Perjanjian Renville: Sejarah, Latar Belakang, Tokoh Delegasi, Isi, dan Dampaknya

Table of Contents
Sejarah Perjanjian Renville
Perjanjian Renville

Sejarah Perjanjian Renville

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta. Perundingan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

Perjanjian Renville diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook, yang diambil dari nama Gubernur kolonial Belanda Jenderal Van Mook. Perjanjian Renville harapkan dapat meluruskan perjanjian-perjanjian sebelumnya.

Latar Belakang Perjanjian Renville

Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 menyepakati berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui Belanda. Hasil perundingan disahkan pada 25 Maret 1947. Namun, Belanda ternyata hanya mau mengakui kedaulatan RIS sebatas Jawa dan Madura saja.

Belanda bahkan melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan serangan pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I. Agresi Militer Belanda I membuat sebagian dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melontarkan penyesalan.

Mereka mendesak Belanda agar menghentikan serangan dan segera menggelar perundingan damai dengan pihak Indonesia.

Tokoh Delegasi Perjanjian Renville

Atas desakan Dewan Keamanan PBB, Belanda dan Indonesia menggelar perundingan di atas kapal perang milik Amerika Serikat bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947.

Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian Renville adalah sebagai berikut di antaranya,
1. Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
2. Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, serta orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
3. Sedangkan yang bertindak sebagai mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham dari Amerika Serikat (pihak netral), dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).
 

Isi Perjanjian Renville

Dalam perundingan Renville, sebenarnya pihak Indonesia semakin dirugikan karena daerah kekuasaannya semakin menyempit. Selain itu, terdapat ketentuan-ketentuan lain yang dinilai menguntungkan pihak Belanda. Berikut isi perjanjian Renville di antaranya,
1. Pihak Belanda hanya mengakui beberapa wilayah tertentu saja sebagai kawasan Republik Indonesia, seperti Yogyakarta, Sumatera dan Jawa Tengah.
2. Segera membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat.
3. Republik Indonesia adalah bagian dari RIS
4. Belanda senantiasa dan tetap menguasai wilayah Republik Indonesia apabila RIS belum dibentuk.
5. Garis Van Mook merupakan garis pemisah antara wilayah Belanda dan Indonesia.
6. Wilayah RIS akan ditentukan berdasarkan pemungutan suara atau referendum yang akan diadakan nantinya.
7. Pembentukan Dewan Konstituante RIS akan dilakukan dengan pemilihan umum.
8. Uni Indonesia-Belanda akan dibentuk dengan Raja Belanda sebagai kepala atau pemimpinnya.
9. Tentara Republik Indonesia dan para pejuang kemerdekaan yang bergerilya akan ditarik dari wilayah kekuasaan Belanda seperti daerah Jawa Timur dan Jawa Barat.

Dampak Perjanjian Renville

Perjanjian Renville membuat wilayah Indonesia semakin sedikit. Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam. Selain itu, wilayah Indonesia terkungkung wilayah yang dikuasai Belanda. Belanda mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.

Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Republik: Angkatan 45 (1978) menilai bagi Indonesia, Perjanjian Renville jauh lebih buruk dan merugikan. Efek yang paling dirasakan Indonesia adalah keharusan tentaranya pindah dari wilayah yang mereka kuasai sebelumnya. Ribuan tentara dari Divisi Siliwangi di Jawa Barat berbondong-bondong pindah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville.

Divisi ini dijuluki Pasukan Hijrah oleh rakyat Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka. Peristiwa itu dikenal sebagai Long March Siliwangi. Kondisi politik Indonesia juga bertambah kacau setelah Perjanjian Renville. Dikutip dari Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948) karangan Pramoedya Ananta Toer, rakyat kecewa terhadap perjanjian itu.

Sebagai bentuk penolakan atas keputusan itu, sejumlah partai menarik dukungan dari pemerintah. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya pada 23 Januari 1948. Selain itu, setelah Perjanjian Renville disepakati, Belanda langsung mendeklarasikan pemerintahan federal di Sumatera.

Padahal sebagian Sumatera adalah wilayah Indonesia. Pada akhirnya, Belanda yang sudah diuntungkan dengan Perjanjian Renville, malah mengingkari perjanjian ini. Pada 18 Desember 1948 pukul 06.00, pesawat DC-3 Dakota milik Belanda menerjunkan pasukan dari udara menuju ibu kota Indonesia di Yogyakarta. Serangan Belanda terhadap Ibu Kota Indonesia dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment