Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda
Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda |
Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda
Perang melawan penjajahan kolonial Belanda adalah periode perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda yang berlangsung pada kurun waktu tahun 1602 (semenjak berdirinya Vereenigde Oost-Indische Compagnie, disingkat "VOC); hingga tahun 1908, yaitu tahun berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang menandakan perubahan cara atau metode perjuangan Indonesia dalam melawan penjajahan.
Pada periode tersebut, perjuangan sangat berfokus pada kegiatan yang bersifat aksi militer. Dengan kata lain, perjuangan yang berlangsung terjadi dengan pertempuran yang melibatkan sekelompok masyarakat setempat di sebuah wilayah Nusantara terhadap pihak asing seperti bangsa Belanda serta beberapa bangsa Eropa lainnya (Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris).
Tema perjuangan yang diusung oleh sekelompok masyarakat tersebut masih seputar protes akan kebijakan pihak asing yang merugikan sekelompok masyarakat setempat baik secara material maupun moral. Perjuangan yang berlangsung sangat tergantung pada tokoh ternama setempat, seperti para bangsawan maupun agamawan.
Beberapa Peristiwa Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda
Dengan persenjataan tradisional seadanya, para pejuang menunjukkan semangat pantang menyerah dalam berbagai peperangan melawan penjajah. Berikut beberapa perang dalam melawan pemerintah kolonial Belanda di antaranya,
1. Perang Tondano
Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.
Perang Tondano I
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano dikenal dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa Sulawesi utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan Agama Kristen.
Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran perang VOC.
VOC berusaha memaksa kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut.
Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa.
Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan Kolonial Belada. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris memerlukan pasukan dalam jumlah besar.
Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Suku yang dipilih yaitu orang Madura, Dayak, dan Minahasa.
Dalam suasana yang kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan dan kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan.
Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.
2. Perang Patimura
Indonesia kaya akan sumber daya alam, salah satunya rempah-rempah yang selalu diburu oleh bangsa Eropa. Bahkan mereka menginginkan untuk memonopoli hasil rempah di Indonesia. Salah satunya di Maluku, di mana kolonial Belanda menerapkan berbagai kebijakan yang menyengsarakan bangsa Indonesia seperti kewajiban kerja paksa, penyerahan hasil kelautan, memberhentikan guru demi kehematan, menjadikan kawula muda sebagai tentara, dan ketidakmauan Belanda untuk membayar terhadap perahu yang dipesannya.
Menghadapi hal tersebut, para tokoh dan pemuda di Maluku sepakat melawan kekejaman kolonial Belanda. Terjadilah perang antara Belanda di bawah pimpinan Van den Berg dengan Maluku di bawah komando Christina Matrha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina, yang mana Indonesia mampu menguasai Benteng Duurstede.
Belanda meminta bantuan dari Ambon lewat jalur perairan tetapi digagalkan oleh pasukan Pattimura. Dengan datangnya bantuan dari Batavia maka Belanda membawa semua pasukannya untuk merebut benteng Duurstede dan naasnya benteng tersebut bisa kembali dikuasai Belanda, sehingga sisa pasukan Pattimura berusaha untuk meloloskan diri dari tangan Belanda.
Untuk menangkap Pattimura, maka Belanda membuat sayembara, di mana siapa yang mampu menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1000 gulden. Selama 6 bulan melakukan perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap dan pada 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun kota Ambon sedangkan pimpinan lainnya seperti Christina Martha Tiahahu dibuang ke Jawa untuk bekerja rodi.
3. Perang Diponegoro
Perang melawan kolonial Belanda berikutnya adalah Perang Diponegoro. Perang ini muncul akibat kebijakan yang tidak masuk akal dari Kolonial Belanda seperti pengambilan tanah-tanah milik bangsawan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ada juga raja-raja yang merasa menjadi korban adu domba dan kerajaan Mataram terpecah menjadi 4 bagian yaitu Surakarta, Yogyakarta, Pakualam, dan Mangkunegaraan.
Di samping itu, Belanda berencana membuat jalur kereta api di daerah yang dikeramatkan oleh Pangeran Diponegoro, sehingga terjadilah perlawanan. Pangeran Diponegoro menggunakan taktik perang gerilya di mana mereka melakukannya secara sembunyi, cepat, fokus, dan efektif.
