Pengertian Pajak Progresif Penghasilan, Landasan Hukum, Komponen, Objek, Tarif, dan Cara Perhitungannya

Table of Contents
Pengertian Pajak Progresif Penghasilan atau PPh 21
Pajak Progresif Penghasilan atau PPh 21

A. Pengertian Pajak Progresif Penghasilan

Pajak Progresif Penghasilan (PPh 21) adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang semakin besar seiring semakin banyaknya penghasilan yang diterima sebagai dasar penghitungan pajak. Di Indonesia, penghitungan pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi diatur dalam pasal 17 UU No. 36 tahun 2008. Besarnya tarif pajak yang harus dibayarkan bergantung dari jumlah penghasilan dan diberlakukan tarif pajak progresif.

B. Landasan Hukum Pajak Progresif Penghasilan

Landasan hukum atas PPh 21 mengacu pada beragam peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan pemotongan PPh 21 di antaranya,
1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 hingga Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
2. Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
3. Peraturan Pemerintah No. 68/2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
4. Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
5. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
7. Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Menimbang Pajak Penghasilan.

C. Komponen Pajak Progresif Penghasilan

Sebelum menghitung besarnya pajak yang ditagihkan, Anda perlu mengenal dua komponen penting dalam penghitungan pajak, yaitu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

PTKP adalah komponen penghasilan yang besarnya telah ditentukan pemerintah untuk tidak dikenai pajak. Saat ini, PTKP yang berlaku adalah Rp 54.000.000 untuk wajib pajak yang tidak menikah dan belum memiliki tanggungan.

Sedangkan untuk yang sudah menikah, nominalnya ditambah dengan Rp4.500.000. Begitu pula untuk yang memiliki tanggungan maka PTKP ditambah Rp4.500.000 untuk setiap tanggungan hingga maksimal 3 tanggungan. Sisa dari penghasilan dikurangi PTKP adalah komponen PKP yang akan dihitung sebagai dasar tarif pajak.

D. Objek Pajak Progresif Penghasilan

PPh 21 pada umumnya berkaitan dengan pajak yang dipotong pada sistem penggajian suatu perusahaan. Namun PPh 21 sebenarnya juga digunakan untuk berbagai jenis penghasilan lainnya, contohnya:
1. Penghasilan bagi Pegawai Tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur
2. Penghasilan bagi Penerima Pensiun secara teratur, dapat berupa uang pensiun atau penghasilan serupa
3. Penghasilan bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pensiun yang diterima secara sekaligus, dapat berupa uang pesangon, tunjangan/jaminan hari tua, uang manfaat pensiun, serta pembayaran lain sejenisnya
4. Penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, dapat berupa upah satuan, upah borongan upah harian, upah mingguan, atau upah bulanan
5. Penghasilan bagi Bukan Pegawai, dapat berupa honorarium, upah, komisi dan imbahan serupa
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, dapat berupa uang saku, uang rapat, honorarium, hadiah, uang representasi, atau penghargaan sejenis dengan nama dan dalam bentuk lainnya.

E. Tarif Pajak Progresif Penghasilan

Menurut Pasal 17 ayat 1, perhitungan tarif pajak penghasilan pribadi menggunakan tarif progresif, di mana persentase pengenaan PPh 21 WPOP dikategorikan berdasarkan jumlah penghasilan tahunannya. Adapun kategori tarif pajak yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan hingga Rp 50.000.000,- adalah 5%
2. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan Rp 50.000.000, - Rp 250.000.000,- adalah 15%.
3. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan Rp 250.000.000,- Rp 500.000.000,- adalah 25%.
4. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000, - adalah 30%.
5. Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP. Sehingga total PPh 21 yang dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah yang seharusnya dipotong.

F. Cara Penghitungan Tarif Pajak Progresif Penghasilan

Secara umum, rumus penghitungan pajak bisa dituliskan sebagai berikut:
PPh 21= tarif pajak x (penghasilan-pengurang)

Tarif pajak adalah besar persentase sesuai PKP. Pengurang yang dimaksud di sini termasuk PTKP dan iuran-iuran yang dipotong dari penghasilan seperti iuran BPJS, iuran dana pensiun, dan potongan lain yang besarnya bisa berbeda tiap individu. Status kepegawaian juga akan menentukan nominal dari pengurang. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh penghitungan pajak berdasarkan kasus berikut:

Contoh 1:
Tn. Budi adalah seorang karyawan yang belum menikah dengan penghasilan Rp7.500.000 per bulan atau Rp90.000.000 per tahun. Setiap bulan Tn. Budi membayar iuran pensiun dan BPJS sebesar Rp250.000 per bulan atau Rp3.000.000 per tahun. Berapakah PPh 21 yang harus dibayarkan Tn. Budi?
Jawab:
Penghasilan bersih per tahun= Rp90.000.000-Rp3.000.000 = Rp87.000.000
PKP= Rp87.000.000-Rp54.000.000= Rp33.000.000 (kurang dari Rp50.000.0000)
PPh21 = 5% x Rp33.000.000 = Rp1.650.000
Jadi, tarif pajak yang harus dibayarkan Tn. Budi dengan penghasilan bersih per tahun Rp87.000.000 dan tidak menikah adalah Rp1.650.000
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment