Teknologi Manusia Purba: Perkembangan dan Contohnya
Teknologi Manusia Purba |
Bagaimanakah Teknologi Manusia Purba?
Halnya penamaan prasejarah untuk kemudian praaksara, karena meskipun belum mengenal tulisan, manusia purba telah mengembangkan teknologi dan kebudayaan yang bisa dikenali melalui beberapa peninggalannya. Teknologi pada masa itu berupa teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam praktiknya, teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna.
Teknologi bebatuan kemudian berkembang dalam kurun waktu yang panjang. Dengannya, para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau beberapa tahap perkembangan. Pada kebudayaan zaman batu ini kemudian terbagi menjadi tiga yaitu paleolitikum, mesolitikum, dan neolitikum.
Antara Batu dan Tulang
Peralatan yang pada awalnya digunakan manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman tersier dan awal zaman quartair.
Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan tersebut terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar.
Kebudayaan zaman paleolitikum ini secara umum terbagi menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan-Jawa Timur. Beberapa alat yang terbuat dari batu ditemukan di daerah ini. Von Koenigswald dalam penelitiannya tahun 1935 menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di sungai Baksoka dekat Punung.
Alat batu itu masih kasar dan bentuk ujungnya masih runcing tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan sebutan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari jenis umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak, dan juga ditemukan alat-alat serpih.
Kapak genggam merupakan sejenis kapak yang terbuat dari batu namun tidak bertangkai, digunakan untuk memukul bahan makanan atau melempar hewan buruan, atau bisa juga untuk mengorek tanah untuk mencari umbi-umbian.
Alat serpih merupakan alat yang terbuat dari batu pipih yang diasah dan berukuran lebih kecil dari kapak genggam berfungsi sebagai alat untuk penusuk atau pisau. Alat-alat yang terbuat dari tulang dan kayu digunakan untuk berburu atau bisa juga untuk menangkap ikan.
Alat-alat tersebut oleh Koeningswald digolongkan sebagai alat “paleolitik” yang bercorak chellean yaitu suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koenigswald ini kemudian dianggap kurang tepat setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur.
Tradisi Kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan sebutan Budaya Pacitan. Budaya ini dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia.
Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores dan Timor. Daerah Punung adalah daerah yang paling banyak ditemukan kapak perimbas dan hingga saat ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia.
Pendapat ahli condong kepada jenis manusia pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diperkirakan dari tingkat akhir Pleistosen tengah atau awal permulaan Pleistosen akhir.
2. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai belati. Ditemukan juga alat-alat bergerigi. Di Sangiran ditemukan alat-alat dari batu yang bentuknya seperti kalsedon.
Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Halmahera.
Antara Pantai dan Gua
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu tengah atau yang dikenal dengan sebutan zaman mesolitikum. Hasil kebudayaan batu tengah ini sudah lebih maju dibandingkan dengan hasil kebudayaan zaman paleolitikum (batu tua).
Walaupun demikian, bentuk dan hasil kebudayaan paleolitikum tidak serta merta punah dan tetap mengalami penyempurnaan. Secara garis besar kebudayaan mesolitikum ini terbagi menjadi dua yang ditandai dengan lingkungan tempat tinggal yaitu di pantai dan gua.
1. Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger merupakan istilah yang berasal dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur dan modding artinya sampah sehingga kjokkenmoddinger berarti sampah dapur. Dalam hubungannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra.
Adanya kjokkenmoddinger ini tentu memberi informasi bahwa manusia purba zaman mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Von Stein C pada tahun 1925 melakukan penelitian di bukit kerang dan menemukan jenis kapak genggam.
Yang berbeda dengan kapak genggam zaman paleolitikum. Kampak genggam yang ditemukan di bukit kerang pantai Sumatra timur ini diberi nama Kapak Sumatra.
Kapak Sumatra tersebut dibuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Selain kapak Sumatera juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan. Di daerah Jawa batu pipisan biasanya digunakan untuk menumbuk atau menghaluskan jamu.
2. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan Abris Sous Roche adalah hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein C (1928-1931) di Gua Lawa-Ponorogo.
Beberapa teknologi bebatuan yang ditemukan antara lain, ujung panah, flake, batu penggilingan, dan juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan Abris Sous Roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mengenal Api
Bagi kehidupan manusia, api menjadi faktor penting dalam kehidupan. Sebelum ditemukan teknologi listrik, aktivitas manusia sehari-hari hampir dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari api untuk memasak.
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan badan dari cuaca dingin.
Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Di samping itu, penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata.
Api digunakan untuk menghalau binatang buas yang menyerang. Api juga digunakan sebagai sumber penerangan. Melalui api, manusia juga bisa membuka lahan dengan cara membakar hutan.
Pada mulanya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api jika dibenturkan ke batu yang keras lainnya akan menghasilkan percikan api.
Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda yang lain baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan tersebut kemudian memunculkan api.
Beberapa penelitian arkeologi di Indonesia sampai saat ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode tersebut. Namun bukan berarti manusia purba belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Tanzania sekitar 1,4 juta tahun yang lalu yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang.
Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam. Hal yang sama juga ditemukan di China di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun yang lalu. Tapi juga belum bisa dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia.
Revolusi Teknologi Manusia Purba
Perkembangan zaman batu yang bisa disebut penting dalam kehidupan manusia adalah neolitikum atau zaman batu baru. Pada masa neolitikum juga dapat dikatakan sebagai zaman batu muda karena pada zaman ini telah terjadi revolusi kebudayaan di mana terjadi perubahan pola hidup manusia.
Pola hidup food gathering berubah menjadi pola hidup food producing. Perubahan ini seiring dengan berubahnya jenis pendukung kebudayaannya. Pada zaman ini telah hidup jenis homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru.
Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak. Sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi makanan. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar terbagi menjadi dua tahap perkembangan.
1. Kebudayaan Kapak Persegi
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh Von Heine Geldern yang dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi in memiliki bentuk persegi panjang da nada yang berbentuk trapezium.
Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul, bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di kepulauan Indonesia bagian barat seperti Sumatra, Jawa dan Bali.
Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Palembang, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Pacitan, Madiun, dan di lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Di desa Pasir Kuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan, kapak persegi cocok digunakan sebagai alat pertanian.
2. Kebudayaan Kapak Lonjong
Nama kapak lonjong disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang runcing ditempatkan tangkai dan pada ujung yang lain diasah sehingga tajam.
Kapak yang memiliki ukuran besar disebut walzenbeil dan yang kecil disebut kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di kepulauan Indonesia bagian timur seperti di daerah Papua, Minahasa, dan Seram.
Pada masa neolitikum, ditemukan juga barang-barang perhiasan seperti gelang dari batu, dan alat-alat gerabah atau tembikar. Manusia purba masa ini sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan.
Penemuan dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering digunakan adalah jenis batuan kersikan seperti gamping kersikan, kalsedon, jasper, dan tufa kersikan. Jenis-jenis batuan tersebut selain keras juga sifatnya yang retas dengan pecahan yang cenderung tajam dan tipis sehingga memudahkan dalam pengerjaan.
Beberapa situs yang mengandung fosil kayu seperti di Kali Baksoka-Jawa Timur dan Kali Ogan – Sumatera Selatan. Tampak upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian walaupun kualitasnya kurang baik.
Contoh semacam ini dapat ditemui di situs Kedung Gamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.
Perkembangan Zaman Logam
Mengakhiri masa neolitikum (zaman batu), maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di kepulauan Indonesia ini agak berbeda apabila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa, zaman logam ini mengalami tiga fase yaitu zaman tembaga, perunggu, dan besi.
Di kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman perunggu adalah fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu antara lain, kapak corong, moko, nekara, dan berbagai macam perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan seperti nekara.
Dari berbagai sumber
Post a Comment