik dari lempeng dingin dan berat yang mengalami subduksi. Gravitasi akan menarik lempeng tersebut masuk ke dalam mantel sehingga lempeng bergerak. Selain gravitasi, terdapat pula gaya hisap dari zona subduksi yang dapat mempengaruhi gerak lempeng.
c. Mantle Doming
Teori ini menyatakan bahwa bentuk mantel tidak rata dan ada daerah yang lebih tinggi atau cembung dibandingkan lainnya. Fenomena ini menyebabkan lempeng bergerak tergelincir ke area yang lebih rendah, yaitu zona subduksi.
3. Rotasi Bumi
Menurut Wegener, terdapat pula gaya sentrifugal dan tidal yang menyebabkan terjadinya continental drift. Gaya gaya yang dianggap dapat mempengaruhi pergerakan lempeng adalah
a. Gaya tidal drag antara bulan dan matahari dengan bumi
b. Deformasi geoid global
c. Deformasi bumi dikarenakan putaran dan orbitnya
Namun gaya sentrifugal dan koriolis dianggap terlalu lemah untuk memiliki dampak yang besar pada pergerakan lempeng. Pada teori ini, dipercaya bahwa bulan dan matahari selalu menarik lempeng bumi ke arah barat sesuai dengan putaran kita secara perlahan. Lama kelamaan, tarikan halus ini akan mempengaruhi pergerakan lempeng bumi.
Teori ini memiliki dasar preseden yang tidak terlalu kuat dan bukti eksperimental yang tidak kuat pula. Oleh karena itu, teori ini jarang digunakan ketika menjelaskan mengenai pergerakan lempeng.
Jenis Teori Tektonik Lempeng
Berdasarkan arahnya, gerakan lempeng-lempeng tektonik dapat dibedakan menjadi tiga jenis di antaranya,
1. Konvergensi
Konvergensi adalah gerakan saling bertumbukan antarlempeng tektonik. Tumbukan antarlempeng tektonik dapat berupa tumbukan antara lempeng benua dan benua, atau antara lempeng benua dan lempeng dasar samudra. Zona atau tempat terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik benua dan benua disebut zona konvergen.
Sebagai contoh, tumbukan antara lempeng India dan lempeng benua Eurasia yang menghasilkan terbentuknya pegunungan lipatan muda Himalaya dan merupakan pegunungan tertinggi di dunia, yaitu Everest. Contoh lainnya, tumbukan lempeng India dengan Eropa yang menghasilkan terbentuknya jalur Pegunungan Alpen.
Zona berupa jalur tumbukan antara lempeng benua dan lempeng dasar samudra disebut zona subduksi. Contohnya, tumbukan antara lempeng benua Amerika dan lempeng dasar Samudra Pasifik yang menghasilkan terbentuknya Pegunungan Rocky dan Andes.
2. Divergensi
Divergensi adalah gerakan saling menjauh antarlempeng tektonik. Contohnya, gerakan saling menjauh antara lempeng Afrika dan Amerika Selatan. Zona berupa jalur terpisahnya lempeng-lempeng tektonik disebut zona divergen (zona sebar pisah).
3. Sesar Mendatar
Sesar Mendatar adalah gerakan saling bergesekan (berlawanan arah) antarlempeng tektonik. Contohnya gesekan antara lempeng Samudra Pasifik dan lempeng daratan Amerika Utara yang mengakibatkan terbentuknya Sesar San Andreas yang membentang sepanjang kurang lebih 1.200 kilometer dari San Francisco di utara sampai Los Angeles di selatan Amerika Serikat. Zona berupa jalur tempat bergesekan lempeng-lempeng tektonik disebut Zona Sesar Mendatar.
Implikasi Teori Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng menunjukkan bahwa lempeng-lempeng di Bumi bergerak secara dinamis dan saling mempengaruhi, oleh karena itu, dalam merencanakan segala sesuatu, kita harus mempertimbangkan pergerakan lempeng tersebut.
Pergerakan lempeng yang bersifat transform atau konvergen seperti kolisi dan subduksi harus diwaspadai ketika akan dilakukan pembangunan infrastruktur dan pusat populasi, posisi konvergen dan transform akan menyebabkan potensi bahaya tektonik yang tinggi.
Bahaya tektonik ini dapat berupa gempa bumi, sesar dan rekahan tanah, atau dalam bentuk vulkanisme gunung api. Daerah pertemuan antara dua atau lebih lempeng dan wilayah sekitarnya umumnya memiliki potensi bencana yang lebih tinggi dibandingkan wilayah yang jauh dari pertemuan lempeng.
Selain itu, wilayah yang berada pada zona subduksi juga umumnya lebih rawan bencana dibandingkan zona kolisi dan transform. Zona subduksi dianggap lebih berbahaya karena dapat menimbulkan vulkanisme dan gempa bumi yang nantinya juga dapat menyebabkan tsunami, sedangkan zona transform dan kolisi hanya dapat menyebabkan gempa bumi. Gempa bumi yang dihasilkan umumnya tidak dapat menyebabkan tsunami.
Contoh dari negara yang secara sukses mengaplikasikan teori tektonik lempeng dengan perencanaan serta pengelolaan wilayah terbangunnya adalah Jepang. Jepang telah mengaplikasikan zonasi bencana, mitigasi, serta pendidikan bencana yang berhasil menekan angka korban serta kerugian akibat gempa dan tsunami, meskipun mereka berada pada titik pertemuan dua lempeng dan terdapat zona aktif Fossa Magna.
Meskipun begitu, zona aktif tektonik lempeng juga dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar. Aktivitas tektonik yang aktif dapat menyebabkan siklus batuan menjadi lebih cepat, sehingga batu-batu dan mineral yang terkubur di dalam perut bumi dapat keluar dan menjadi barang tambang.
Dari berbagai sumber
Post a Comment