Broken Home: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Cara Mencegahnya

Table of Contents
Pengertian Broken Home
Broken Home

A. Pengertian Broken Home

Broken home adalah kondisi ketika keluarga tidak lagi utuh. Istilah broken home selalu identik dengan perceraian orangtua karena pertengkaran atau KDRT. Namun, secara psikologi, anak bisa merasakan broken home pada keluarga utuh. Kondisi ini bisa berdampak pada perkembangan anak usia remaja.

Ketidakutuhan keluarga bisa karena perceraian, salah satu orangtua meninggal atau masalah yang tidak terselesaikan dengan baik. Bahkan bisa juga karena orang ketiga dalam urusan rumah tangga, misalnya orangtua, mertua, atau keberadaan wanita maupun pria idaman lain.

Idealnya keluarga merupakan tempat anak tumbuh dan berkembang dengan sehat secara mental dan fisik. Namun, terdapat kondisi yang membuat kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi. Meskipun kemudian tidak berpisah, mendengar pertengkaran orangtua setiap hari dapat melukai hati anak.

Setiap hari aku mendengar isak tangis Ibu dan jeritan Ayah yang menggelegar setiap kali mereka bertengkar. Aku bersembunyi di dalam kamar sambil memeluk adik yang menangis ketakutan. Kadang aku mendengar suara pecahan benda yang Ayah banting ke lantai. Kami sangat ketakutan, aku benci mendengar mereka saling berteriak. Aku sayang Ayah dan Ibu, tapi aku tak mau keadaan terus begini

Tidak hanya perasaan suami atau istri yang terluka, namun hancurnya perasaan anak-anak yang melihat atau mendengar orangtuanya saling berseteru. Tidak ada lagi perasaan hangat di antara mereka, yang tersisa hanya ketakutan atau kebencian pada salah satu orangtuanya.

Broken home merupakan istilah di mana suatu keluarga yang tidak harmonis sehingga harus mengalami perpecahan. Seorang suami dan istri yang awalnya disatukan dalam ikatan cinta harus terpisah karena tidak ada kecocokan sehingga mengakibatkan suasana menjadi tidak kondusif lagi.

B. Penyebab Broken Home

1. Perceraian orangtua
Perceraian kerap menjadi faktor utama yang membuat kondisi rumah tangga dikategorikan broken home. Perpisahan antara suami dan istri meninggalkan luka yang mendalam bagi anak-anak. Mereka bingung harus memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibu mereka, belum lagi stigma di masyarakat begitu lekat pada keluarga yang mengalami perceraian.
Penyebab Broken Home
Penyebab Broken Home
2. Ketidakdewasaan orangtua
Orangtua yang memiliki egoisme dan egosentrisme kerap bertikai satu sama lain. Egoisme adalah suatu sifat buruk pada diri manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

Sifat seperti itu bisa jadi dikarenakan adanya luka batin yang dialami orangtua saat kecil dan belum terselesaikan hingga dewasa. Sosok anak kecil dalam diri mereka kerap meronta ingin diperhatikan, ada perasaan yang lama terpendam belum diselesaikan, akhirnya berimbas pada hubungan saat berumah tangga. Ketidakmampuan untuk bisa berdamai pada diri sendiri, ekspektasi yang terlalu tinggi pada pasangan akhirnya memicu keretakan pernikahan.

3. Tidak adanya tanggung jawab dalam diri orang tua
Kesibukan orangtua akan karier, hubungan sosial, atau hobi bisa mengikis rasa tanggung jawab pada keluarganya. Seorang ayah yang terlalu sibuk bekerja, lalu sepulang dari kantor ia larut dalam hobinya bermain games.

Begitu juga sang ibu yang terlalu asyik dengan kesibukannya bersosialisasi dengan teman-temannya. Ditambah lagi kecanduannya menonton Drakor seakan menjadi prioritas utama dibandingkan mengurus anaknya.

Sang anak hanya ditinggal bersama asisten rumah tangga hanya bisa memaklumi keadaan orangtuanya, meskipun jauh dari lubuk hatinya ia memendam kerinduan ingin mendapat perhatian. Ketika sang anak merasa ia bukan lagi menjadi prioritas, ia akan menarik diri dan ikut larut dengan kesibukannya.

4. Jauh dari Tuhan
Dalam suatu pernikahan, hubungan antara suami-istri itu seperti segitiga. Tuhan  diibaratkan berada di sisi paling atas, suami di sisi sebelah kiri dan istri di sisi sebelah kanan.

Jika mereka dekat dengan Tuhan, maka hubungan rumah tangga akan mengerucut dan semakin dekat satu sama lain. Namun sebaliknya, jika sepasang suami dan istri jauh dari Tuhan maka hubungan keduanya akan saling menjauh satu sama lain.

Atas dasar itulah kedekatan dengan Tuhan menjadi hal yang utama dalam suatu pernikahan. Semakin jauh dari Tuhan, akan banyak godaan yang menghampiri setiap pasangan suami – istri. Ketidakmampuan seorang suami menjadi imam dalam rumah tangga bisa menjadi faktor utama perpisahan dalam rumah tangga.

Ketidakdekatan dengan Tuhan bisa berdampak dalam keharmonisan rumah tangga. Perbuatan tercela seperti berzina, berjudi, berselingkuh, berbohong, atau menipu menjadi pencetus retaknya mahligai pernikahan.

5. Faktor ekonomi
Percekcokan karena faktor ekonomi seperti PHK yang dialami suami, ketidakpuasan akan materi yang dituntut sang istri, ketidaksanggupan suami  memenuhi kebutuhan  keluarga bisa memicu keretakan rumah tangga.

Pada dasarnya manusia memerlukan pemenuhan sandang, pangan dan papan. Apa akibatnya jika suami tak mampu memberi nafkah yang cukup bagi keluarga? Entah itu karena musibah yang dialami suami seperti PHK, atau rendahnya rasa juang dalam mencari nafkah bagi keluarga.

6. Kehilangan kehangatan dalam keluarga
Sejatinya hubungan dalam satu keluarga harus terjalin komunikasi yang baik satu sama lain. Adanya quality time antara ayah, ibu dan anak harus terjalin setiap hari. Apa jadinya jika di dalam suatu rumah mereka larut dalam kesibukannya masing-masing?

Adakalanya sang ayah ingin segelas kopi hangat dan masakan yang dibuatkan oleh istrinya. Terlepas masakan buatannya lezat atau tidak, itulah perhatian sang istri dalam menyuguhkan cinta bagi keluarganya.

Adakalanya juga sang Ibu menginginkan pujian di meja makan saat makan malam. walaupun ia hanya bisa menyuguhkan masakan sederhana, namun pujian sang suami atau lahapnya sang buah hati bisa menjadi pengobat lelah setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan domestik.

Sang anak sejatinya ingin diberi perhatian oleh orangtuanya. Ia ingin ditanya apa perasaannya hari ini?, Bagaimana eksul yang ia ikuti? Bagaimana pelajaran di sekolah? Atau hadiah apa yang ia inginkan jika mendapat nilai bagus?.

Bisa dibayangkan betapa hangatnya suatu rumah jika mereka saling memberi perhatian satu sama lain. Apa jadinya jika yang terjadi adalah kebalikannya, kesibukan masing-masing menjadikan rumah begitu sepi dan hubungan antar keluarga sangat dingin tanpa cinta.

7. Kurangnya edukasi dalam hubungan rumah tangga
Pernikahan adalah ibadah dengan pahala terbanyak, karena ujiannya juga sangat berat. Dalam mengarungi hubungan rumah tangga dibutuhkan edukasi antar pasangan agar dapat saling menyayangi, menghormati dan menghargai satu sama lain.

Ketika sudah memiliki anak, orangtua diharuskan menggali informasi mengenai pengasuhan. Pengasuhan saat anak baru dilahirkan, ketika anak mencapai akil baligh hingga mereka dewasa. Peranan orangtua sangat penting dalam perkembangan anak. Apa jadinya jika orangtua tidak memiliki edukasi tentang pernikahan atau pengasuhan? Tentunya romantisme antar pasangan terganggu dan pengasuhan anak menjadi tidak ideal.

C. Dampak Broken Home terhadap Anak

Hal yang Dirasakan Anak Broken Home
Ada banyak perasaan yang timbul dan juga perasaan yang sulit dijelaskan oleh anak setelah orang tua bercerai. Usia anak menjadi salah satu hal yang memengaruhi mereka dalam mengontrol perasaan pasca perceraian.

Anak usia balita mungkin belum memahami apa yang sedang terjadi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, anak akan menyadari bahwa ada yang berbeda antara keluarganya dengan keluarga yang lain. Sementara itu, anak usia dewasa cukup peka akan perceraian yang terjadi, meskipun mereka mungkin terlihat tidak peduli. Terdapat empat hal yang umumnya dirasakan anak setelah orang tua tidak lagi hidup bersama di antaranya,
1. Perasaan marah
Dilansir dari First Things First, orang tua harus mengingat dan menerima kenyataan bahwa meskipun mereka mengakhiri pernikahan dengan seseorang, mereka tidak akan pernah berhenti menjadi orang tua. Pasca perceraian, anak-anak Anda mungkin mengalami krisis transisi.

Perasaan marah pada anak bisa saja muncul dari rasa kecewa terhadap perceraian orang tua. Anak akan merasakan sesuatu yang tidak adil karena perasaan mereka juga ikut dikorbankan. Ungkapan dari perasaan marah dapat menjadi berbagai aksi.

Ada yang memilih marah dalam diam, tidak banyak bicara, atau justru bicara seperlunya. Namun, ada juga yang memilih untuk mengungkapkan rasa marah dari kekecewaan yang ada. Apabila anak memilih untuk marah dalam diam, orang tua sebaiknya mengajak anak berbicara agar perasaan ini tidak terpendam terlalu lama.

2. Perasaan rapuh
Tidak hanya orang dewasa yang mengalami patah hati ketika putus cinta. Hati anak pun akan menjadi hancur ketika orang tuanya berpisah karena perceraian dapat menjadi salah satu titik terendah dalam hidup banyak pihak. Salah satu bentuk ekspresi dari anak yang rapuh ialah tangisannya.

Jika Anda melihat anak sedang menangis, ajaklah anak untuk berbicara setelah hatinya sudah lebih tenang. Secara perlahan, Anda dapat meminta anak untuk mengungkapkan isi hatinya.
Dampak Broken Home terhadap Anak
Dampak Broken Home terhadap Anak

3. Perasaan kesepian
Rasa kesepian muncul pada anak pasca perceraian karena sebelumnya anak terbiasa melihat kedua orang tuanya tinggal di rumah yang sama. Namun, setelah perceraian kedua orang tua hidup terpisah.

Anak yang biasanya terbuka akan menjadi lebih tertutup. Kebanyakan anak akan memilih untuk menghindari keramaian dan menyendiri. Ketika anak menjadi tertutup, tidak jarang mereka akan berpura-pura tegar di depan banyak orang. Kemungkinannya, mereka tidak mau orang lain tahu dan bertanya tentang apa yang terjadi.

Anak mungkin akan menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab perceraian ketika sedang menyendiri. Oleh karena itu, kesepian juga dapat memicu depresi apabila tidak ditangani dengan benar.

4. Perasaan sensitif
Setelah perceraian orang tua, anak akan cenderung mudah marah, sedih, maupun tersinggung ketika menghadapi permasalahan. Hal ini bisa saja terjadi karena keadaan mental anak yang sedang tidak stabil.

Beberapa anak juga akan menjadi lebih peka terhadap keadaan di sekitarnya. Anak akan lebih sadar terhadap perasaan dan sikap orang lain akan suatu hal atau terhadap dirinya. Anak broken home juga akan lebih mudah memahami perasaan anak yang berada di posisi yang sama dengannya.

Dampak Broken Home Bagi Perkembangan Anak
1. Rendahnya rasa percaya diri
Anak yang mengalami kondisi broken home akan mengalami kehilangan rasa percaya diri karena tekanan mental yang ia terima. Kurangnya perhatian dari sang ibu atau tidak adanya pelukan hangat sang ayah bisa menjadikan seorang anak menjadi rendah diri.

2. Lemahnya Iman
Tidak adanya figur positif dalam diri anak menjadikan mereka ikut jauh dari Tuhan. Seorang ibu sejatinya menjadi sekolah pertama dalam mengajarkan nilai-nilai agama, serta sosok ayah yang seharusnya menjadi contoh baik bagi keluarga. Anak yang tidak memiliki salah satu figur tersebut akan hilang arah dan semakin jauh dari Tuhan. Mereka bisa tumbuh menjadi anak yang jauh agama dan melakukan perbuatan tercela.

3. Kurang Kasih Sayang
Kurangnya perhatian yang didapat dari orangtua menjadikan mereka tidak cukup merasakan kasih sayang. Mereka juga menjadi anak yang tidak terbiasa mengutarakan perhatian pada orang lain. Ia bisa menjadi sosok yang dingin, cuek ataupun kasar.

4. Gangguan Mental
Traumatik saat sang anak melihat orangtuanya bertengkar, kekerasan fisik atau verbal yang dilakukan orangtua akan membuat anak menjadi depresi. Seiring berjalannya waktu ia akan merasa selalu cemas, takut, tertekan, bahkan ingin mengakhiri hidup.

5. Kebencian Pada Orangtua
Kurangnya kasih sayang dan perlakuan buruk orangtua menjadikan anak merasa kecewa yang begitu dalam. Ditambah lagi jika anak melihat bentuk kekerasan orangtuanya, sulit bagi mereka untuk menghapus memori tersebut sehingga akan membentuk kebencian.

