Pemberontakan PRRI/Permesta: Sejarah, Latar Belakang, Tujuan, Kronologi, Akhir, dan Dampaknya
Pemberontakan PRRI/Permesta |
Sejarah Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan PRRI/Permesta adalah salah satu pemberontakan yang muncul pasca kemerdekaan Indonesia pada 1950 di Sumatera kemudian menyebar ke beberapa daerah. Pemberontakan ini muncul dilandasi oleh ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu.
PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sementara Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta. Pemberontakan keduanya sudah muncul saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949.
Akar masalahnya yaitu saat pembentukan RIS tahun 1949 bersamaan dengan dikerucutkan Divisi Banteng hingga hanya menyisakan 1 brigade saja. Kemudian, brigade tersebut diperkecil menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kejadian itu membuat para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng merasa kecewa, karena mereka merasa telah berjuang hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti Sumatera dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini pun diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Latar Belakang Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan terhadap pemerintah pusat ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor di antaranya,
1. Pembentukan RIS dan Dikerucutkannya Divisi Banteng
2. Kebijakan Pemerintah Pusat yang Kurang Adil
3. Kedekatan Pemerintah Pusat dengan PKI
4. Tidak Stabilnya Politik pada Masa Demokrasi Liberal
5. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Prajurit dan Rakyat
Tujuan Pemberontakan PRRI/Permesta
Sebagai gerakan yang dianggap pemberontak terhadap pemerintah pusat, sebenarnya pembentukan PRRI/Permesta didasari oleh tujuan yang baik dan mulia. Hanya saja cara yang dilakukan salah, sehingga dianggap dapat mengancam kesatuan Indonesia. Cara yang ditempuh adalah perjuangan bersenjata dan kudeta pada wilayah-wilayah.
Secara umum, gerakan pemberontakan PRRI/Permesta ini memiliki beberapa tujuan di antaranya,
1. Menuntut otonomi daerah yang adil
2. Membenahi konstitusi republik Indonesia
3. Menghargai pejuang kemerdekaan Indonesia
Kronologi Pemberontakan PRRI/Permesta
Kronologi pemberontakan PRRI/Permesta ini cukup menarik karena terjadi di beberapa daerah secara berurutan dan oleh tokoh-tokoh yang berbeda pula. Gerakan ini tidak tersentralisasi karena bukan merupakan gerakan yang dimotori oleh satu orang, tetapi sebuah gerakan protes yang dilandasi kesamaan ideologis, sama seperti pemberontakan DI/TII.
Secara umum, kronologi terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta di antaranya,
1. 20 Desember 1956 – Pembentukan Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh kolonel Ismail Lengah dan dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein
2. 22 Desember 1956 – Pembentukan Dewan Gajah di Sumatera Utara oleh kolonel Mauludin Simbolon
3. Januari 1957 – Pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan oleh letnan kolonel Barlian
4. 17 Februari 1957 – Pembentukan Dewan Manguni di Manado oleh Mayor Somba
Pembentukan Dewan Perjuangan
1. 2 Maret 1957 – Dibentuk piagam perjuangan rakyat semesta (PERMESTA) oleh Ventje Sumual di Makassar
2. 9 Januari 1958 – Dibentuk piagam Jakarta yang menuntut presiden Soekarno kembali ke dasar konstitusional
3. 15 Februari 1958 – Diproklamirkan berdirinya PRRI yang didukung oleh unsur-unsur permesta
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pembentukan PRRI. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah pembatasan divisi banteng, kesejahteraan yang minim, dan ketidakseimbangan pusat dan daerah.
Pembentukan Dewan Militer Daerah
Tidak puas dengan kondisi ini, banyak pemimpin militer di daerah membentuk dewan-dewan militernya masing-masing. Dewan militer yang terbentuk antara lain adalah dewan Banteng di Sumatera Barat, dewan Gajah di Sumatera Utara, dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan dewan Manguni di Manado.
Setelah membentuk dewan-dewan ini, PRRI kemudian membentuk dewan perjuangan dan menyatakan bahwa kabinet Djuanda yang saat itu memegang kekuasaan sudah tidak dianggap lagi.
Pada tanggal 9 Januari 1958, tokoh-tokoh ini melakukan pertemuan di Sungai Daerah Sumatera Barat. Pertemuan ini sebagai tahap awal pemberontakan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Masyumi, PSI dan panglima militer daerah.
Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan dan membentuk pemerintahan baru yang dirasa bisa lebih baik dan adil. Keesokan harinya, mereka mengadakan rapat raksasa di Padang yang menghasilkan ultimatum kepada pemerintah pusat:
1. Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden dalam waktu 5 × 24 jam, atau presiden melengserkan Kabinet Djuanda.
2. Penunjukan Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX oleh presiden untuk pembentukan Zaken Kabinet.
3. Presiden harus kembali pada kedudukannya sebagai presiden konstitusional.
Namun, pemerintah pusat melalui sidang kabinet menolak ultimatum tersebut. Menindaklanjuti gerakan-gerakan ini, pada tanggal 11 Februari 1958 dilakukan pemecatan secara tidak terhormat kepada Achmad Husein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek.
Hari berikutnya Komandan Daerah Militer Sumatera Tengah dibekukan oleh KSD A.H. Nasution dan ditempatkan langsung di bawah KSAD.
Pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Melihat bahwa tuntutan-tuntutannya ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia, pada tanggal 15 Februari 1958, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dibentuk dan diproklamirkan oleh Achmad Husein.
