Kerajaan Gowa Tallo: Pengertian, Letak, Sejarah, Kejayaan, Keruntuhan, dan Peninggalannya
Gowa Tallo |
Pengertian Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan Islam yang terletak di Sulawesi Selatan dan berpusat di Makassar. Posisinya yang strategis menjadikan wilayah kerajaan ini sebagai salah satu jalur pelayaran dan pusat perdagangan terpenting di Nusantara dalam sejarah.
Kerajaan ini merupakan gabungan dari dua kerajaan yang berasal dari keturunan Kerajaan Gowa, yang didirikan oleh Tumanurung Bainea pada awal abad ke-14. Pada abad ke-15, kerajaan ini dibagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo.
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang sempat terpisah dan berseteru membentuk persatuan pada 1528 dan mengalami masa-masa kejayaan. Sejak awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Gowa-Tallo resmi menjadi kerajaan Islam atau kesultanan.
I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-1639) menjadi penguasa Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam dan lantas memakai gelar Sultan Alauddin I. Sebelum menjadi kerajaan Islam atau kesultanan, masyarakat Gowa dan Tallo menganut kepercayaan animisme atau kepercayaan terhadap leluhur yang disebut To Manurung.
Kesultanan Gowa-Tallo mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin atau yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Di bawah kekuasaannya, kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. Sultan Hasanuddin juga memimpin perjuangan melawan penjajah di daerah Makassar.
Letak Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo terletak di Sulawesi Selatan, bagian pesisir barat. Tepatnya di wilayah Kabupaten Gowa dan sekitarnya saat ini. Penduduknya mayoritas Suku Makassar, sehingga awalnya ia tumbuh sebagai chiefdom.
Pemimpin pertamanya dalam beberapa catatan adalah Tumanurung Bainea, yang merupakan penguasa lokal Gowa pada abad ke-14. Selama ratusan tahun, Gowa dan wilayah lainnya memperebutkan hegemoni di wilayah tersebut.
Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa Tallo merupakan kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke 14 Masehi. Yaitu pada tahun 1320, kerajaan ini berdiri di atas tanah Sulawesi Selatan. Sebelum menjadi kerajaan Islam, Gowa Tallo merupakan perkumpulan dari 9 komunitas yang akhirnya membentuk suatu pemerintahan. Kesembilan komunitas tersebut adalah Kalili, Saumata, Data, Parang-parang, Bissei, Tombolo, Lakiung, Agangjene, dan Sero.
Semuanya itu biasa disebut dengan Bate Salapang. Nama Goa Tallo sendiri mulanya bukanlah satu kesatuan. Pasalnya Goa dan Tallo adalah nama sebuah kerajaan yang berbeda. Mulanya kerajaan Goa ini dipimpin oleh putra dari raja ke-6. Di mana kerajaan Gowa diserahkan kepada Batara Gowa, sedangkan putra lainnya yang bernama Karaeng Loe ri Sero memutuskan untuk membangun kerajaan sendiri yang diberinya nama Kerajaan Tallo.
Meski bersaudara, kedua kerajaan tersebut saling bersaing memperebutkan tanah yang ada di Sulawesi Selatan. Namun perseteruan itu berakhir atas jasa Daeng Matanre Karaeng Tumparisi Kallona. Kemudian kedua kerajaan pun bersatu. Dengan bergabungnya dua kerajaan yang berbeda tersebut, maka sistem kekuasaan pun ikut berubah. Di mana dalam Kerajaan Tallo terdapat sistem wewenang ganda.
Untuk para pemimpin yang bertindak sebagai raja adalah yang berasal dari Gowa, sedangkan posisi perdana menteri diambil alih oleh keturunan Tallo. Kerajaan Gowa Tallo mulai menjadi kerajaan Islam ketika dalam masa pemerintahan Raja I Mangari Daeng Manrabbia, tepatnya pada tahun 1593 M. Sehingga pada masa raja tersebutlah Kerajaan ini menjadi pusat dakwah Islam. Selain itu, jenis kesultanannya sering disebut dengan Serambi Madinah.
Raja-raja yang Memerintah
Sepanjang sejarah, Gowa tercatat memiliki lebih dari 30 orang raja sejak berdirinya sekitar abad ke-14 sampai dengan tahun 1895 ketika dianeksasi oleh Belanda dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan. Raja-raja yang pernah berkuasa di Gowa menurut catatan Patturioloang Gowa di antaranya,
1. Tumanurung Bainea (1300+)
2. Tumassalangga Barayang
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang Ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (1400+)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkena
8. Pakere Tau Tunijallo ri Pasukki
9. Karaeng Tumpa’risi (awal abad ke-16)
10. Karaeng Lakiyung (1546-1565)
11. Karaeng Bontolangkasa (1565-1590)
12. I Tepukaraeng Daeng Parabbung (1593)
13. Daeng Manrabbia Sultan Alauddin I (1593-1639)
Daeng Manrabbia merupakan raja pertama yang memeluk agama Islam, kurang lebih pada tahun 1607, setelah sebelumnya didahului oleh Karaeng Tallo pada tahun 1605. Kesamaan kepercayaan ini kemudian menjadi modal utama penyatuan kedua kerajaan menjadi satu. Hal ini berhasil membawa Gowa-Tallo mendominasi wilayah Sulawesi Selatan mengalahkan Bone, Wajo, Luwu, dan Soppeng.
1. Daeng Mattola Karaeng Lakiyung (1639-1653)
2. Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanudin (1653-1669)
Sultan Hasanudin merupakan raja yang terpenting dalam perjalanan sejarah Gowa-Tallo. Dikarenakan ambisinya menguasai kawasan Sulawesi Selatan dan perdagangan ke timur berhadapan dengan VOC dan raja-raja lokal yang bersekutu. Perang Makassar yang berlangsung pada tahun 1654-1655, serta ketegangan yang terus berlangsung melemahkan Gowa-Tallo.
Pada tahun 1667 perang berkobar kembali, dan VOC bersama Arung Palakka dari Bone berhasil mengalahkan Hasanudin. Ia menyerah dalam Perjanjian Bongaya dan menyerahkan kekuasaan kepada VOC.
1. Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah (1669-1674)
2. Karaeng Bisei (1674-1677)
3. Karaeng Sanrobone (1677-1709)
4. La Pareppa Tosappe Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
5. I Mapparaungi Sultan Sirajuddin
6. I Manrabbia Sultan Najamuddin
7. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
8. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
9. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan Belanda ke Sri Lanka)
10. Daeng Riboko Arungmampu (1767-1769)
11. Karaeng Katanka Sultan Zainuddin (1770-1778)
12. Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
13. Karaeng Lembang Parang (1816-1825)
14. Karaeng Katangka Tuminanga (1825-1826)
15. Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir (1826-1893)
16. Karaeng Katangka Sultan Idris (1893-1895)
17. Karaeng Lembang Parang Sultan Husain (1895-melarikan diri dari kerajaan karena Politik Suku Asing bersama Belanda)
Kehidupan Masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo
Kehidupan Politik
Gowa-Tallo sejak sebelum menjadi kerajaan berbasis Islam, kerap berperang dengan wilayah lain di Sulawesi Selatan. Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu adalah beberapa kerajaan lokal yang kerap bermusuhan dengan Gowa. Adapun Wajo dan Luwu berhasil ditaklukkan oleh Gowa-Tallo dan menjadi bawahannya. Sementara Bone mampu bertahan sampai setidaknya tahun 1582. Ketika bersama wilayah lain berupaya mempertahankan kemerdekaan dari Gowa.
Memasuki masa Islam, Gowa-Tallo menyebarkan pengaruh Islam ke Bone dan Wajo antara tahun 1610-1611. Hal ini menjadi bagian dari penguasaan Gowa-Tallo atas wilayah mereka. Pertentangan antar daerah ini terus berlangsung, sampai pada akhirnya Gowa-Tallo harus berhadapan dengan kerajaan lain yang disokong VOC.
Kehidupan Ekonomi
Gowa-Tallo disebut-sebut kaya akan beras putih dan bahan makanan lainnya yang diperdagangkan. Mereka juga menjual kapur barus hitam, yang ditukar dengan berbagai komoditas wilayah lain. Gowa mampu menjalin perdagangan dengan Jawa, Maluku, Malaka, dan bahkan sampai ke India dan Cina.
Impor tekstil dari India, dan keramik dari Cina banyak ditemukan sebagai bukti perdagangan yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Pelabuhan Somba Opu menjadi bandar utama mengalirnya rempah-rempah dari Maluku ke wilayah barat. Gowa-Tallo tentunya mendapat keuntungan yang amat besar dari wilayah ini.
Kehidupan Sosial
Gowa-Tallo menempatkan agama Islam sebagai instrument penting dalam roda kehidupan masyarakat. Dikenal beberapa mubalig utama atau Daltu Tallu, beberapa di antaranya berasal dari Jawa. Mereka inilah yang berjasa mengislamkan raja-raja Sulawesi Selatan, dan menyebarkan secara luas kepada masyarakat. Ajaran sufisme bahkan sempat berkembang melalui Syekh Yusuf al-Makasari, meskipun pada akhirnya ia berpindah ke Banten karena tidak disukai elite kerajaan.
Masa Kejayaan Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan yang berada Sulawesi Selatan ini juga sempat mengalami masa gemilang. Karena hubungan yang baik antara dua kerajaan tersebut, disebutlah ke dalam satu nama yaitu Kerajaan Makassar. Kerajaan yang menguasai perdagangan rempah ini mengalami masa gemilang pada abad ke 16 dan 17. Hal ini juga dipicu oleh hubungan baik yang terjalin dengan Kerajaan Ternate.
Mulanya Kerajaan Gowa Tallo ini bukanlah kerajaan Islam. Namun sejak kedatangan Datok Ri Bandang, yaitu seorang penyiar agama yang berasal dari Sumatera. Kemudian membawa Raja Gowa Tallo memeluk agama Islam. Sehingga jadilah kerajaan tersebut salah satu kerajaan Islam Nusantara.
Raja pertama Kerajaan ini yang masuk Islam adalah Sultan Alauddin. Pada masa pemerintahan beliau lah Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan maritim. Selain itu para pelaut pun juga mengembangkan akomodasi mereka berupa perahu jenis pinisi dan lambo.
Kemudian pemerintahan dilanjutkan kembali oleh Sultan Hasanuddin. Beberapa di antara daerah yang berhasil dikuasai adalah Wako, Lawu, Bone dan Shoppeng. Pada masa kepemimpinan beliaulah Gowa Tallo meraih masa kejayaannya. Hal ini juga membuat Belanda menjuluki Sultan Hasanuddin sebagai Ayam Jantan Dari Timur.
Runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo
Kemunduran Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemilik dominasi Sulawesi sebenarnya terjadi secara langsung setelah kekalahan Hasanuddin pada 1667 melawan VOC dan Bone. Kekuatannya terus melemah, terlebih karena penetrasi VOC yang semakin kuat di wilayah tersebut.
Gowa Tallo masih dapat bertahan sampai akhir abad ke-19, meskipun dengan kekuasaan yang semakin sempit. Pada tahun 1895, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai gencar melakukan penaklukkan di wilayah Sulawesi. Riwayat Gowa Tallo berakhir ketika Karaeng Lembang Parang Sultan Husain
Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
1. Fort Rotterdam
Menjadi salah satu kerajaan maritim nusantara, Gowa Tallo memiliki peninggalan sejarah berupa Roth Rotterdham. Di mana peninggalan tersebut berwujud sebuah benteng Ujung Pandang. Menurut catatan sejarah Benteng Fort Rotterdam telah dibangun pada tahun 1545 oleh Raja I Manrigau Daeng Bonto Karaeng.
Raja ke 9 ini membangun Benteng dengan berbahan dasar tanah liat. Namun untuk mengokohkan keadaan, maka direnovasilah benteng tersebut oleh Sultan Alauddin menjadi bermaterial batu padas. Benteng ini didesain dengan bentuk yang unik, yaitu hewan penyu yang hendak pergi ke laut. Benteng yang bernama asli Benteng Ujung Pandang ini memiliki filosofi tersendiri. Yaitu berjayanya Gowa Tallo di darat maupun lautan, yang artinya tak mengenal tempat.
2. Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu merupakan benteng sekaligus pusat perdagangan/pelabuhan bagi Gowa Tallo. Ia menampung rempah-rempah dari timur untuk diperdagangkan ke seluruh dunia. Benteng ini sempat hancur setelah dikuasai VOC pada tahun 1669, akan tetapi kemudian direkonstruksi kembali pada tahun 1990 dan menjadi situs sejarah penting di Gowa.
3. Masjid Katangka
Seperti yang sudah jadi pengetahuan umum bahwa Kerajaan Gowa Tallo merupakan kerajaan Islam. Oleh karenanya salah satu peninggalannya pun bercorak keislaman yaitu Masjid Katangka. Masjid ini didirikan pada tahun 1605 Masehi. Meski begitu hampir setiap berganti pemimpin masjid ini kerap kali mengalami pemugaran. Jadi sampai saat ini pun sulit untuk mengidentifikasi mana bagian bangunan yang asli.
4. Kompleks makam Raja Gowa Tallo
Menjadi kerajaan pada abad ke 16, Gowa Tallo sudah memasuki era modern. Mereka juga sudah membangun sebuah makam yang dikhususkan untuk keluarga kerajaan. Di mana kompleks pemakaman ini telah ada sejak abad ke 17 Masehi. Untuk yang penasaran dengan peninggalan kerajaan yang sakral ini bisa ke RK 4 lingkungan Tallo.
Bentuk makamnya sangat unik dengan desain makam yang rumpang tindih. Seperti adanya makam yang berada di atas bangunan. Maulun makam yang di atasnya terdapat bangunan. Bentuk kuburannya seperti kubah yang berjejer. Sampai saat ini lokasi tersebut masih dijaga dan dirawat sebagai bukti sejarah.
Dari berbagai sumber
Post a Comment