Saat sang anak menjadi korban broken home, ia tidak mampu mengetahui permasalahan yang terjadi. Mengapa orangtuanya bertengkar, mengapa mereka berpisah, mengapa Tuhan tidak memberikan cobaan yang demikian berat? Ia belum mampu menelisik permasalahan lebih dalam dan melemparkan semuanya pada orangtua.

6. Menarik Diri
Ada masanya seorang anak yang mengalami broken home akan menarik diri dari lingkungannya. Ia merasa takut akan pandangan teman-teman terhadapnya, ia iri dengan keharmonisan keluarga orang lain, ia hanya ingin menyendiri untuk diberi kesempatan bisa berdamai dengan keadaan yang menimpanya.

7. Insecurity
Anak yang hidup dalam keluarga tidak harmonis akan merasa insecure atau kecemasan. Ia bisa takut akan masa depannya, takut bertemu orang baru, takut dikhianati, takut disakiti hingga takut ditinggalkan. Hal ini dikarenakan kurangnya kasih sayang yang cukup dalam diri mereka.

8. Pemberontak
Anak yang tumbuh di keluarga tidak utuh cenderung menjadi pemberontak. Rasa kecewa yang mereka alami, kurangnya perhatian dan hilangnya kepercayaan pada sosok orangtua menjadikan anak tidak lagi menghargai orangtuanya. Anak merasa tidak perlu lagi pandangan orangtua yang sudah lebih dulu gagal memberikan kenyamanan bagi mereka.

9. Tidak Teguh Pada Prinsip
Seorang anak yang tidak memiliki tempat untuk mencurahkan perasaannya, ia cenderung mencari tempat untuk menghibur diri. Ia akan hidup tanpa arah dan tujuan dan memiliki pandangan berubah-ubah sesuai lingkungan di mana ia berada saat itu.

Hal ini dikarenakan tidak adanya “rumah” yang menanamkan nilai dan norma yang mendasar dalam kehidupannya. Sementara prinsip adalah hal yang harus dibentuk sedari mereka kecil, agar sang anak bisa berpegang teguh pada core value yang diajarkan orangtuanya.

10. Merasa Hidupnya Sia-sia
Ketika seorang anak merasa kehilangan orang yang disayangi, ia akan merasa hidupnya tidak berarti lagi. Pupus sudah harapan serta asa yang ingin ia capai selama ini. Tidak adanya perhatian dan dukungan penuh kedua orangtua menjadikan ia menyerah begitu saja.

11. Kasar
Anak adalah peniru ulung orangtuanya. Ia bisa merekam apa yang ia lihat, baik itu verbal atau perbuatan. Tak sengaja semua kenangan itu terekam dan ia menjelma menjadi sosok yang meniru perbuatan orangtuanya.  Traumatik yang mereka alami juga bisa mendorong perbuatan agresif bahkan hingga sang anak tumbuh dewasa.

12. Terlalu Mengasihani Diri
Anak yang mengalami broken home juga bisa merasa larut dalam kesedihan hingga ia merasa hidupnya yang paling menyedihkan. Ia cenderung mengasihani diri dan merasa hidupnya tidak adil. Ia bisa menyalahkan orangtuanya, menyalahkan nasib hingga menyalahkan Tuhan.

Ia akan merasa tidak seberuntung teman-temannya yang memiliki orangtua lengkap, memiliki barang yang ia inginkan, mendapat kehangatan dan dukungan penuh dari orangtua mereka, merasakan quality time yang selama ini ia idam-idamkan. Anak akan semakin terpuruk jika melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih sempurna, padahal ia tidak mengetahui bahwa orang lain pun mengalami cobaan yang berbeda-beda.

D. Mencegah Dampak Broken Home pada Anak

Keluarga yang mengalami broken home dapat berpengaruh pada anak, secara tidak langsung kondisi ini akan mempengaruhi psikis anak, bahkan tidak jarang dampak broken home pada anak bisa bersifat negatif yang nantinya dapat mempengaruhi masa depan anak. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan orangtua orangtua untuk mencegah dampak tersebut di antaranya,
1. Hindari memperlihatkan keributan di depan anak
2. Ajari anak untuk berpikir positif
3. Jangan biarkan anak menyalahkan dirinya sendiri
4. Luangkan waktu untuk mendengarkan curahan hati anak
5. Ajari anak untuk mencoba hal-hal baru yang menyenangkan
6. Jaga keharmonisan keluarga
7. Bawa ke psikologi anak jika psikisnya terganggu.

Mempertahankan hubungan keluarga yang harmonis memang tidak mudah. Namun, Anda dan pasangan perlu memperhatikan psikis anak yang broken home. Jangan sampai perpecahan keluarga dapat merusak kesehatan mentalnya.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment