Pengertian Risiko Likuiditas, Penyebab, Pengukuran, dan Regulasinya
Risiko Likuiditas |
A. Pengertian Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko yang muncul akibat kesulitan menyediakan uang tunai dalam jangka waktu tertentu. Meskipun pihak tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi kewajibannya, tetapi ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka Aset tersebut dikatakan tidak likuid.
Hal ini sering terjadi ketika aset tidak dapat dijual dengan harga yang wajar disebabkan karena kurangnya daya pembeli dan pergerakan harga yang besar dalam sebuah perusahaan. Maka sudah tidak heran jika risiko likuiditas dihubungkan dengan peristiwa yang merugikan dalam sebuah perusahaan. Hal tersebut menjadi risiko likuiditas dimaknai sebagai kesulitan perusahaan dalam memenuhi kewajiban lancar.
B. Penyebab Risiko Likuiditas
Dalam melunasi kewajiban lancar hanya dapat dilakukan dalam bentuk kas tunai ataupun sejenisnya, seperti pada rekening tabungan atau rekening giro. Apabila sebuah aset lancar menjadi andalan perusahaan dalam menutupi hutang tersebut, maka aset tersebut perlu dilikuidasi menjadi kas tunai.
Namun hal tersebut tidak menutupi kemungkinan bahwa perusahaan tidak mampu dalam mengonversi aset, maka hal tersebutlah penyebab risiko likuiditas terjadi dalam perusahaan.
Dalam ketidakmampuan tersebut dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor. Bisa jadi contoh risiko likuiditas muncul diakibatkan oleh gagalnya pengelolaan keuangan suatu perusahaan dan lainnya. Berikut penyebab dari contoh risiko likuiditas pada sebuah perusahaan di antaranya,
1. Tim analisis yang kurang memberikan detail pada analisis dari sisi aset. Sebab apabila hal tersebut tidak diperbaiki, maka mengakibatkan aspek likuiditas perusahaan semakin buruk.
2. Terjadinya keterlambatan arus kas sehingga aktiva lancar tidak mampu melampaui nilai kewajiban lancar. Hal ini akan terlihat apabila sudah dilakukannya perhitungan pada rasio likuiditas. Angka akan menunjukkan posisi yang rendah dibanding standar industri masing-masing jenis rasio.
C. Pengukuran Risiko Likuiditas
Pengelolaan risiko likuiditas mewajibkan pihak bank untuk memanfaatkan dua indikator. Kedua indikator tersebut di antaranya,
1. Rasio Keuangan
a. Loan to Deposit Ratio (LDR) atau Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah melakukan perbandingan antara jumlah dana yang disalurkan pada jumlah dana yang sudah terhimpun. Dana yang sudah terhimpun ini bisa berupa dan dari pihak ketiga saja atau termasuk dana yang dihimpun dalam wujud lain.
b. Current Ratio. Di dunia perbankan, current ratio adalah perbandingan antara aset yang likuid pada pendanaan dalam jangka waktu pendek. Aset likuid ini berupa aset likuid primer dan aset likuid sekunder. Kedua komponen tersebut bisa dilihat dari aturan OJK terkait tingkat kesehatan bank.
c. Deposan inti ataupun deposan non-inti atas suatu aset. Jenis rasio ini menilai dana yang dihimpun dari deposan inti atau deposan non-inti pada total dana dari pihak ketiga. Rasio ini juga akan membandingkan dengan total aset yang dimiliki oleh pihak bank.
2. Arus Kas
Arus kas dalam hal ini adalah suatu pengukuran likuiditas dengan menggunakan analisa kesenjangan likuiditas. Kesenjangan dalam hal ini adalah perbandingan antara posisi aset dan juga kewajiban dalam jangka waktu tertentu.
D. Regulasi Likuiditas
Peraturan tentang likuiditas ini memang tidak secara jelas diatur dalam tingkat kesehatan bank dan aturan terkait manajemen risiko.
Tapi, karena risiko likuiditas ini sangatlah penting, maka Basel Committee melalui Basel III yang selanjutnya merujuk OJK sebagai pihak regulator di Indonesia, mengatur likuiditas ini dengan dua aturan yang sangat detail.
1. Liquidity Coverage Ratio (LCR)
Peraturan terkait LCR ini mewajibkan pihak bank untuk mampu mempersiapkan alat likuiditas dengan kualitas tinggi sebagai bentuk antisipasi keperluan arus kas keluar bersih dalam kurun waktu 30 hari kedepan dalam kondisi skenario stress.
Ketentuan akan hal tersebut sudah diatur dalam POJK No. 42/POJK.03/2015 terkait Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan untuk bank umum.
2. Net Stable Funding Ratio (NSFR)
Regulasi terkait NSFR ini mewajibkan setiap bank menyediakan dana stabil berbentuk liabilitas dan modal untuk bisa mendanai kegiatan pada aset dan juga rekening administratif.
Itu artinya, pihak bank diminta untuk mempersiapkan tenor penyaluran dana dengan tenor sumber dananya. Jika bank memiliki rencana untuk melakukan pembiayaan dalam jangka waktu yang lama, maka pihak bank harus menggunakan sumber daya yang memiliki jangka waktu lama juga.
Peraturan terkait hal ini sudah diatur dalam POJK No. 50/POJK.03/2017 terkait Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih untuk bank umum.
Dari berbagai sumber
Post a Comment