Dalam pemerintahan revolusioner ini, yang bertindak sebagai perdana menteri yaitu Sjafrudin Prawiranegara dengan anggota kabinet M. Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojoadikusumo, dan Simbolon. Berbagai dukungan dari luar daerah pun mulai berdatangan untuk mendukung pemerintahan revolusioner ini.
Salah satunya adalah dari Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba. Kemudian datang pula dukungan dari Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) di bawah pimpinan Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual yang menguasai wilayah Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Maluku.
Mereka menyatakan untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan bergabung dengan PRRI.
Upaya Pemerintah Menumpas Pemberontakan PRRI/Permesta
Berbagai gerakan di daerah yang muncul menyebabkan kehidupan politik nasional dan daerah menjadi tegang. Menyikapi hal ini, Ir. Soekarno sebagai presiden bertindak keras untuk menumpas gerakan tersebut.
Hal ini mendapat dukungan dari Djuanda, Nasution, serta partai PNI dan juga PKI. Sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX lebih mengedepankan perundingan. Pada tanggal 14 Maret 1957 situasi semakin gawat setelah PM Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Hal ini mendorong presiden untuk menyatakan bahwa negara sedang dalam keadaan bahaya, sehingga angkatan perang bisa leluasa untuk bertindak. KASD yang merupakan gabungan AD, AL, dan AU di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani pun melaksanakan upaya penumpasan pemberontakan secara militer.
Operasi-operasi yang dilakukan oleh TNI dan elemen pertahanan Indonesia lainnya di antaranya,
1. 22 Februari 1958 – Operasi Tegas daerah Riau yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai kembali daerah Riau dan Pekanbaru
2. 17 Maret 1958 – Operasi Saptamarga yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Djamin Ginting untuk menghadapi kekuatan PRRI di Sumatera Utara
3. 17 April 1958 – Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan wilayah Sumatera Barat
4. 10 Mei 1958 – Operasi Saptamarga II berhasil menduduki Gorontalo yang awalnya dikuasai oleh Permesta
5. 17-20 Mei 1958 – Operasi Mena berhasil menguasai Ternate, Tidore, Jailolo, dan Morotai
6. 26 Juni 1958 – Operasi Sadar yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ibnu Sutowo untuk menumpas PRRI/Permesta di Sumatera Selatan.
7. 26 Juni 1958 – Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat berhasil mengamankan wilayah Manado dari pasukan Permesta
Serangan-serangan yang dilakukan secara konstan oleh TNI dan elemen pertahanan masyarakat Indonesia lainnya mengakibatkan seluruh pimpinan dan pasukan PRRI/Permesta menyerah pada tanggal 29 Mei 1961.
Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan persenjataan angkatan bersenjata PRRI/Permesta sangatlah kuat. Mereka juga didukung oleh elemen-elemen luar negeri yang menginginkan Indonesia tidak stabil.
Salah satu buktinya adalah ketika pesawat AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) ditembak jatuh, pilotnya adalah Allan L. Pope, seorang warga negara Amerika Serikat.
Akhir Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemerintah pusat menganggap aksi PRRI/Permesta sebagai bentuk pemberontakan. Operasi penumpasan pun segera diluncurkan. Menurut Phill Manuel Sulu melalui buku Permesta dalam Romantika, Kemelut & Misteri (2011), gerakan PRRI di Sumatera mampu dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam waktu cepat.
Di Sulawesi, Permesta juga mulai kewalahan meskipun dikabarkan sempat mendapat bantuan dari beberapa negara asing seperti Amerika Serikat, Taiwan, Jepang, dan Filipina. Gerakan PRRI/Permesta mulai diredam pada Agustus 1958. Tahun 1961, Presiden Sukarno membuka kesempatan kepada mantan anggota PRRI/Semesta untuk kembali ke pangkuan NKRI dan diberikan amnesti.
Tokoh-tokoh Peristiwa Tokoh PRRI Sjafruddin Prawiranegara, Assaat Dt. Mudo, Dahlan Djambek, Maludin Simbolon, Ahmad Husein, Barilan, Soemitro Djojohadikoesoemo, Muhammad Sjafei, Saladin Sarumpaet, Muchtar Lintang, Abdul Gani Usman, Dahlan Djambek.
Tokoh Permesta Ventje Sumual, Jan Willem Gerungan, Alex Kawilarang, Saleh Lahade, Andi Abdul Muis, Lukas J. Palar, Samuel Karundeng, Daniel Julius Somba, Joop Warouw.
Dampak Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan PRRI/Permesta merupakan salah satu pemberontakan terbesar dalam sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan ini menelan banyak korban jiwa dan juga mengganggu kondisi ekonomi Indonesia selama beberapa waktu.
Selain itu, pemberontakan ini juga mengganggu hubungan internasional Indonesia dengan beberapa negara, terutama Amerika Serikat dan Malaysia. Hal ini terjadi karena Amerika diduga membantu PRRI dengan memberikan senjata dan pelatihan. Sedangkan, Malaysia diduga memberikan akses perbatasan untuk menyelundupkan senjata.
Secara umum, berikut dampak-dampak yang diakibatkan oleh pemberontakan PRRI/Permesta terhadap bangsa Indonesia di antaranya,
1. Banyak menelan korban jiwa baik sipil maupun militer
2. Proses pembangunan menjadi lambat dan terbengkalai
3. Menimbulkan rasa trauma bagi masyarakat, khususnya daerah Padang
4. Terganggunya kondisi dan pertumbuhan ekonomi
5. Kualitas Sumber Daya Manusia yang menurun
6. Terganggunya hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat
7. Terganggunya hubungan antara Indonesia dengan Malaysia
8. Adanya kesadaran mengenai pentingnya otonomi daerah
Dari berbagai sumber
Post a Comment