Akhirnya, Belanda menggunakan siasat tipu muslihat dengan mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding demi menyelesaikan masalah di Magelang. Akan tetapi, itu membuat Pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke Manado dan dipindahkan ke Makassar sampai meninggal tahun 1855.
4. Perang Padri
Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatra Barat pada tahun 1821- 1837. Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra Barat adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda.
Sejak akhir abad ke-18 telah datang seseorang ulama dari kampung Kota Tua di daratan agam. Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran Islam sesuai dengan Al Quran dan Sunah Nabi. Kemudian pada tahun 1803 datang lah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang.
Mereka melanjutkan gerakan pembaruan atau pemurnian pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang Belanda menyebutnya dengan Padri yang dapat dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis untuk menujukan orang-orang Islam yang berpakaian putih sementara kaum adat di Sumatra Barat memakai pakaian hitam.
Tahun 1821pemerintah India Belanda mengangkat James Du Puy sebagai Presiden di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah perang Padri.
Perang Padri di Sumatra Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase yaitu:
Fase Pertama (1821-1825)
Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Kemudian Pasaman menggerakkan sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan sekitar hutan di sebelah timur gunung. Sedangkan Belanda dengan kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan orang pribumi.
Tuanku Pasama dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan diri ke Lintau. Sementara pasukan Belanda telah berhasil menguasai seluruh lembah tanah datar, mendirikan benteng di Batusangkar terkenal dengan sebutan Front Van der Capellen.
Periode tahun 1821-1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berasil mengusir Belanda dari sungai paur, Guguk Sigandang dan Tajong Alam. Peto Syarif adalah sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Iman Bonjol. ia sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.
Pada tanggal 26 Januari 1824 perdamaian antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam perjanjian Masang. Dengan demikian perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di berbagai tempat.
Fase Kedua (1825-1830)
Perlawanan kaum Padri di Sumatra Barat bagi Belanda tahun ini sedikit mengendorkan ofensifnya dalam perang Padri. Oleh karena itu, Kolonel De Stuers merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatra Barat tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dengan mengadakan perjanjian perdamaian. Pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi perjanjian padang di antaranya,
a. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sikadang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama didaerahnya
b. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
c. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan
d. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
Fase Ketiga (1830-1837/1838)
Peristiwa tahun 1825-1830 di Jawa, peristiwa perang Diponogoro berakhir pada tahun 1830,semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatra Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah Perang Padri fase ketiga.
Pada pertemuan fase ketiga kaum Padri, orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Tindakan kaum Padri dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek.
Tahun 1831 Gillavry digantikan oleh Jacob Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri. Pada Agustus1831 Belanda dapat menguasai Banteng Marapalam, dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.
Pada tahun 1832 maka Belanda semakin menekan kekuatan kaum Padri di berbagai daerah. Pasukan legium Sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833 kekuatan Belanda sudah begitu besar dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri.
Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda termasuk perwiranya terbunuh. Dan Belanda dapat menguasai Kamang, dalam serangkaian pertempuran itu banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan Cerdik dapat di tangkap.
Di samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatra Barat,p ajak pasar dan berbagai jenis pajak dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan di beri gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintahan Belanda juga di beri gaji 50 sen sehari.
Elout digantikan oleh E. Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Plakat panjan adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan nada peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri.
Dengan kebijakan tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Kekuatan pasukan Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan. Tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Iman Bonjol di Bonjol. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol di hujani meriam oleh serdadu Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Iman Bonjol untuk berdamai.
Iman Bonjol mau berdamai tapi dengan beberapa persyaratan antara lain Iman Bonjol minta agar Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan negeri itu tidak di duduki Belanda. Tetapi Belanda tidak memberi jawaban, justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Iman Bonjol ditangkap.
Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang gerilnya di hutan-hutan Sumatera Barat. Iman Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.
5. Perang Bali
Meski Bali merupakan wilayah yang kecil tetapi memiliki beberapa kerajaan yang besar seperti kerajaan Buleleng dan kerajaan Karang Asem. Tahun 1841 Belanda mulai menginjakan kaki di Bali dan memaksa rakyat Bali untuk tunduk dan mengakui pemerintahan Belanda. Sayangnya, keinginan Belanda untuk menguasai Bali tidak selalu berhasil karena kentalnya adat istiadat dan tradisi.
Belanda sangat suka ikut campur dengan urusan kerajaan seperti mengajukan tuntutan sebagai berikut : membebaskan Belanda dari Hukum Tawan Karang, kerajaan Bali mengakui pemerintahan Belanda, kerajaan Bali melindungi perdagangan milik pemerintahan Belanda, semua raja-raja Bali harus tunduk terhadap perintah kolonial Belanda.
Tentu saja semua tuntutan itu ditolak mentah-mentah oleh rakyat Bali. Maka pada tahun 1846 terjadilah perang untuk memaksa raja Buleleng menandatangani isi perdamaian yaitu pasukan Belanda ditempatkan di wilayah Buleleng, benteng kerajaan Buleleng akan dibongkar oleh pasukan Belanda, dan biaya perang ditanggung oleh raja Buleleng.
Namun, ajakan perdamaian tersebut tidak diindahkan oleh rakyat Bali akhirnya Belanda mulai melakukan serangan besar-besaran. Ada 3 pertempuran di Bali, ekspedisi pertama tahun 1846 Belanda mengirim 1700 pasukan untuk menaklukan rakyat Bali, namun berhasil diusir oleh rakyat Bali.
Pada ekspedisi kedua tahun 1848, Belanda mengirim pasukan yang lebih besar dan rakyat Bali berhasil memukul mundur Belanda dengan dipimpin oleh I Gusti Jelantik. Pada ekspedisi terakhir tahun 1849, pasukan Belanda yang dikirim sekitar 4177 orang yang mampu mengalahkan rakyat Bali.
6. Perang Banjar
Di Kalimantan selatan pernah berkembang kerajaan Banjar wilayah kesultanan Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan selatan dan Kalimantan tengah sekarang. Adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, lada, rotan dan damar. Hasil-hasil ini termasuk produk yang di minati oleh orang-orang Barat, sehingga orang-orang Barat berminat untuk menguasai kesultanan Banjarmasin.
Setelah melalui bujuk rayu di sertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817 terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda, menetapkan bahwa daerah kesultanan Banjar tinggal daerah Hulu sungai, Martapura, dan Banjarmasin. Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan sosial ekonomi.
Demikian rakyat menjadi sasaran eksploitasi baik dari pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Dalam suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan sendiri terjadi konflik intern. Hal ini juga karena ulah intervensi Belanda.
Hal ini bermula saat putra mahkota Abdul Rakhman meninggal secara mendadak pada tahun 1852. Sementara Sultan Adam memiliki tiga putra sebagai kandidat pengganti Sultan, yakni : Pangeran Hidayatullah, pangeran Tamjidillah, dan Perabu Anom. Tahun 1857 Sultan Adam meninggal.
Dengan sigap Residen E.F. Graaf Von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai Sultan dan Pangeran Hidayatullah di angkat sebagai mangkubumi. Oleh karena itu, wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah juga menghapus hak-hak istimewa pada saudara-saudaranya termasuk menganggap tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam kepada pangeran Hidayatullah.
Kemudian, setelah hak-haknya di rampas, Pangeran Anom dibuang ke Bandung. Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga di kenal sebagai Panembahan.
Muning mengatakan dalam semedinya ia mendapatkan firasat agar kesultanan Banjarmasin di kembalikan ke pada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Pusat gerakan Aling dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah)yang terletak di tepian sungai Muning.
Aling juga memanggil Antasari agar datang di Tambai Mekah. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning di bawah komando Penembahan Aling dan puteranya Sultan Kuning menyerbu kawasan tanmbang batu bara di Pengaron. Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjarmasin semakin kacau.
Sultan Tamjidillah yang memang tidak di senangi oleh rakyat itu juga tidak banyak berbuat. Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di Bawah dominasi Belanda. Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura.
Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan haji Buyasin, kiai Langlang, kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng Belanda di Tabanio. Pada waktu itu memasuki bulan Agustus/September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah laut, serta sepanjang sungai Barito.
Benteng Tabinio berhasil di kepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri. Dalam pertemuan di Kandangan itu menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut :
a. Pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai.
b. Membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
c. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
d. Mengusahakan tambahan senjata.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengatakan sumpah untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Wajah sampai Kaputing”. Perlu diketahui bahwa pangeran Hidayatullah setelah meninggalkan Martapura dan berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, kemudian diikuti pasukannya ia berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai Sultan.
Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di Barabai. Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat pasukan Hidayatullah. Pasukan infanterni dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan kapal-kapal perang dari Suriname, Bone dan kapal-kapal kecil. Terjadilah pertempuran sengit. Kemudian membangun pertahanan di Gunung Madang.
Pertahanan di Gunung Madang pun jebol. Pangeran Hidayatullah dengan sisa pasukannya kemudian berjuang berpindah-pindah, bergerilya dari tempat yang satu ke tempa yang lainnya, dari hutan yang satu ke hutan yang lainnya. Akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil di tangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya.
Hidayatullah bersama anggota keluarganya kemudian di asingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar : penembahan Amiruddin Kalifatullah Mukminin.
7. Perang Batak
Setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak. Hal ini merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Si Singamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen sangat ditentang oleh Si Singamangaraja XII, karena dikhawatirkan agama Kristen akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang ada secara turun-temurun.
Pada tahun 1877 raja Si Singamangaraja XII berkampanye keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para zending bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dengan alasan melindungi para zending, tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang Batak.
Penyebab Perang Batak yaitu Belanda membuat alasan bahwa mereka melawan Silindung karena melindungi para zending. Karena yang jelas Belanda menduduki Silindung sebagai langkah awal untuk memasuki tanah Batak. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju bahal batu. Rakyat Batak yang dipimpin langsung oleh Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal Batu.
Dalam perang ini rakyat Batak sudah menyiapkan benteng pertahanan. Seperti benteng alam yang terletak di dataran tinggi Danau Toba dan Silindung. Di samping itu juga dikembangkan benteng buatan yang ada di perkampungan. Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu, Si Singamangaraja XII dengan pasukannya berusaha melakukan perlawanan sekuat tenaga.
Tetapi kekuatan pasukan batak tidak sesuai dengan kekuatan pasukan Belanda. Sehingga pasukan si Singamangaraja ditarik mundur. Karena ada gerakan mundur tadi, pasukan Si Singamangaraja XII juga melakukan penyerangan pada pos-pos Belanda yang lain.
Perang batak ini semakin meluas, setelah berhasil menggagalkan berbagai serangan pasukan Si Singamangaraja XII, Belanda bergerak menuju ke Bakkara. Bakkara merupakan benteng dan istana Kerajaan Si singamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang besar, Belanda mengepung bakkara.
Beberapa komandan tempur ingin memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan batu oleh pejuang batak. Akhirnya benteng dan Istana bakkara dihujani tembakan-tembakan, sehingga bakkara dapat diduduki Belanda. Si Singamangarajaa XII bersama pasukannya berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke daerah Paranginan.
Belanda terus memburu, Si Singamangaraja menyingkir ke Lintung. Belanda terus mengejar, dan Singamangaraja XII terus bergerak ke tambunan, lagu, Boti, terus ke Baligie. Belanda dapat menguasai daerah itu semua, sehingga semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda.
Si Singamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong. Pada Juli tahun 1889 Si Singamangaraja XII kembali angkat senjata melawan ekspedisi Belanda. Pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh ke tangan Belanda. Si Singamangaraja XII membuat pertahanan di Pakpak dan dairi, dan pasukan belanda melakukan sapu bersih dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di Batak.
Tahun 1907 pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan untuk menangkap Si Singamangaraja XII. Ia berhasil dikepung rapat didaerah segitiga Barus sidiklang dan Singkel. Dalam pengepungan ini Belanda melakukan cara licik yakni dengan menangkap istrinya yang bernama Boru Sagala dan dua orang putranya. Tetapi dengan beban psikologis yang berat Si Singamangaraja Xii tetap bertahan.
Tanggal 7 Juni 1907 siang pasukan belanda dikerahkan untuk menangkap Si Singamangaraja XII di pos pertahanannya di Aik Sibulbulon. Dalam keadaan terdesak Si Singamangaraja XII dengan putranya melakukan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran Si Singamangaraja XII tertembak mati, begitu juga putrinya Lopian dan dua orang putranya Sultan Nagari dan Patuan. Dengan demikian berakhirlah perang Batak.
Dari berbagai sumber
Post a Comment